bab 5

1479 Words
“Minggir!” perintah Sofia dengan tegas. “Minggir?” tanya Charles yang sedang mengendarai mobilnya. “Iya, kamu bilang mau makan, 'kan? Makanya ayo sampingkan mobilnya,” jelas Sofia yang sudah tidak lagi berbicara dan memanggil Charles dengan formal. Bagi Sofia, jam kerja sudah selesai, Sofia tidak perlu lagi bersikap formal pada pria menyebalkan itu. “Kamu bisa bilang berhentikan mobilnya, bukannya minta aku minggir. Kamu bisa minta tolong baik-baik, kan?" Charles mendelik kesal. Sofia mendengkus. Ternyata pria itu tahu apa itu minta tolong, lantas mengapa dia selalu bertindak seenaknya? Saat Sofia berbicara seperti itu saja Charles sudah kesal. “Kamu mau makan apa di pinggir jalan?” tanya pria itu lagi tanpa menoleh ke samping dan memilih untuk memperhatikan warung-warung yang ada di atas trotoar. “Ya makan nasi, dong! Masak makan batu kerikil di pinggir jalan?!” jawab Sofia cepat. Charles dengan sigap segera memutar stir mobil, lalu menghentikan mobil di bahu jalan sesuai dengan permintaan Sofia. Tepat di depan sana, ada sebuah warung yang tidak terlalu ramai pembeli. “Fine! Aku turuti kemauanmu untuk makan di pinggir jalan. Kalau bukan karena kamu, aku nggak akan mau," ucap Charles yang tidak lagi menggunakan cara bicaranya yang kaku dan dingin. Sofia mengerutkan dahinya mendengar perubahan nada bicara itu. Ia sendiri juga tidak paham maksud perkataan Charles. “Maksud kamu apa?” “Ayo, turun," perintah Charles dan tidak menjawab pertanyaan Sofia. “Nggak mau, ah!" tolak Sofia cepat karena merasa perilaku Charles yabg mencurigakan. “Kamu mau jalan sendiri atau mau aku yang angkat kamu sampai ke sana? Kamu bisa pilih yang mana.” Sofia menganga mendengar pernyataan Charles yang tiba-tiba dan tidak masuk akal. Lagi-lagi pria itu memaksanya dengan pilihan yang aneh. Namun, meski Sofia menolak, Charles pasti akan semakin menyebalkan dan memaksanya dengan pilihan yang lebih aneh lagi. Belum cukup satu kali dua puluh empat jam Sofia mengenali Charles, kepalanya sudah benar-benar pusing melayani sikap bos psikopatnya itu. Apalagi Jika Sofia harus bekerja selama bertahun-tahun. Bisa gila nanti dia lama-lama. ‘Sepertinya aku harus mulai mencari lowongan kerja di perusahaan yang lain saja,’ gerutu Sofia dalam hati. Lebih baik Sofia menyerah saja dan berhenti bekerja dari tempat kerjanya sekarang. Meski gaji bulanannya sangat besar, tetapi uang itu pasti akan habis untuk biaya rumah sakit jiwa nantinya. Jika saja atasannya bukanlah Charles, Sofia pasti tidak akan berpikir seperti ini. ‘Salah apa aku sampai harus bertemu dengan orang semacam dia?’ batin Sofia sedih dan kesal. Ia tidak tahan dengan sifat sombong dan psikopat Charles. “Turun sekarang!” perintah suara bariton itu sekali lagi. Sofia tersentak dibuatnya. Berkat itu, Sofia tidak lagi melamun jauh dengan angan-angannya untuk segera pindah kerja. “Awas, ya! Jangan macam-macam kamu!” Sofia mengalah. Prinsipnya, yang sehat yang mengalah, bukan yang sedang sakit jiwa. Wanita itu membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Angin berhembus membelai pipi dan menggoyangkan anak rambutnya. Charles sudah berada di luar dan berjalan beberapa langkah di depan Sofia. ‘Mana ada laki-laki yang meninggalkan wanita di belakangnya?’ gerutu Sofia sekali lagi. Rasanya ia ingin menjitak kepala Charles jika saja pria itu bukan atasannya. “Ck! Dasar komodo!” sewot Sofia. Berusaha mengejar langkah Charles dari belakang. Keduanya berhenti pada salah satu tempat makan yang sangat sederhana. Tidak ada tempat duduk empuk atau dinginnya pendingin ruangan. Tidak ada pula lantai yang mengkilap dan bersih. Sofia dan Charles duduk berhadapan setelah memesan makanan sesaat setelah mereka masuk. Sofia menatap Charles tanpa berkedip. “Kamu … memangnya kamu bisa makan di pinggir jalan seperti ini?” tanya Sofia memastikan. Takut jika ia salah berbicara dan membuat pria itu marah besar. “Apa maksudnya? Kan tinggal memasukkan makanan ke mulut. Kunyah lalu telan. Memangnya ada cara lain lagi untuk makan?” Charles menaikkan salah satu alisnya heran dengan pertanyaan Sofia. Sofia mendengkus dan memalingkan muka. Padahal ia sudah sengaja mencari tempat makan yang jauh dari kata mewah agar Charles kesal dan merasa jijik. Akan tetapi, Charles justru terlihat biasa saja, bahkan seperti sudah terbiasa makan di pinggir jalan seperti ini. Charles mengacuhkan omelan Sofia kepadanya. Pria itu mulai mengedarkan tatapannya ke setiap sudut ruangan. Wajahnya yang dingin tanpa ekspresi membuat Sofia sulit menebak apa saja yang bermain di benak pria tampan itu. Setelah sekian menit menunggu, pesanan akhirnya dihidangkan bersama dua gelas es teh yang agak manis. “Selamat menikmati makanannya, Mas, Mbak,” ucap karyawan yang memberikan pesanan mereka dengan sopan. Sofia tersenyum melihat makanan menggiurkan yang ditata di hadapannya. “Makasih, Mbak,” ucap Sofia ramah. Tanpa sadar, Sofia melirik Charles yang diam dan tidak bergerak. Sofia memanggilnya, “Kenapa menatap begitu? Nggak mau makan? Sayang tahu uangnya.” Mata Charles bergerak ke sana ke mari, seolah sedang mencari sesuatu. Ia memicingkan matanya saat melihat Sofia mulai memegang lauknya dengan tangan. “Kita makan pakai tangan? Apa nggak ada sendok di sini?” “Pfft.” Sofia berusaha menahan tawanya, ia mengabaikan tatapan tajam Charles kepadanya. Sofia menarik pikirannya yang mengatakan jika Charles terlihat seperti sudah terbiasa makan di tempat seperti ini. Ternyata ia sama saja dengan orang-orang berduit yang cuma makan di restoran mewah. “Mana ada sendok di sini! Lebih enak makan pakai tangan, tapi tetep jangan lupa cuci tangan.” Sofia menyodorkan mangkok plastik kecil yang berisi air. Mata Charles melebar. Rasanya lucu melihat Charles berekspresi terkejut seperti itu. Charles memang lahir dan tumbuh dalam lingkungan orang-orang yang condong ke budaya barat, selalu makan dengan sendok dan garpu. Sekarang harus makan di warung pinggir jalan, pake tangan pula. Sesuatu yang kurang normal buat Charles. Namun pria itu tetap memaksakan dirinya melakukan sepertia apa yang sedang Sofia lakukan saat ini. “Apa aku harus makan seperti ini?” tanya Charles memastikan. “Ya iyalah. Sudah jangan banyak tanya! Makan sampai habis!” Sofia mengabaikan Charles dan mulai menyantap makanannya. Ia memasukkan mulut dan potongan lauk ke dalam mulutnya dengan tangannya, sesekali meminum es tehnya yang segar dan sayang untuk dilewatkan. Namun, ketika Sofia mendongak dan menatap ke arah Charles, nasi dalam mulutnya hampir saja menyembur ke luar melihat betapa kikuk dan kakunya Charles yang sedang berusaha untuk memasukkan nasi ke dalam mulutnya. Dia tidak ada bedanya dengan bayi yang baru saja belajar makan. Tawa Sofia akhirnya pecah. Ia tidak bisa lagi menahannya. Tawanya semakin keras ketika melihat wajah Charles yang merah seperti kepiting rebus. Charles pasti sangat malu sekarang. “Astaga, jadi kamu memang benar-benar tidak bisa makan pake tangan?” tanya Sofia setelah tawanya mereda. Karena tidak kuat, Sofia bahkan sampai menitikkan air mata di tengah tawanya. “Teach me,” ucap Charles menatap lekat wajah Sofia. “Okay, okay sini aku ajarin.” Sofia mengajarkan cara yang tepat untuk makan menggunakan tangan. Meski sedikit lamban, tetapi akhirnya Charles bisa memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya setelah gagal melakukan beberapa kali. Awalnya tidak ada yang masuk, lalu mulai masuk sedikit nasi. Sampai akhirnya ia bisa makan dengan tangan meski tetap dengan gerakan kaku. Beberapa butir nasi menempel di sudut bibirnya. Melihat hal itu, tangan Sofia refleks mengambil tisu dan membersihkan nasi yang menempel. Anehnya, Charles sama sekali tidak menolak atau menepis tangannya. Sofia tidak bisa menahan senyumnya sedari tadi. “Sedot minuman bisa, ‘kan? Apa harus aku ajari kamu juga?” tanya Sofia separuh bercanda. Pletak! “Auw! “Sakit?” tanya Charles setelah berhasil menjitak keningnya Sofia dengan tangan kirinya yang bersih. ‘Jika bukan karena aku masih ingin bekerja dengannya, aku pasti sudah akan membalas jitkannya itu!’ kesal Sofia dalam hati. Ia menggembungkan pipinya kesal dan mengelus bekas jitakan Charles di jidatnya. Jeda panjang terjadi di antara keduanya. Charles fokusnya hanya pada makanan yang ada di depannya saat ini. Sementara itu, Sofia sibuk memainkan ponselnya karena sudah selesai makan duluan. “Gaji kamu aku kasih dobel,” ucap Charles tiba-tiba. Sofia menoleh cepat pada Charles, hampi saja ponsel di tangannya terlepas dari genggamannya. Dengan kedua bola mata yang melebar sempurna, Sofia bertanya untuk memastikan. “Kamu nggak kesambet setan penglaris, kan?” “Selain menjadi sekretaris, aku juga membayarmu untuk menjadi pacar pura-pura.” “Hah?! Pacar pura-pura?! Apa maksudmu?” Sofia tidak mengerti dengan pembicaraan yang diberikan oelh Charles. “No objection! Karena aku sudah nurut sama kemauan kamu, jadi sekarang kamu harus nurut sama kemauan aku.” Sofia menganga. Jadi itu sebabnya mengapa Charles hari ini terlihat sangat menurut kepadanya, membawanya makan di luar, menyerahkan tempat makan mana yang akan mereka hampiri, bahkan menertawakan Charles yang tidak bisa makan dengan tangan. “Hanya karena aku minta kamu makan di warung pinggir jalan, kamu sekarang meminta aku buat jadi pacar pura-puranya kamu? Ini nggak fair banget!” protes Sofia. “Lagian kita kan baru kenal. Mana bisa jadi pacar pura-pura,” lanjut Sofia dengan wajah yang tidak rela. Charles memajukan badannya. Sofia tanpa sadar menahan napas melihat seberapa dekat pria itu dengannya. “Jangan lupa kita sudah menjalani malam pertama,” bisik Charles di telinga Sofia dan sukses membungkam bibir wanita itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD