Rencana Jahat 2

1115 Words
Valery menatap lirih ibunya yang tengah tertidur pulas. Wajah ibunya terlihat berseri, sangat cerah walaupun sedang sakit. Ia mengambil langkah perlahan lalu duduk di pinggir tempat tidur, memegang lengan sang ibu dengan lembut agar tidak menggangu istirahat ibu tersayang yang sangat ia rindukan setiap hari. Sambil menatap penuh kasih, ia mengusap bulir bening yang mengalir deras dari kedua pelupuk mata indahnya. Perasaan sesak di d**a sangat menyiksa diri. Ingin sekali ia berlutut di kedua kaki ibunya lalu meminta maaf, karena sudah membuat kecewa dengan kehamilannya yang tanpa seorang ayah. Tidak tahu bagaimana cara untuk menjelaskan kalau dirinya sedang berbadan dua. Apakah mungkin ibunya bisa menerima itu? Atau justru kabar kehamilannya akan membuat kondisi Ganie semakin memburuk. Ia tidak sanggup melihat air mata membasahi wajah ibunya yang setiap hari harus merasakan sakit karena ayahnya berselingkuh di depan mata. Suara isak tangis Valery membangunkan Ganie yang tertidur pulas. Ia menatap anaknya yang tengah menangis sesegukan. "Kamu kenapa, Sayang? Apa yang Papamu katakan? Sampai kamu menangis seperti ini? Apa dia memukulmu?" Valery menggelengkan kepala sambil menghapus air mata yang masih mengalir deras. "Kalau bukan karena ayahmu, lalu kenapa kamu menangis? Apa kamu gagal mendapatkan pekerjaan sebagai Model iklan produk ponsel terbaru itu?" Ganie menggenggam jemari lentik Valery, memberi kekuatan untuk anaknya. Kembali Valery menggelengkan kepala lalu tersenyum lebar, "Aku menangis karena aku sedang berbahagia Ma. Mama harus tahu, kalau aku diterima untuk mengiklankan ponsel keluaran terbaru perusahaan sebesar BarTex. Aku mendapatkan kontrak kerja selama tiga bulan. Dan Mama tahu? Bayarannya sangat tinggi, dengan uang itu aku bisa membayar cicilan rumah untuk kita." Ganie tersenyum lebar, "Lebih baik uangnya kamu tabung untuk masa depanmu Sayang. Kalau sudah terkumpul kamu bisa membeli rumah dengan uang kes. Jangan berhutang, apalagi kredit seperti itu. Bunganya pasti sangat tinggi. Mama tidak mau kamu terjebak ke dalam hutang yang akan membuatmu banyak beban pikiran." "Tapi Ma, aku sudah tidak tahan tinggal di Neraka ini. Aku ingin secepatnya keluar dari tempat ini. Membawa Mama dan kita bisa hidup bersama di rumah baru, yang jauh dari Papa." "Sayang, kalau kamu tidak suka tinggal di sini, kamu kan bisa tinggal di Hotel. Lalu kamu bisa tetap ke sini menemui Mama setiap kali kamu merindukan Mama seperti sekarang. Jangan pernah berfikir untuk meninggalkan rumah ini. Mama curiga, wanita simpanan Papamu itu pasti sedang berniat jahat. Mama tidak ingin dia memanfaatkan kepergian kita untuk mengambil alih semua harta Papa yang seharusnya menjadi milikmu." "Aku tidak perduli dengan semua harta Papa. Terserah wanita ular itu kalau memang dia mau mengambil semua harta Papa. Aku tidak butuh, yang penting bagiku sekarang, hidupku dan hidup Mama tenang. Aku tidak butuh uang dari Papa." Valery menahan sesak di d**a. Setiap kali membicarakan ayahnya. Perasaannya terasa hancur berkeping-keping. "Kamu adalah anak kami satu-satunya, Mama yang menemani Papamu dari nol hingga dia bisa sukses seperti sekarang dan Mama ingin Albert mewariskan semua hartanya padamu. Hanya kamu yang berhak mendapatkan semua harta miliknya. Dulu kami berjuang bersama untuk masa depanmu dan untuk kebahagiaanmu, Sayang. Bukan untuk wanita murah-an itu." Valery menggelengkan kepala, "Biarkan saja wanita itu mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku yakin setelah dia mendapatkan harta Papa, dia akan mencampakkan Papa dan membuang Papa ke jalanan. Biar saja, biar Papa tahu rasa!" Valery mengeluarkan emosinya. "Valery, tidak baik bicara seperti itu. Biar bagaimana pun, dia itu Papamu. Mungkin sekarang dia sedang dalam masa puber kedua, dan Mama sadar Mama tidak bisa melayani Papamu karena kondisi Mama seperti ini, tapi Mama tetap tidak ingin wanita itu menang." "Kalau memang Mama tidak ingin wanita itu menang. Mama harus bisa dong kembali sehat seperti dulu. Mama harus rutin melakukan terapi, jangan menyerah seperti ini." "Mama sudah rutin melakukan terapi dan minum obat, tapi entah kenapa belum juga ada kemajuan," ucap Ganie lirih. "Aku akan mengumpulkan uang agar bisa membawa Mama ke rumah sakit terbaik di Singapura. Aku dengar pengobatan di sana sangat bagus. Aku yakin Mama bisa kembali sehat kalau menjalani pengobatan di sana." "Sayang, tidak perlu kamu melakukan semua itu. Papamu sudah memberikan pengobatan terbaik di rumah sakit Jakarta. Kamu tahu sendiri kan, semua dokter yang menangani Mama adalah dokter terbaik. Hanya saja mungkin belum waktunya Mama kembali sehat seperti dulu." Valery terdiam. Apa yang dikatakan oleh ibunya memang benar. Walau ayahnya jahat, tetapi dia tetap membawa ibunya ke rumah sakit terbaik di Jakarta. Namun entah mengapa, kondisi Ganie belum ada kemajuan yang signifikan, justru terkesan diam di tempat. BRUK! Terdengar suara benda terjatuh ke atas lantai. Asal suara itu dari kamar Valery yang terletak di samping kamar ibunya. "Ada apa Sayang?" tanya Ganie. "Seperti ada suara benda terjatuh di kamarmu. Apa kamu menutup pintu kamar sebelum ke sini?" Valery menggelengkan kepala pelan, "Aku ingin melihatnya sebentar." Ia berdiri lalu melepas genggaman tangan ibunya. "Hati hati pada wanita itu. Mama yakin dia sangat licik," ucap Ganie. "Iya," angguk Valery lalu melangkah perlahan keluar dari dalam kamarnya. Ia melihat kamarnya terbuka, seingatnya memang ia lupa menutup pintu kamar tersebut. Benar saja kecurigaan ibunya tadi. Valery melihat ada bayangan di dalam kamarnya. Perlahan ia masuk ingin memergoki siapa orang yang berada di dalam. "Eh, Non Valery, maaf karena Bibi masuk ke kamar Non tanpa permisi. Tadi Bibi mendengar ada suara benda terjatuh, jadi Bibi langsung masuk karena kamar Non Valery ngga dikunci. Maaf ya, Non." Valery menghela napas lega. Awalnya ia pikir yang masuk ke dalam adalah nenek sihir itu. Ternyata dia salah. Hanya ada Bi Innah-pembantu rumah tangga yang memang biasa membersihkan kamarnya. "Tidak apa-apa Bi. Makasih sudah mau mengecek kamarku. Aku pikir tadi siapa yang berani masuk ke dalam kamarku," ucap Valery menghela napas lega. "Kalau begitu saya permisi Non. Tadi yang terjatuh cuma pot bunga di atas meja. Sudah saya bersihkan." "Makasih, Bi," ucap Valery tersenyum ramah. Bi Innah keluar dari kamar Valery. Sedangkan Valery duduk di pinggir tempat tidur. DEG! Pandang matanya tertuju pada tempat sampah yang terlihat seperti habis diacak-acak. Ia mendekati tempat sampai tersebut. "Testpack itu, kalau tidak salah aku buang di dalam sini," gumam Valery mencari testpack yang ia bawa ke rumah lalu ia buang ke tempat sampah. "Jangan-jangan yang mengambil testpack itu, Aneke?" *** Aneke sudah mendapatkan apa yang ia cari. Senjata untuk membuat Albert murka pada anaknya dan akan mengusir Valery dari dalam istana mewah tersebut. "Sebentar lagi, aku yang akan menjadi pemilik semua harta Albert. Aku yakin Albert akan mengusir anak dan istrinya dari rumah ini, karena Valery telah mengecewakan dirinya," desis Aneke sambil memegang testpack yang ia dapat dari kamar calon anak tirinya. "Mas Albert, kasihan sekali kamu Mas. Anak yang kamu banggakan ternyata tidak lebih dari seorang wanita mur-ahan. Aku yakin dia sudah menjual diri pada salah satu Agency Model agar dia bisa menggapai mimpinya untuk menjadi Model terkenal. Kasihan kamu Valery. Tapi, kebodohanmu adalah keberuntungan untukku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD