Episode 4: Patah Hati

1937 Words
Keesokan harinya aku berangkat kerja dengan malas. Sungguh hariku benar-benar buruk. Setelah semalam menyaksikan pemandangan yang tidak diinginkan dan berakhir memalukan dalam pelukan Gabrian, hari ini aku malah terlambat datang bekerja. Atasanku langsung melotot dan memberi teguran atas keterlambatanku. "Hei kok lemes? Biasanya kamu yang paling semangat dan paling pagi datang ke kantor." Aku mengabaikan Bima yang bertanya sembari duduk menghampiriku. Hari ini semangatku benar-benar menghilang. "Apa kau sakit? Ah kenapa hari ini banyak sekali yang datang dengan wajah kusut." Aku mengernyitkan dahi sambil menatap Bima serius. Jadi selain aku ada juga orang yang menghadapi hari yang buruk. Ditatap seperti itu Bima malah tersenyum jahil dan siap melayangkan pertanyaan padaku. "Jangan bertanya apapun Bim. Hari ini moodku benar-benar buruk." Bima langsung tertawa renyah dan melancarkan ucapan-ucapan konyol untuk menggodaku. "Raya kau seperti orang yang sedang patah hati. Lebih tepatnya kau seperti wanita yang baru saja di tolak. Tapi jangan bersedih, wajah sedihmu itu Sama persis seperti wajah kak Vino." "A apa? Kak Vino juga bersedih?" Pikiranku kembali ke kejadian semalam. Apa jangan-jangan kak Vino ditolak oleh Alya? Ah sial, kenapa semalam aku tidak menyaksikan mereka sampai selesai? "Raya Kenapa kau begitu terkejut? Apa kau tau sesuatu?" Aku langsung tersadar dari lamunanku begitu mendapat pertanyaan dari Bima. Baru saja ingin menjawab pertanyaan Bima, suara yang begitu kami kenal tiba-tiba membuat kami terkejut setengah mati. "Ehem! Kalian mau kerja atau mau ngerumpi?" Seketika aku dan Bima langsung berdiri sambil membungkuk. Atasan kami pak Giri yang pagi tadi sempat memarahiku, kini sudah berdiri didepan kami sambil berkacak pinggang. "Raya kalau kau tidak menunjukan dedikasi yang tinggi dalam bekerja, besar kemungkinan kau tidak akan diterima sebagai pegawai tetap di perusahaan ini." "Maaf pak." "Kau juga Bima, walaupun kau sudah diterima secara resmi diperusahaan ini kami masih punya wewenang untuk memecatmu. Jadi berhenti membuang-buang waktu dengan membicarakan hal yang tidak berguna. Cepat kembali bekerja." "Baik pak." Secara serentak kami menjawab dan duduk kembali ke kursi kerja kami masing-masing. Setelah pak Giri pergi, Bima melirikku sambil tersenyum lucu. Sial gara-gara dia hari ini aku dapat teguran lagi. Tak ingin kembali mendapat teguran, aku mulai memeriksa berkas yang diserahkan oleh kak Vino sore kemarin. Untuk sementara tugasku hanyalah memeriksa kesalahan pengetikan jumlah pemesanan barang. Mudah sih tapi akan berakibat fatal jika ada kekeliruan dalam pengetikannya. Ah kepalaku pusing. Angka demi angka yang tertera di dalam kertas laporan ini malah selalu membuatku mengingat kejadian semalam. Apa kak Vino benar-benar sudah di tolak? Jika tidak kenapa wajahnya sama kusutnya denganku? Aku penasaran setengah mati sayangnya kak Vino sedang ditugaskan survey barang ke lapangan. Setelah berjam-jam berkutat dengan laporan dan pikiran yang kusut, akhirnya jam istirahat datang juga. Hari ini aku memilih makan bekal di atap kantor yang konon katanya cukup nyaman untuk dijadikan tempat menghabiskan waktu luang. Setelah sampai di atap kantor ternyata apa yang dikatakan orang-orang itu memang benar. Atap memang lumayan layak untuk dijadikan tempat menghabiskan waktu luang. Selain disediakan kursi santai dan disuguhi pemandangan kota yang... Tunggu bukankah itu kak Vino? Apa yang dilakukanya disini? Meskipun saat ini dia sedang membelakangiku, aku bisa menebaknya dengan mudah jika orang itu benar-benar kak Vino. Hampir 4 tahun kuhabiskan waktukku untuk terus memperhatikanya jadi aku tidak mungkin salah mengenali orang. Tapi kenapa dia disini? Apa dia tengah menunggu seseorang? Bukankah biasanya dia selalu bersama Alya? Aku memilih duduk di kursi terdekat demi menghindari kak Vino yang bisa saja menyadari keberadaanku. Sambil menyantap makan siang, kuperhatikan kak Vino yang sesekali menghela nafas berat. Benar kata Bima, sepertinya kak Vino juga mengalami hari yang buruk sama sepertiku. Sedang asik makan sambil memperhatikan kak Vino, tiba-tiba orang itu berbalik. Sontak aku terbatuk dan hampir menyemburkan semua isi mulutku. Kak Vino sepertinya sama terkejutnya denganku. Sambil tersenyum dia menghampiriku dan duduk dengan tangan terlipat di d**a tepat di hadapanku. "Sejak kapan kau duduk disini? Kenapa aku tidak menyadari keberadaanmu?" Gugup? Tentu saja. Setelah hampir 4 tahun menjalani cinta sepihak dengan orang yang duduk tepat dihadapanku ini, hari ini untuk pertama kalinya kami duduk berhadapan dengan jaraknya yang bisa ku raih dengan tanganku. "Mungkin 10 menit yang lalu. Aku tidak ingin mengganggu kakak yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu yang sangat serius. Makanya aku memilih untuk diam." Aku berhasil menjawab dengan lugas meskipun jujur aku sungguh gugup saat ini. "Apa tadi aku benar-benar terlihat sedang serius?" Aku mengernyitkan kening mendengar pertanyaan kak Vino. Ah aku tau, dia pasti tidak ingin aku mengetahui kegalauan hatinya. Bolehkah aku menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada orang ini? Tidak. Aku tidak berhak ikut campur. Sebaiknya aku meninggalkan kak Vino sendiri. "Kurasa suasana hati kakak sedang tidak baik. Kalau begitu aku turun duluan kak. Kakak bisa menghabiskan waktu lebih lama disini." Aku segera menutup kotak bekal makan siangku dan bermaksud meninggalkan kak Vino. Secara lirih kak Vino menanyakan sesuatu padaku tepat disaat aku berbalik dan bersiap turun meninggalkanya. "Raya saat dulu dengan lugasnya kau mengatakan bahwa kau menyukaiku dan saat itu pula aku menolakmu, apa yang kau rasakan?" Deg. Aku langsung berbalik menatapnya begitu mendengar pertanyaan kak Vino. Kenapa dia mengingatkanku pada kejadian itu? Apa dia benar-benar ditolak oleh Alya? "Apa kak Vino sedang patah hati?" Kak Vino yang semula menunduk kini menatapku penuh tanda tanya. "Jangan salah paham kak. Aku hanya asal menebak." Menyadari kak Vino yang sepertinya butuh teman bicara, aku kembali duduk dihadapan laki-laki itu. Kak Vino terus memperhatikanku yang tentu saja jadi salah tingkah. Mukaku pasti sudah merah padam sekarang. "Apa ditolak itu rasanya memang menyakitkan Raya? Sebelum ini kita tidak pernah dekat bahkan tidak pernah berhubungan melalui telpon, aku jadi tidak punya kesempatan untuk menanyakan bagaimana perasaanmu." Aku memilih untuk diam meskipun dia menunggu jawaban dariku. Sepertinya Alya benar-benar sudah menolak kak Vino. Menyadari hal itu aku jadi tidak tau harus berkata apa. Haruskah kukatakan bahwa rasa sakit karna penolakanya masih terasa sampai sekarang? Haruskah ku katakan bahwa memendam cinta bertepuk sebelah tangan itu ibarat menggenggam bara api? "Maafkan aku Raya. Jika sejak awal aku tau bahwa penolakan itu sangatlah menyakitkan, aku pasti akan mempertimbangkan perasaanmu." "Bagaimana kakak tau bahwa ditolak itu rasanya sakit? Apa kakak baru saja di tolak Alya?" Kak Vino menatapku dengan terkejut. "Aku hanya menduga-duga karna selain Alya, kak Vino tidak pernah dekat dengan wanita lain." Rona keterkejutan perlahan sirna dari wajah kak Vino begitu aku selesai melanjutkan kalimatku. Apa dia benar-benar ditolak Alya dan berusaha menyembunyikanya? Kenapa? Apa dia malu? Aku bahkan tidak malu meskipun setiap hari harus berhadapan dengannya. Dengan orang yang sudah menolakku setahun yang lalu. "Kau benar. Semalam Alya baru saja menolakku." Sedikit ragu akhirnya kak Vino menyuarakan isi hatinya. Kini wajah tampanya berubah sayu. Penuh kesedihan. Entah mengapa melihat wajahnya yang seperti itu, aku jadi merasa bersalah. "Maafkan aku kak. Aku tidak bermaksud mengingatkan kakak pada kejadian yang sebenarnya ingin kakak lupakan." "Kau tidak salah Raya." "Tapi tetap saja, keberadaanku membuat kakak mengingat penolakan yang mungkin saja sangat menyakitkan bagi kakak." Kak Vino menghela nafas berat. "Raya apa penolakan itu memang sesakit ini?" "Jujur aku juga merasa sangat sakit waktu kakak secara langsung menolakku tanpa berpikir dua kali. Padahal saat itu aku mengumpulkan semua keberanianku untuk mengatakanya." Kak Vino menatapku dengan sedih. Aku jadi tidak tega. Tidak seharusnya dia merasakan apa yang dulu pernah ku rasakan. Jika hal ini kuceritakan pada Grisella dan Arron, mereka pasti berpikir bahwa kak Vino sedang kena karma karna pernah menolakku dulu. Tidak. Apapun yang terjadi mereka berdua tidak boleh tau. "Tapi sesakit apapun hatiku saat itu, perasaan sakit itu sama sekali tidak mengurangi kadar sukaku pada kakak. Aku menyukai kakak adalah hal yang tidak bisa ku pungkiri. Meski berusaha untuk menolaknya, itu kenyataan yang tidak bisa kubantah. Sembari mengingat rasa suka itu, aku mencoba menelan perasaan pahit karna penolakan. Dan aku berhasil kak. Aku bahkan tidak bisa membenci kakak yang sudah menolakku setiap kali mengingat bahwa aku benar-benar menyukai kakak." Kak Vino tertegun mendengar penjelasanku. Entah dia mengerti atau tidak, tapi aku berharap semoga apa yang kukatakan padanya bisa mengurangi sedikit rasa sakit yang saat ini sedang dia tanggung. Aku jadi ingin memeluknya dan memberikan ketenangan sama seperti yang diberikan oleh Gabrian padaku semalam. Sial. Kenapa disaat seperti ini aku malah mengingat laki-laki itu? Tanpa sadar aku langsung menggeleng-gelengkan kepalaku untuk mengusir bayangan kejadian semalam dari pikiranku. "Raya ada apa? Apa ada yang salah?" "Ah maaf kak. Tidak tidak. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak kupikirkan." "Oh. Kupikir kau sedang kesakitan." Aku hanya tersenyum tidak enak menanggapi perkataan kak Vino. "Terima kasih Raya, juga maaf. Hari ini aku baru menyadari bahwa butuh hati yang begitu luas untuk bisa menerima penolakan. Aku sungguh salut padamu." "Aku juga berterima kasih pada kakak. Berkat kakak hari ini untuk pertama kalinya kita bisa bicara seperti ini." Kak Vino hanya tersenyum dan mengajakku turun bersama. Aku tidak tau harus merasa senang atau sedih terhadap apa yang baru saja kudengar. Tapi melihat wajah kak Vino yang tidak bersemangat, entah mengapa perasaan sakit itu kembali hadir. Benarkah melihat orang yang kita sukai tidak bahagia itu lebih menyakitkan dari pada tidak bisa memilikinya? *** Saat turun ke bawah untuk kembali bekerja, tanpa sengaja aku dan kak Vino berpapasan dengan Gabrian. Gabrian tampak sedang berbincang serius dengan seorang wanita. Tunggu dulu, wanita itu sedang menangis kan? Kenapa? Ah bukan urusanku, lagi pula kak Vino menatapku seolah mengisyaratkan untuk tidak ikut campur urusan Gabrian. Saat kami akan pergi entah mengapa Gabrian malah berjalan ke arah kami. Wanita itu juga terus mengikuti Gabrian sambil menangis. Yang lebih membuatku terkejut adalah saat Gabrian dengan sengaja menarikku ke dalam pelukannya sambil mengatakan sesuatu yang membuatku bingung setengah mati. "Kau kemana saja? Apa kau tidak sadar kalau aku sangat menghawatirkanmu?" Aku ingin berontak, tapi dekapan Gabrian yang kuat membuatku tak bisa melakukan apa-apa. Dengan sangat lirih Gabrian membisikan sesuatu ke telingaku. "Pura-puralah jadi pacarkku, jika tidak akan kubocorkan rahasia kita pada Vino, Arron, dan Grisella." Sial dia mengancamku. "Atau kau ingin segera hengkang dari perusahaan ini dan melupakan keinginanmu untuk lebih dekat dengan Vino?" Ahg. Gabrian benar-benar menyebalkan. Ancaman dan pelukan Gabrian adalah perpaduan yang sulit sekali untuk ku hindari. Aku tidak punya pilihan lain. Jika Gabrian tidak main-main dengan ancamanya, bisa jadi dia akan memecatku sekarang  juga. Lagi pula akan sangat memalukan jika Grisella sampai tau kalau aku pernah tidur  bersama kakaknya. Setelah berpikir masak-masak dalam waktu yang sangat singkat, dengan terpaksa aku menganggukan kepala dan mulai berpura-pura manis di depan Gabrian, Vino, dan wanita itu. "Maaf aku tidak sempat memberitaumu. Tadi aku makan siang di atap dan tak sengaja bertemu kak Vino." "Lain kali beri tau aku jika kau mau kemana-mana. Kupikir..." "Dia siapa?" Aku sengaja memotong ucapan basa-basi Gabrian sambil menatap wanita yang kini sedang mematung memperhatikan kami. Bukankah Gabrian ingin aku pura-pura jadi pacarnya demi menghindari wanita itu?  Mendengar pertanyaanku tangis wanita itu seketika berhenti. Sambil mengusap air mata, dia berbalik pergi meninggalkan kami. Sekarang dapat kulihat dengan jelas wajah Gabrian yang kupikir akan bahagia setelah kepergian wanita itu. Raut sedih yang terlihat jelas dimatanya adalah bukti kalau Gabrian sama terlukanya seperti wanita itu. "Maaf pak saya jadi tidak sengaja mengetahui masalah pribadi bapak dan Raya." Suara kak Vino membuatku serta merta mengingat keberadaan laki-laki itu. Sial. Kak Vino pasti berpikir ada hubungan istimewa antara aku dan Gabrian. Bagaimana mungkin aku melupakan keberadaan laki-laki itu. Kutatap Gabrian penuh harap agar dia mau menjelaskan kesalah-pahaman ini pada kak Vino. "Vino kuharap kau dapat menyembunyikan hubungan kami pada karyawan lainnya." "A aa apa?" Gabrian kembali menarikku mendekat ke arahnya sambil tersenyum ramah pada kak Vino. Kak Vino hanya mengangguk dan berlalu dari hadapan kami dengan sopan. Aku kembali menatap Gabrian horor. Apa dia sudah gila? Bagaimana mungkin aku bisa mendekati kak Vino jika dia dengan sengaja membuat kak Vino salah paham terhadap hubungan kami. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD