"Kau gila."
Aku langsung melepaskan tangan Gabrian yang masih melingkar di bahuku setelah memastikan kak Vino sudah tidak berada disekitar kami lagi.
"Kita harus bicara."
Tanpa meminta persetujuan Gabrian aku langsung menyeret laki-laki itu pergi ke tempat yang lebih sepi. Beberapa pasang mata mulai menatap kami sambil tersenyum. Ah aku bisa gila jika terus-terusan berurusan dengan orang ini. Setelah sampai di tempat yang cukup tersembunyi, aku langsung menatap Gabrian tajam.
"Apa maksutmu berkata seperti itu di depan kak Vino? Kau taukan aku sedang mencari cara supaya bisa dekat dengan laki-laki itu?"
Gabrian bersidekap sambil tersenyum mengejek padaku.
"Apa yang begitu kau marahkan Raya? Bukankah dulu kau sendiri yang ingin memberi tau semua orang kalau kita sudah pernah tidur bersama? Lalu mengapa sekarang kau begitu marah hanya karna aku bicara seperti itu pada Vino?"
Aku melongo tidak percaya mendengar perkataan Gabrian yang memang sengaja ingin menyindirku. Sebenarnya dia mau apa sih? Aku mengacak rambutku sendiri dengan frustasi.
"Lupakan masalah itu. Ok baiklah aku tidak ingin memperumit keadaan kita dengan mengungkit apa yang pernah terjadi di antara kita, jadi sekarang kuanggap kita impas. Aku pernah mengancammu dan kau juga sudah melakukan hal yang sama, jadi tolong katakan yang sebenarnya pada kak Vino agar dia tidak salah paham."
Gabrian hanya tersenyum sambil memegang kedua bahuku. Sepertinya penjelasan panjang lebar yang baru saja kukatakan padanya sama sekali tidak akan membuat dia menjelaskan hubungan kami yang sebenarnya pada kak Vino.
"Dasar bodoh. Apa kau tidak sadar jika keberadaanku bisa membuatmu semakin diperhatikan oleh Vino?"
"Maksudnya?"
Gabrian melepaskan tanganya dari bahuku dan mulai memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sejurus kemudian dia mulai mengeleng-gelengkan kepalanya. Apa sekarang dia sedang mengejek penampilanku? Menyadari hal itu aku langsung memukul bahunya.
"Aww. Kenapa kau memukulku?"
"Kau sedang mengejekku kan?"
"Siapa bilang? Aku memperhatikanmu karna aku sedang menilai penampilanmu secara keseluruhan. Setidaknya kau harus berpenampilan menarik untuk bisa menjadi pusat perhatian laki-laki yang kau sukai."
"Sama saja. Kau hanya memperhalus kata-katamu agar aku tidak marah kan?"
"Dengarkan aku Raya. Biasanya seorang lelaki akan bosan diikuti terus-terusan oleh perempuan yang tidak begitu di sukainya. Lain halnya jika kau tetap berada di dekatnya tapi tidak terlalu memperhatikan laki-laki itu lagi. Secara bertahap dia mungkin saja menyadari perubahanmu dan akan merasa kehilangan jika kau mulai mengacuhkannya."
"Apa iya?"
Aku mulai memikirkan perkataan Gabrian. Benar katanya. Jika kak Vino punya sedikit saja perasaan padaku, bisa jadi dia akan merasa kehilangan jika aku memutuskan untuk bersama orang lain. Masalahnya apa mungkin kak Vino akan terpengaruh dengan perubahanku?
"Tidak ada ruginya kau pura-pura jadi pacarku. Di satu sisi kau bisa membuat Vino mulai menyadari keberadaanmu, di sisi lain aku akan membantumu dalam hal penampilan dan mode agar kau terlihat lebih menarik di matanya. Bagaimana?"
Aku menatap Gabrian penuh selidik. Dia bukan tife orang yang mau bernegosiasi secara cuma-cuma. Jadi sebenarnya apa mau laki-laki ini?
"Kedengaranya sangat menguntungkan untukku, lalu apa untungnya buatmu? Sorry mulai sekarang aku tidak akan memanggilmu dengan sebutan kakak kecuali di depan Grisella dan Arron."
"Tentu saja akulah orang yang paling di untungkan. Kau hanya perlu jadi pacarku atau terlihat mesra denganku hanya jika ada wanita tadi, jika tidak kau bebas melakukan apa yang kau mau Raya. Masalah kau mau memanggilku dengan sebutan apa it's ok aku tidak keberatan."
"Aku perlu tau satu hal."
"Apa?"
"Siapa dia?"
"Dia siapa?"
"Wanita itu. Memangnya siapa lagi? Apa ada wanita lain selain wanita tadi?"
"Kau tidak perlu tau. Tugasmu hanya melakukan apa yang kuperintahkan bukan mencampuri masalah pribadiku."
Gabrian berlalu meninggalkanku sambil mengacak-acak rambutku persis seperti anak kecil.
"Hei aku bukan adikmu brengsek."
Gabrian hanya mengangkat tangannya santai tanpa menoleh sama sekali padaku. Sesaat setelah Gabrian menjauh aku baru menyadari kalau jam istirahat kantor sudah beberapa menit berlalu. Sial. Pak Giri pasti marah lagi.
Secepat kilat aku berlari menuju ruanganku dengan perasaan was-was yang luar biasa. Sejak awal beliau memang tidak begitu suka padaku. Pasalnya pada saat interview beliau sempat melihatku berdua dengan Gabrian. Bisa jadi beliau mengira aku masuk ke perusahaan ini melalui jalur belakang.
"Raya!"
Mampus. Teriakan pak Giri begitu melihatku yang ngos-ngosan masuk ke dalam ruangan membuat nyaliku benar-benar ciut. Gabrian, ini semua gara-gara laki-laki itu. Cerita pagi tadi terulang kembali. Pak Giri mulai memarahiku yang hanya bisa menunduk sambil terus mengucapkan kata maaf. Yah apalah artinya pegawai magang, kapan saja, dimana saja, jika melakukan kesalahan pasti dimarahi habis-habisan.
***
Pulang kerja Arron sudah berjanji akan menjemputku. Kali ini dia sendirian tidak bersama Grisella seperti biasanya. Aku sebenarnya sudah menolak, tapi Arron tetap memaksa akan menjemputku.
"Tidak diantar pak Gabrian?"
Kak Vino yang kebetulan turun ke lobby bersamaku merasa heran saat melihatku akan pergi bersama Arron. Ah Arron pasti akan salah paham atas pertanyaan kak Vino.
"Hari ini aku ada janji dengan Arron masalah pekerjaan."
"Memangnya kenapa kak Gabrian harus mengantarmu Raya?"
Arron mulai bertanya penuh selidik.
"Ada tempat yang harus kukunjungi dengan pak Gabrian Arron."
Kali ini kak Vino yang menatapku penuh tanda tanya. Aku langsung memasang wajah memelas agar dia tau kalau aku tidak ingin Arron tau masalah kedekatan palsuku dengan si Gabrian sialan itu.
"Ya sudah kalau memang kau punya janji dengan dia, nanti biar aku yang menemani pak Gabrian ke lapangan."
"Thank you kak Vino, aku berhutang budi padamu."
Kak Vino tersenyum manis sebelum meninggalkan kami berdua. Sukurlah dia mengerti, Arron juga sepertinya tidak mempermasalahkan Gabrian lagi.
"Kenapa kau tidak bilang kalau kau punya pekerjaan sore ini?"
"Bukankah tadi aku sudah melarangmu menjemputku Ron?"
"Kau tidak mengatakan apa alasanya, kupikir kau hanya merasa tidak nyaman pergi berdua saja denganku."
"Kenapa harus tidak nyaman?"
"Hanya dugaanku saja. Soalnya akhir-akhir ini sepertinya kau menghindariku Raya."
Aku diam saja. Aku tau Arron pasti menyadari perubahanku.
"Apa dugaanku benar Raya?"
"Aku tau kau pasti menyadarinya Arron. Kau mengenalku dengan sangat baik."
"Jadi apa alasanya?"
Aku menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Arron. Ini bukan kali pertama kami membahas masalah seperti ini.
"Kau tau jawabanya."
Mendengar jawabanku Arron langsung menepikan mobilnya. Setelah mematikan mesin mobil, Arron menatapku tajam.
"Apa hanya perasaan Grisella yang harus selalu kau utamakan Raya? Apa kau sama sekali tidak peduli dengan perasaanku?"
"Kenapa kita harus selalu bertengkar karna masalah ini Arron? Kau tau Grisella menyukaimu..."
"Dan kau jelas tau aku menyukaimu Raya."
Aku terdiam. Selama ini aku memang lebih banyak menghindari Arron agar dia dan Grisella bisa menghabiskan waktu berdua. Aku selalu mengutamakan perasaan Grisella sembari mengabaikan perasaan Arron padaku. Jika bisa aku tidak ingin berada diantara mereka berdua. Aku merasa tidak pantas disukai oleh Arron sementara ada wanita yang lebih pantas mendapatkan cintanya.
"Apa kita memang tidak bisa bersama Raya? Apa tidak bisa sekali saja kau melihatku sebagai seorang laki-laki? Bukan sebagai sahabat tapi sebagai seseorang yang pantas untuk kau cintai. Apa aku ini benar-benar tidak ada dihatimu?"
Aku terus diam. Jika sudah seperti ini aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Jujur terkadang muncul perasaan egois untuk menerima Arron sebagai seseorang yang spesial di hatiku. Tapi setiap kali perasaan itu muncul, wajah sedih Grisella juga muncul menghantuiku. Haruskah aku bahagia di atas luka sahabat baikku sendiri?
Arron menggenggam tanganku. Dapat kurasakan ketulusan laki-laki itu dari tatapan matanya. Entah sejak kapan Arron mulai menyukaiku, dan selama itu pula aku mulai menarik diriku menjauh dari Arron. Kurasakan genggaman tangan Arron semakin erat dan perlahan-lahan laki-laki itu mulai mendekat. Apa dia akan menciumku? Apa boleh aku menerima ciumanya?
Perlahan aku mulai memejamkan mataku. Aku tidak salah kan jika aku menerima ciuman Arron? Tiba-tiba banyangan Grisela muncul begitu saja diingatanku. Tidak, aku tidak boleh seperti ini. Mendapati bibir Arron yang semakin mendekat aku segera memalingkan mukaku. Seketika Arron berhenti dan berbisik ditelingaku.
"Sepertinya aku memang tidak ada di hatimu Raya."
Arron menjauhkan dirinya dariku dan mulai melajukan mobilnya kembali. Sepanjang perjalanan ke apartemenku kami hanya diam. Bahkan aku tak berani menatap ke arah Arron. Sepertinya dia marah, aku merasa begitu bersalah karna sudah melukai laki-laki itu. Sesampainya di apartement, Arron langsung pulang sesaat setelah aku menutup pintu mobilnya. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Kali ini Arron benar-benar kecewa padaku. Sekarang aku harus apa? Haruskah kubuka pintu hatiku untuk Arron? Bolehkah aku egois?
***
Beberapa minggu berlalu. Dengan memanfaatkan hubungan palsuku dan Gabrian akhirnya aku hanya ditempatkan di divisi pemasaran tanpa harus dipindah-pindah ke divisi lain. Gabrian setuju mengingat tujuanku datang keperusahaanya adalah untuk mencuri hati kak Vino. Dia setuju dengan persaratan yang sama, kapanpun dia membutuhkanku sebagai pacar palsunya maka aku harus bersedia.
Beberapa minggu ini juga Arron menghindariku. Bahkan Arron selalu menolak jika kami ajak nongkrong seperti biasanya. Grisella mulai curiga dengan renggangnya hubungan kami mengingat Arron tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Tapi baik aku maupun Arron, kami berdua sepertinya tidak ada yang berniat menjelaskan apa-apa pada Grisella.
Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menemui Arron dan meminta maaf padanya? Bukankah kata maaf akan semakin melukai laki-laki itu? Di sisi lain, kedekatan antara aku dan kak Vino secara perlahan mulai menunjukan perkembangan. Sesekali kami makan bersama di kantin perusahaan. Ku dengar Alya akan segera menikah. Hari itu mungkin saja kak Vino sedang mencoba peruntunganya. Melamar Alya disaat dia sudah punya pacar adalah resiko terburuk yang harus dia tanggung. Tapi sejauh ini kulihat kak Vino dapat mengatasi lukanya dengan baik.
"Raya aku butuh bantuanmu."
Aku membanting ponselku dengan kasar begitu membaca pesan dari seseorang yang akhir-akhir ini ikut memusingkan kepalaku. Siapa lagi kalau bukan Gabrian. Aku mengabaikan pesannya dan kembali melanjutkan pekerjaanku.
"Raya kau di panggil sama pak Gabrian. Katanya laporanmu ada yang salah."
Suara pak Giri dari belakangku membuatku langsung berdiri dan menatap beliau dengan hormat.
"Baik pak."
Setelah mendapat jawaban dariku, pak Giri langsung pergi sambil menggerutu. Dapat ku dengar dengan jelas beliau mengomel dan mengatakan Gabrian sengaja memanggilku dengan alasan pekerjaan padahal tujuannya hanyalah ingin berduaan denganku. Sial. Gabrian membuatku semakin di benci oleh pak Giri.
Dengan kesal aku segera menemui laki-laki menyebalkan itu. Saat aku tiba di ruanganya aku terkejut setengah mati begitu menyadari Gabrian tidak sendiri. Dia sedang bersama wanita itu. Ini kali kedua kami bertemu. Setelah diperhatikan dengan seksama ternyata wanita itu sangat cantik. Hari itu aku tidak terlalu memperhatikanya karna terlalu terkejut dengan tindakan Gabrian.
"Hei kenapa hanya bengong di depan pintu? Masuklah."
Aku masuk dengan kikuk. Jujur aku merasa terintimidasi dengan tatapan meneliti dari wanita yang duduk tepat di seberang meja kerja Gabrian itu.
"Kemarilah. Aku ingin memperkenalkan seseorang padamu. Hari itu karna suatu hal yang tidak menyenangkan, aku belum sempat memperkenalkanya padamu."
Semula aku akan duduk disebelah wanita itu. Tapi Gabrian langsung memberi kode untukku agar berdiri disamping kursi kerjanya. Aku menurut meskipun jadi semakin tidak nyaman karna langsung berhadapan dengan wanita itu.
Dengan ramah ku ulurkan tanganku padanya untuk mengajak wanita itu berkenalan. Dia pun menyambut uluran tanganku dengan tak kalah ramahnya.
"Kenalkan aku Raya."
"Aku Nabilah, sahabat baik Gabrian. Kamu?"
Mendapat pertanyaan dari Nabilah, aku langsung menatap Gabrian sambil tersenyum.
"Dia pacarku Nab, sekaligus teman baik Grisella."
Kuperhatikan raut wajah Nabilah sesaat setelah Gabrian mengatakan kalau aku ini adalah pacarnya. Wanita itu tetap tersenyum manis, namun senyum itu tidak dapat menyembunyikan perasaan kecewa dari raut wajahnya. Dia pasti sedih.
"Kau beruntung punya pacar seperti Gabrian Raya. Kalau begitu aku pergi dulu, aku tidak ingin mengganggu waktu kalian berdua."
Nabilah berdiri sambil tersenyum ramah padaku dan Gabrian. Dapat kulihat dengan jelas kilatan luka dan kecewa dari senyuman itu. Setelah Nabilah pergi aku pun bermaksud meninggalkan Gabrian seorang diri. Baru saja akan pergi, Gabrian menarik tanganku.
"Raya haruskah kusakiti hati wanita yang dulu pernah menyakitiku?"
To be continue...