Part 45

2229 Words
Part 45 Lo dulu bilang ke gue mau serius tapi nyatanya mempertahankan hubungan saja gak becus ---Silma--- "Lo gak les, Sil?" tanya Kiky kepo kepada Silma yang duduk di sebelahnya. Saat ini mereka berdua berada di kantin, sejak putus dari Alfa pula Silma tidak merasa sendirian sebab ada Kiky yang "Enggak, gue sudah pintar." "Sombong nih?" Kiky terkekeh pelan. "Iya." Silma menjulurkan lidahnya dan meledek Kiky. Kiky hanya tersenyum sembari menepuk puncuk kepala Silma lalu ia melanjutkan aktivitasnya yaitu membaca buku. Tentu yang dibaca buku novel melainkan pelajaran dan buku itu sangat begitu tebal. "Lo gak pusing apa seharian gue lihat baca buku terus." Silma menghela napasnya, padahal ini jamnya istirahat namun Kiky tetap saja belajar sedari tadi. "Minggu depan sudah ulangan, Silma. Gue harus dapat nilai bagus." "Lo gak berubah ternyata, Ky. Tetap rajin dari dulu." "Iya, Sil. Apalagi gue sudah diangkat di keluarga ternama dan gue gak malu-maluin mereka dengan nilai yang gue hasilkan itu jelek. Gue ingin banggain mereka dan membuktikan ke mereka agar mereka tidak meragukan gue dan tidak menyesal juga mengangkat gue sebagai anak angkat." "Lo gak tertekan kan? Hmm keluarga lo ternama." "Agak sih, tapi gak papa kok gue seneng aja bisa merasakan diberi perhatian lebih dari orang tua yang mana gue gak bisa dapetin itu semua dari kecil." Kiky mengulum senyumnya tipis mengingat kedua orang tuanya telah tiada sewaktu ia berusia masih dini dan dia dititipkan ke panti asuhan oleh keluarganya sebab keluarganya tidak punya apa-apa. "Gue gak mau sombong sebenarnya kalau soal keluarga. Karena bagaiamapun gue gak berhadap sama harta mereka dan yang gue harapkan itu kebahagiaan bersama keluarga. Bagi gue kebahagiaan itu tidak ada duanya." Lanjut Kiky yang mencurahkan isi hatinya. "Benar juga, Ky. Lo kelihatan juga bahagia banget apalagi mama lo sering telepon lo juga." "Iya, nyokap pengen denger suara gue aja dan itu gak lama teleponnya. Karena mommy khawatir banget sama gue." "Oh ya, di keluarga lo pasti lo punya saudara dong?" "Iya punya, satu doang." "Satu?" "Iya, nyokap gak punya saudara sedangkan bokap punya adik nah adiknya itu punya anak tapi sudah meninggalkan sedangkap bokap angkat gue punya anak juga satu dan seumuran sama gue cuman lebih tua beberapa bulan yang sana." "Cucu kesayangan dong?" "Banget, kakek dari bokap gue itu sangat sayang sama dia. Soalnya nyokapnya kandung sudah meninggal sejak dia lahir. Terus punya nyokap tiri dan baik banget nyokap gue juga ini. Sayangnya semenjak ada gue, dia gak mau lagi gabung keluarganya dan selalu membantah sama ucapannya. Gue denger dari salah satu pembantu di rumah kalau dia kecewa sama keputusan orang tuanya yang mengangkat anak yaitu gue. Dia dari dulu tidak suka punya saudara dan kata dia nangi kalau pinya saudara orang tuanya pada pilih kasih. Padahal enggak, tapi ya gitu dia suka menghindar kalau didekati nyokap dan nyokap pula kangen bisa dekat sama dia. Masalah ini yang selalu buat gue kepikiran setiap hari dan merasa bersalah banget. Mungkin kalau gue sudah sukses nanti, gue bakalan pergi dan tidak tinggal satu rumah sama mereka. Tapi gue tetap mengingat mereka dan ngabarin juga. Gue gak akan melupakan kebaikan orang tua angkat gue sampai kapan pun," ujar Kiky menjelaskan panjang dan lebar tentang dirinya yang tinggal bersama keluarga angkatnya. "Ouh jadi lo gak disukai sama saudara angkat lo itu?" "Dari gue diangkat sampai sekarang belum pernah kita menyapa atau sekedar mengobrol. Gue pun orangnya kalau gak diajak ngobrol duluan ya gue diam saja dan dia tidak pernah keluar dari kamarnya." Kiky mengangguk. "Katanya seumuran kan? Sekolah di sini juga." "Tidak, sekolah di sekolahan mikik bokapnya." "Dimana?" "Leander." Tubuh Silma menegang seketika dan teringat sosok Malvin yang kata Salma dialah anak dari pemilik sekolahan tersebut. "Jadi kakek lo itu kepala sekolahan Leander juga?" tanya Silma lagi dan makin penasaran sekaligus cemas. "Iya, Sil. Lo tau?" "Gue tau cuman sedikit doang kok." Suara Silma terdengar terbata-bata saking tak percayanya bisa saling berhubungan. Sosok di hadapannya ini sudah menjadi keluarganya Malvin dan Malvin pula adalah orang yang tengah dekat dengan Salma. "Pastinya lo tau kan gue udah bilang, gue diangkat dari keluarga ternama dan dikenal. Pastinya lo mengenalnya juga. Emang Salma sekolah dimana? Kok gak satu sekolahan? Gue baru ingat mau tanya inu ke lo hehe." Kiky masih saja menanyai Salma dan Silma makin bersalah saja. "Dia sekolah di sana." "Di sana? Maksud lo di Leander?" "Iya." Silma sudah tidak berbohong sebab semakin dirinya berbohong entah mengapa ada rasa ketakutan besar. Kecuali berbohong kepada kedua orang tuanya dan ia bisa menghindari mereka dengan cara alasan yang dibuat-buat. "Gue coba ke sana deh, barangkali bisa bertemu dan gue sudah kangen berat sama dia. Gue juga dibayang-bayangi kesalahan waktu dulu." "Emm gue doakan lo bisa ketemu dia, maaf gue gak bisa bantu lebih." "Enggak papa, justru gue yang berterima kasih ke lo karena lo udah kasih tau sekolahan Salma." Kiky menyunggingkan senyumnya lebar dan betapa tidak sabarannya Kiky ingin bertemu kembali dengan Salma setelah sekian lama berpisah. Silma tidak bisa lagi mencegah tapi di sisi lain ingin Kiky lebih fokus kepada dibanding ke Salma dan lagi Kiky hanya bisa dekat ke Salma saja bukan dirinya. Silma terdiam dan Kiky sibuk pada bukunya. Tidak ada pembahasan obrolan kali ini, gadis itu mengamati area kantin yang makin ramai saja. Selang beberapa menit kemudian, Silma tidak sengaja menatap seseorang yang baru saja tiba di kantin dan orang itu bersama dua temannya. Silma menundukkan wajahny dan tak ingin menatap mata orang itu yang sendu memandangnya dari sana. Namun lama-lama Silma merasa tidak nyaman saja karena sosok itu tetap saja memandangnya dan Silma memutuskan pamit pergi kepada Kiky. "Gue duluan ya." "Lo mau masuk kelas?" "Iya, di sini semakin ramai aja. Gue gak tahan terus-terusan di sini dan gerah aja." "Ouh begitu, gue juga bentar lagi mau ke perpus." "Ya sudah ya, Ky." "Oke, Sil." Silma berlalu pergi dari kantin dan jalannya juga dipercepat. Ia tidak mau bertemu orang itu lagi, orang yang telah menyakiti dan mencampakkan hatinya. "Kenapa dia selalu lihatin gue? Bukankah dia yang ingin berpisah? Tapi mengapa tatapannya seakan menunjukkan kalau gue yang salah?" "Gue kecewa dan benci sama dia apalagi ucapannya." Silma menahan diri untuk tidak menangis namun saat melewati toilet, ia tidak bisa menahan tangisannya lantas masuk ke toilet perempuan. Setelah menyelesaikan tangisannya, Silma keluar dari toilet dan dikejutkan oleh seseorang yang langsung menarik tangannya. Silma memekik tapi dibekap kuat mulutnya juga oleh seseorang yang kini membawanya ke tempat sepi yang tidak jauh dari toilet ini. Silma meronta dan melepas jeratan lelaki di hadapannya. "Ngapain ikutin gue!" bentak Silma yang tidak terima dirinya diikuti Alfa, orang yang membekapnya dan membawanya ke tempat sepi. "Sil, aku kangen kamu." Alfa memeluk paksa Silma dan Silma berusaha melepaskan pelukan dari sosok lelaki yang dibencinya. "Tolong jangan buat gue lebih susah lupain lo!" Suara Silma terdengar parau dan pasrah saat ini dipeluk paksa oleh Alfa. "Kita bakalan balikan kok, tunggu waktu yang tepat. Aku gak bisa berpisah begini, aku sangat mencintaimu dan aku merindukanmu." "Lo brengs*k! Lo jahat sama gue dan dengan mudahnya lo bilang begitu!" Silma memukuli tubuh Alfa saat lelaki itu perlahan melepaskan pelukannya. "Terserah kamu bilang apa, aku masih sayang sama kamu." "Terus kenapa putusin gue!" teriak Silma tidak terima dan tak tau lagi terhadap sikap Alfa. "Demi kamu, Sil. Agar kamu tidak dibully sama Silvia." "Bohong, sejak lo putusin gue. Gue gak lagi percaya sama ucapan lo. Lo dulu bilang ke gue mau serius tapi nyatanya mempertahankan hubungan saja gak becus. Dimana letak keseriusan lo itu?" tanya Silma yang saat ini perasaannya tercampur aduk mengetahui sikap Alfa yang tidak sama seperti ucapannya kemarin-kemarin. "Sil, tolong percaya sama gue." Kini Alfa semakin frustasi. Ia merasa keputusannya kemarin benar namun Alfa tak bisa berpisah lama-lama dengan Silma. "Lo aneh ya Alfa, gue muak sama lo! Gak usah pasang muka kayak gitu, bikin gue berat lepasin lo." Silma membuang muka ke arah lain dan tidak bisa menatap wajah Alfa lebih lama. "Kita backstreet ya?" "Enggak, kalau putus ya sudah putus. Jangan tahan-tahan gue!" Silma menyeka air matanya yang terus mengalir deras di pipinya. "Posisi gue juga tertekan, Sil. Gue gak bisa jauh-jauh dari Silvia karena bokap gue kerja di perusahaan bokap dia. Gue gak mau berimbas ke pekerjaan bokap gue. Silvia itu wanita licik dan semaunya saja orangnya." "Karena Silvia pernah lo sakitin hatinya, jadi ini juga salah lo bukan cuman dia doang. Silvia gak terima lo hidup bahagia sedangkan dia lo sakitin dan susah lupain lo. Coba saja kalau lo gak nyakitin bahkan merendahkan dia, dia pastinya tidak seperti itu." Silma melipat tangannya di depan perutnya. "Gue sudah mengakui kesalahan gue ke dia tapi dia tetap saja berbuat seenaknya ke gue, mentang-mentang sekarang bokap gue kerja di perusahaan bokapnya." "Ya sudah, jalani saja dan jangan libatkan gue. Itu urusan kalian, gue lelah, Alfa." "Sama, Sil. Gue capek, andai tidak ada yang ganggu kita dipastikan kita masih bersama dan aman." Silma sebenarnya juga merasa kasian pada Alfa tapi mengingat kesalahan Alfa dulu juga fatal. Dia pernah menjadi playboy dan seringkali menyakiti Silvia hingga sifat Silvia berubah lalu sekarang sepertinya tengah balas dendam kepada Alfa. "Itu sudah keputusan yang lo ambil dan kalau kita pisah ya sudah pisah saja." "Tapi gue gak suka dekat sama Silvia, gue risih banget sama tingkahnya dan rasanya gue ingin jauh-jauh dari dia. Tapi gue mikirin nasib bokap, gue takut banget bokap dipecat." Alfa menyenderkan tubuhnya ke dinding dan badannya terasa lemas. Mengapa sekarang hidupnya makin rumit? Apakah ini semua karena ulahnya di masa lalu? "Emang ada gitu hubungannya, gak mungkin deh bokapnya Silvia nurutin anaknya yang pengen pecat sembarang orang. Selagi bokap lo gak pernah masalah pun, bokap Silvia gak bakalan pecat lo dan cowok penakut yang gue kenal, Alfa." Silma menghembuskan napasnya pelan. "Gue enggak tau tentang keluarga Silvia. Yang gue tau, Silvia itu anak broken home sekarang da gue juga gak mau tau soal dia. Dia gak penting bagi gue." "Terus lo segitu takutnya nanti bokap lo bisa dipecat cuman gara-gara lo gak mau pacaran sama Silvia?" "Bokap gue baru dapat kerjaan yang buatnya nyaman jadi gue kayak kepikiran dan takut banget bokap kehilangan pekerjaan cuman gara-gara gue doang. Gue langsung mutusin lo karena gue pikir itu keputusan yang terbaik tapi nyatanya malah bikin gue gak nyaman. Gue jadi kangen kita bersama seperti biasanya dan gue gak betah lihat lo sama temen lo itu. Jujur gue cemburu." Alfa menarik paksa tangan Silma dan menggenggamnya. Ia takut Silma tiba-tiba meninggalkannya di sini. "Gak usah pikirin gue, Alfa. Kalau begitu pikirin keluarga lo aja, gue emang mau move on dari lo." "Sil, kok lo gitu sih? Kita masih bisa kok jalani hubungan kembali." "Maksud lo?" "Kita pacaran diam-diam tanpa sepengetahuan orang lai terutama Silvia. Mau kan?" "Lo gila ya? Lo mau nyakitin Silvia lagi? Sudah cukup kelakuan buruk lo di masa lalu itu dan jangan diulangin lagi!" sentak Silma sembari menghempaskan tangan Alfa yang terus saja ingin menggenggam tangannya. "Tapi gue gak mau hubungan kita putus begini, Sil. Gue cuman maunya sama lo bukan yang lain apalagi Silvia." Sekarang posisi Alfa berada di depan Silma dan seolah menahan Silma yang berniat akan kabur dari kukungannya. "Kalau semesta tidak mendukung, menyerah saja." "Gue gak mau menyerah dan masih ingin mempertahankan hubungan kita ini." "Terus lo mau nyakitin cewek lain juga dengan keputusan lo yang salah lagi?" Silma memukul d**a Alfa. "Baiklah jika kita tidak bisa bersama, kita masih bisa berteman kan?" Alfa menahan tangan Silma agar tidak memukuli tubuhnya lagi. "Gue malah gak mau terlibat urusan sama lo. Gue menyesal kenal sama lo, yang ujung-ujungnya bikin gue sakit hati terus. Gue gak sudi temenan sama orang jahat kayak lo." Silma menundukkan wajahnya dan menangis sejadi-jadinya. Alfa terus bersikeras membujuk Silma supaya mau berteman dengannya meski sudah tidak bisa dipertahankan lagi hubungannya bersama Silma. Sebab Silma sudab terlanjut kecewa terhadap keputusannya dan Alfa sadar dirinya lelaki yang tidak bisa apa-apa. Ia selalu membuat keputusannya sendiri tanpa tau nanti akhirnya akan seperti apa. "Silma, gue sayang banget sama lo." "Alfa, stop jangan peluk gue!" Percuma Silma melarang, entah mengapa Alfa malah memaksa kali ini. Alfa memeluk Silma erat sekali. "Apa ini pelukan terakhir kita? Gue kangen sama lo, berat lepasin lo karena baru kali ini gue rasain sendiri, gak main sama cewek lagi dan hanya lo lah yang selalu ada dipikiran gue saat ini." 'Gue juga kangen banget sama lo, Alfa. Tapi lo udah nyakitin gue dan kalau begini bikin gue susah lupain lo. Kenapa lo malah nahan-nahan gue terus?'---ucap Silma dalam hatinya. "Lepas!" Silma akhirnya bisa melepaskan diri dari pelukan Alfa. "Sudah cukup, Alfa. Kita sudah jadi orang asing." "Tapi, Silma gue masih ingin ada lagi kesempatan. Kesempatan untuk tetap berteman." "Enggak ada, malah itu bikin gue sulit move on dari lo." "Enggak bisa juga, Sil. Kita satu sekolahan dan pasti akan terus bertemu. Gue berharapnya begitu." "Lo malah seperti Silvia, sama-sama suka memaksa. Gue gak suka sama lo." Silma berjalan mundur lalu melangkah pergi dari sini. "Gue gak percaya, lo itu masih cinta sama gue, Sil!" teriak Alfa yang masih dapat didengar jelas oleh Silma. "Gue tau lo masih ada rasa ke gue dan lo juga kangen sama gue. Dari sorot mata lo, sudah terlihat jelas kalau lo masih berharap kita bisa bersama kembali." Alfa mengacak-acak rambutnya dan duduk berjongkok seraya menyenderkan punggungnya ke dinding. Dari kejauhan sana, seseorang memotret apa yang dilakukan Silma dan Alfa tadi. Lalu ia pergi dan akan menuju orang yang menyuruhnya memotret mereka disertai laporan apa saja yang mereka bicara sampai ribut satu sama lain. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD