Part 24

1555 Words
Part 24 "Sekarang gantian lo yang mukanya masam, napa lo?" tanya Salma seraya masuk ke dalam mobil dan mobil pun perlahan berjalan dengan laju stabil. "Gue lagi marah aja dan ingin rasa cabik-cabik wajah orang." Silma pun berteriak kesal dan tangannya mencakar tempat duduk pengemudian. "Apa lo punya masalah sama Alfama*t?" tebak Salma. "Lo bisa banget nebak bener sih." "Kan gak enaknya pacaran kayak gitu, marah-marahan enggak jelas." "Salma, kok lo ngomong gitu sih!" Suara Silma agak meninggi. "Ingat ya, kita tidak diperbolehkan pacaran. Lo jangan sampai lampiasin orang rumah, mereka bakal curiga." "Ya gue bohong lah, tinggal bilang tugas gue banyak dan itu menjadi sebab gue marah. Mudah kan?" Silma menguncir rambutnya asal. "Iya deh ya terusin aja lo bohongi orang tua. Nanti kena batunya, lo bakal sadar sendiri." "Gue bohong demi kebahagian gue sendiri kok." "Kebahagiaan apa lagi? Punya pacar terus dapat kebahagiaan gitu?" "Iya, bunda sama ayah sibuk terus. Kita aja biasanya diabaikan." "Meski mereka sibuk juga mereka masih nyempetin waktu rawat kita kok, kaki lo sakit aja yang ngobatin bunda. Masih belum sadar kalau bunda itu perhatian sama lo?" tanya Salma heran dan tak habis pikir kakaknya berkata seperti itu. "Gue dari dulu gak setuju bunda kerja, Salma. Gue ingin cuman ayah doang yang kerja. Setelah nenek meninggal, semua dilipahkan ke bunda dan bunda mau-mau aja. Gue juga sudah bilang ke bunda dulu buat nolak tapi tetap aja bunda yang dengerin gue. Suka kesel gue kalau ingat dulu itu." "Lo aja yang masih kekanak-kanakan, Sil. Mereka bekerja buat kita dan kebutuhan semakin tahun juga banyak. Selagi mereka masih beri perhatian ke kita, lo jangan mengeluh begini dan masih banyak yang lebih parah dari lo. Kurang bersyukur apa sih lo ini? Gini ni kalau bocah, pikirannya dongkol banget deh." Sarkas Salma. "Lo ngatain pikiran gue dongkol? Lo kembaran gue, kenapa gak paham apa gue katakan tadi sih?" Silma emosi mendengar dirinya dikata pikiran dongkol oleh Salma. Salma memilih diam daripada berbicara lagi nantinya membuat kakaknya semakin marah dan menimbulkan keributan besar di antara mereka. Meski kembar, tak selalu memiliki pikiran yang sama dan saling adu mulut pun terkadang bisa terjadi seperti sekarang. Salma memijit pelipisnya pelan dan si kembar sama-sama memandang jalanan dari jendela. Silma merasa kesal adiknya tidak mengerti perasaannya dan Salma tak bisa diajak kerja sama untuk menghentikan bundanya supaya tidak bekerja. Setiba mereka di rumah, mereka berdua terkejut melihat bundanya berdiri di teras rumah dan menyambut kepulangan mereka dari sekolah. "Bun!" Salma tersenyum lebar dan berlari menghampiri Zena. Zena merentangkan kedua tangannya dan memeluk putrinya. Tapi tidak bagi Silma yang melengos pergi dari hadapan mereka. "Silma, enggak peluk bunda? Ayo berpelukan!" Ajak Zena pada Silma tapi Silma mengabaikan mereka berdua dan terus berjalan. "Silma kenapa, Sal?" tanya Zena bingung kepada Salma. "Lagi marah sama Salma." "Lha kamu apain kakakmu bisa marah begitu? Ributin apa hayo?" Zena merangkul Salma melangkah masuk ke rumah bersama. "Cuman debat doang nanti aku yang minta maaf, Bunda." "Kalian ini bikin bunda khawatir aja.' Zena membelai rambut Salma yang sudah lumayan panjang. "Bunda, tumben pulang sore? Biasanya malam." " Hari ini ulang tahun pernikahan bunda sama ayah." "Eh iyakah? Haduh aku bisa lupa. Happy anniversary bunda sama ayah tapi ayah belum pulang." Salma memeluk Zena manja dan keduanya duduk di ruang keluarga. Salma enggan meninggalkan bundanya dan masih di sini berada di dekat Zena. "Sebentar lagi pulang dan bunda sama ayah keluar juga. Kamu jangan lupa makan. Soalnya bunda sama ayah dinner berdua, ingin rasanya menghabiskan waktu berdua karena kamu tau sendiri kan bunda sama ayah sama-sama sibuk akhir-akhir ini." "Bagus, Bunda. Salma seneng dengernya, langgeng yah sampai maut memisahkan kalian." "Amin." Zena tersenyum dan keduanya berpelukan. ... Di ruang makan, hanya ada Salma dan Juna saja. Rasanya sepi sekali sebab orang tua mereka makan di luar tapi Salma tentu ikut senang kedua orang tuanya menghabiskan waktu bersama dan berharap maut yang memisahkan mereka. "Mbak Silma kok gak ada?" tanya Juna pada Salma. "Dia ingin makan di kamar." "Kan kakinya sudah sembuh padahal enak makan bersama begini. Kemarin aja Mbak Salma yang nemenin dia kan?" "Iya, biarin deh Jun. Nanti tambah marah dianya." "Emang lagi marah? Atau kalian berdua yang lagi marahan?" Juna merasa heran karena kakak kembarnya itu jarang sekali berantem. "Iya begitu, gue yang salah dan bikin dia marah." "Iyuuh yuklen." "Diem! Makan sampai habis, jangan bicara mulu!" Salma menatap pembantunya sekilas yang tengah membawakan makan malam untuknya dan adiknya. "Bi, Silma ingin makan di kamar." "Oh ya, Nona." Pembantunya mengangguk paham dan menyiapkan makan malam untuk Silma kemudian diantar ke kamar anak majikannya tersebut. Salma dan Juna pun makan malam dengan diiringi suara dentingan alat makan mereka yang beradu dan menggema di ruang makan rumahnya. Tidak lama, pembantunya yang tadinya mengantar makan malam Silma kembali dan yang membuat Salma kesal adalah pembantunya mengatakan kalau Silma tidak mau makan. Silma hanya ingin s**u dan roti saja sebagai makan malam ini. "Silma hadeh." Akhirnya Salma menyuruh pembantunya meletakkan nampan berisikan makan malam Silma di meja dan ia yang akan mengantarkannya sendiri ke kamar kakaknya. Salma telah menyelesaikan makan malamnya dan bergegas menuju kamar kakaknya sambil membawa nampan. Juna juga ikut dan berada di belakang tapi ujung-ujung bocah laki-laki itu malah ngancir masuk ke kamarnya sendiri. Tok tok tok "Sil, buka pintunya!" suruh Salma seraya mengetuk pintu kamar Silma beberapa kali. Tidak ada jawaban tapi Salma masih mendengar suara Silma yang tengah menggerutu di dalam kamar. "Sil, lo kalau marah boleh-boleh saja tapi jangan begini. Makan yang makan, kalau malam jangan makan aneh-aneh deh." "Lo terbiasa makan pakai nasi, jangan aneh-aneh cuman s**u sama roti." "Sil, kesehatan itu mahal harganya ya. Jangan disepelekan! Gue gak suka kalau lo sudah begini!" "Lo bukan bocah, lo udah mau dewasa dan mengerti. Jadi gue mohon segera buka pintunya atau gue buka pake graji mesin?" tawaran yang cukup terdengar sadis namun semua itu supaya kakaknya segera keluar dari kamarnya dan makan malam sesuai menu seperti biasanya. Tepat saat itu juga, pintu terbuka terbuka perlahan dan menampilkan wajah masamnya Silma di sana. "Makan ini, lo gak boleh makan roti sama s**u. Itu bukan diri lo. Bikin gue khawatir aja." Meski kesal mengingat tadi, rasa peduli dan khawatir masih ada pada dirinya sendiri. Salma tidak mau kakaknya sakit saat mendengar ucapan pembantunya bahwa Silma hanya ingin makan roti dan s**u saja. "Kenapa sih suka banget maksa! Gue ingin diet juga." "Diet diet apanya, badan sudah kurus kayak lidi aja gak usah aneh-aneh." Salma nyelonong masuk ke kamar kakaknya. "Lo emang gak sepemikiran sama gue." "Siapa yang bilang lo gendut? Pasti ada orang yang ngatain lo gendut makanya jadi begini, diet diet aja." "Gue takut gendut kalau makan malam terus-terus, porsi makan gue kan banyak." "Sekarang gue tanya lagi, siapa yang bikin lo mikir diri lo itu gendut? Siapa? Gue hajar orangnya." Salma berkacak pinggang dan ikut emosi kala kakaknya sepertinya kemakan omongan orang lain tentang tubuhnya. "Enggak ada, Salma ya." Silma duduk di pinggir kasurnya sedangkan Salma menyiapkan meja makan untuk kakaknya. "Gue tetap di sini sampai makanan ini habis." Salma duduk di sofa yang berjarak hanya beberapa meter saja dari kasurnya Silma. "Gue kan bisa muntahin," ucap Silma asal. "Silma, lo bisa diajak komunikasi bahasa manusia?" Raut wajah Salma datar menatap Silma yang susah dinasehati olehnya. Silma terdiam dan mulai melahap makanannya sambil diawasi adiknya. "Alfa kah? Yang buat lo begini?" tanya Salma bersuara santai tanpa menatap kakaknya. Ia menonton televisi tapi pikirannya tidak tertuju pada acara yang ditayangkan di televisi yang menyala milik Silma. "Sok tau." Silma mendengus sebal dan ogah-ogahan rasanya makan malam. "Gak lama kalian putus, lo makin berubah buruk setelah pacaran." "Sal kalau ucapan lo terus-terusan bikin gue sakit hati mending lo keluar deh dari kamar gue." Silma meletakkan sendoknya dan menghasilkan suara benturan keras berasal dari mangkoknya. Salma tersenyum dan terkekeh sebentar. "Gue jadi pengen ketemu pacar lo dan pengen tau keseriusannya pacaran sama lo." "Gak perlu ikut campur." "Gak perlu ikut campur kata lo? Gue yang bantu lo ini dan itu masih dikata demikian ternyata." "Oke deh oke, gue mau jujur." Silma yang sudah lelah dipojokkan Salma akhirnya memilih mengutarakan alasannya. "Hmm?" "Gue emang diet biar Alfa yang lirik cewek lain. Gue tadi cek ponsel Alfa dan lihat percakapan dia sama teman-temannya di grub geng mereka. Gue merasa sakit hati aja ada yang ngatain tubuh gue itu bukan tipe Alfa. Tipe Alfa yang seksi dan langsing. Ingat itu bikin d**a gue langsung sesak." Silma membaca sekilas percakapan di dalam grub teman-temannya Alfa tadi siang dan itulah yang membuatnya marah-marah tidak jelas sampai malam ini. "Kalau ingin badan bagus itu yang olahraga. Pola makannya yang dijaga bukan dikurangi." "Gue males." "Lo malesan ngapain juga diet-dietan lagian orang kalau jatuh cinta ya gak mandang tubuh." "Sekarang kan dari fisik, banyak kok kayak gitu. Gue gak mau Alfa lirik cewek lain. Tipe Alfa yang tubuhnya bagus-bagus banget jadi gue ingin kayak mereka." "Lo pinter tapi bisa b**o juga. Gue udah bilang, olahraga. You know olahraga? Is apa yah? Is this mlayu-mlayu." Salma menggaruk rambutnya ketika berbicara bahasa Inggris yang tak sengaja tercampur bahasa jawa. Ia memang tak bisa berbahasa inggris, namanya juga berusaha ya kan? Jadi menurut Salma sendiri tak masalah dan asal berani memalukan diri. Mlayu-mlayu: lari-larian atau jogging Silma tertawa terbahak-bahak mendengar suara Salma yang terdengar aneh memakai bahasa yang tercampur aduk. Tingkah adiknya itulah yang membuat suasana moodnya menjadi lebih baik dan tenang. ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD