Si Biang Rusuh

2306 Words
Sepanjang perjalanan pulang dari Dapur Nala, Nadhief terus saja menahan tawa saat Malika mengigau. Gadis yang sedang tidur di sampingnya, mencebikkan bibirnya dengan berkata ‘Pacaran terus sampai anaknya tidak terurus’. Kalimat yang sudah Nadhief hafal ketika, orang tua Malika pergi berlibur tanpa anaknya. “Selamat malam juga, Tante. Maaf mengganggu, Nadhief mau tanya apa Tante ada di rumah?” “Iya, Nak. Tante di rumah. Malika bikin ulah ya?” “Tidak, Tan. Dia malah sedang anteng sekali.” “Ngak mungkin dia anteng, apa Malika sedang sakit?” “Malika ketiduran, Tan.” “Syukurlah, Tante pikir lagi sakit.” “Ya sudah kalau begitu Nadhief langsung antar Malika ke rumah Tante Arina.” “Iya, Nak. Maaf ya sudah merepotkan.” Sebelum tertidur Malika sempat mengirim pesan pada sang Mama jika dia pulang bersama dengan Nadhief, jadi saat Nadhief telepon dia langsung tahu jika berkaitan dengan putri cantiknya. Sebelum menelepon orang tua Malika, Nadhief menepikan mobilnya ke bahu jalan. Karena dia harus meminta Nomor Arina pada Nenek Kemala. “Kok bisa sih orang tidur kayak ulet keket begini?” ucap Nadhief, dengan mengangkat tubuh Malika yang sudah melorot ke bawah. Dia merapikan rambut Malika yang menghalangi wajah cantiknya. Dengan reflek alamiah seorang laki-laki, Nadhief langsung mengecup kening Malika. “Maaf, karena sampai kapanpun aku tidak akan bisa membalas perasaanmu,” ucapnya dengan pelan. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, dia kembali menjalankan mobilnya menuju ke rumah Malika. Karena mobil terasa sepi, Nadhief menyalakan lagu untuk menemaninya menembus kemacetan. Sesampainya di depan rumah Malika, kedua orang tuanya sudah menunggu di depan rumah. Mereka mengobrol dengan tetangga yang baru saja menempati rumah Tante Adel. “Maaf, Nak Nadhief. Malika malah jadi merepotkan begini,” ucap Papa Malika, Adytia. “Tidak masalah, Om Ady. Sepanjang perjalanan Malika anteng sekali, Om. Tidak membuat kerusuhan sama sekali,” jawab Nadhief, dengan mengajak bercanda Papa Malika. Mereka ini teman bermain golf setiap akhir pekan, jika keduanya tidak sibuk. Bercanda sudah menjadi kebiasaan mereka berdua. “Astaghfirullah, ada anak kepompong besar ternyata,” ucap Ady, saat melihat putrinya di bungkus oleh Nadhief dengan selimut. Arina yang mendengar suara suaminya langsung mendekati mobil Nadhief, dia penasaran dengan apa yang sedang suaminya lihat. “Kakak, lucu sekali sih!” seru Arina. Dia langsung membuka kamera di ponselnya, momen seperti ini tidak akan dia lewatkan. Malika sering sekali mengerjainya dengan memfoto, saat dia tertidur dengan mulut terbuka. Kali ini, giliran Arina akan membalas kelakuan jahil putrinya. “Tunggu sebentar ya, Nak. Akan Tante kembalikan selimut kamu,” ucap Arina pada Nadhief. Karena selimut Nadhief dia lilitkan ke tubuh Malika jadi susah di ambil, jadinya Ady mengangkat tubuh Malika beserta dengan selimut. Dia akan mengambil selimutnya jika Malika sudah di tidurkan di ranjang. “Besok saja di kembalikannya tidak apa-apa, Tan. Kasihan Malika kalau terbangun, dia kelihatannya capek sekali,” jawab Nadhief. Arina mendesah, wajahnya sedikit kesal. Pasti anaknya sebentar lagi akan jatuh sakit karena terlalu memaksakan diri dalam bekerja. “Tante sudah sering kali menegur Malika kalau terlalu keras dalam bekerja, namun dia sulit sekali di bilangin. Pasti kecapekan dia, karena Nala sedang istirahat total.” “Kalau menurut Nadhief, sebaiknya Malika memiliki sekretaris yang dapat membantunya dalam bekerja, Tan. Dapur Nala sekarang sedang dalam masa-masa naik daun, tidak mungkin Malika akan menghandle semuanya sendiri.” Arina mengangguk, di kini sedang membantu Malika untuk mencari sekretaris yang cocok dengannya. Karena sifat pekerja keras anaknya, tidak sembarang orang bisa mengikuti gaya kerja Malika. “Apa Nak Nadhief ada kenalan orang yang bisa membantu Malika?” Nadhief tidak langsung menjawab, dia berpikir sejenak. “Sepertinya kenalan Nadhief jika di pasangkan dengan Malika tidak akan cocok, Tan. Malika sangat cekatan dalam segala hal, tidak mungkin berpasangan dengan orang yang cara kerjanya masih meraba-raba,” jawab Nadhief. “Tante juga sedang mencarikan sekretaris untuknya, atas permintaan Malika sendiri. Sampai saat ini belum ketemu juga. Papanya sampai berpikir, akan meminjamkan satu sekretarisnya untuk putrinya. “Sepertinya itu ide yang bagus, Tan. Setidaknya untuk saat ini Malika ada yang membantu, sambil mencari sekretaris untuknya.” “Iya, Nak. Tante akan bicarakan ini nanti dengan Om Ady.” Nadhief kembali ke dalam mobil, dia mengambil buku Malika yang lupa dia masukan ke dalam tas. “Nadhief sekalian titip pesan sama Malika, besok mata kuliah yang Nadhief ajar maju di jam 8 pagi ya, Tan,” ucap Nadhief dengan menyerahkan buku Nala. Arina tersenyum. Dia sudah di beritahu oleh Malika, jika Nadhief sekarang menjadi dosennya. “Iya, Nak. Semangat mengajar cita-cita kamu ya, kalau Nak Nadhief sedang butuh teman menumpahkan uneg-uneg jangan sungkan hubungi Om dan Tante.” Arina ini berteman baik dengan Almarhum Mama Nadhief, sebelum meninggal karena kanker p******a. Mama Nadhief menitipkan putranya pada Arina dan husna. Dia sangat hafal dengan sifat Mama tiri Nadhief yang sangat arogan dan gila harta, maka dari itu Nadhief selama ini lebih memilih tinggal bersama dengan Nenek Kemala. “Iya, Tante Arina. Nadhief sering sekali meminta waktu Om Ady untuk mendengarkan keluh kesah yang sangat tidak penting.” Arina mengangguk dengan tersenyum, dia menepuk bahu laki-laki yang di cintai oleh putrinya. Kemudian menyuruh Nadhief untuk segera pulang dan beristirahat, sementara dia akan melihat keadaan putri nakalnya yang suka sekali membuat keributan. *** “Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?” Suara seseorang yang sangat di benci oleh Nadhief menggema di ruang tamu Nenek Kemala. “Dari kampus, Pi,” jawabnya tanpa mau melihat ke arah Papinya berada. “Masih tetap nekat menjadi seorang dosen?” Nadhief menghentikan langkahnya, dia berbalik badan untuk melihat Papinya. “Sampai kapanpun Nadhief akan tetap menjadi dosen!” seru Nadhief. Adam berdiri dari duduknya, dia sudah siap untuk memberikan ceramah untuk anak dari istri pertamanya. “Kamu ini dasar anak tidak tahu diri, sia-sia saja Papi selama ini merawat mu! Jika pada akhirnya kamu hanya akan membangkang seperti ini! kamu pikir seorang dosen akan bisa membuat hidupmu menjadi terjamin? Tidak akan bisa!” Nadhief tersenyum dengan sinis kearah Papinya, sekarang Nenek Kemala tidak ada di rumah. Adam berani mengajak Nadhief berdebat di rumah mantan mertuanya. “Akan Nadhief koreksi bagian papi yang merawat ku. Sejak kematian Mami, Nadhief sudah ikut tinggal bersama dengan Nenek. Semua biaya kehidupan sehari-hari dan sekolah itu dari uang Nenek. Jadi sangat tidak tahu malu rasanya jika Papi mengatakan jika sudah susah payah merawat ku,” terang Nadhief pada Adam. Adam terdiam dia tidak bisa menjawab ucapan dari putranya, selama ini dia merasa selalu memberikan uang untuk Nadhief pada istri keduanya. Istrinya itu yang akan memberikan uang bulanan Nadhief pada Nenek Kemala, namun ucapan Anaknya barusan sama persis dengan apa yang di katakan oleh mantan mertuanya. “Tidak bisa menjawab, sebaiknya sekarang Papi cepat pulang dan segera beristirahat. Sebelum istri kesayangan marah dan membanting semua koleksi barang-barang mahalnya.” Nadhief langsung meninggalkan Adam yang masih terpaku di ruang tamu Nenek Kemala, dalam lubuk hatinya yang paling dalam dia ingin sekali memeluk putranya. Namun jarak yang dia ciptakan sendiri sudah menjadi jurang pemisah diantara mereka berdua. Malika “Kak, selimutnya di balikin kapan? Ini sudah di cuci sama Bibik.” Nadhief menerima pesan dari Malika saat dia sedang sarapan, gadis yang dia antar pulang semalam ternyata sudah bangun dan siap meramaikan dunia. Nadhief “Sekarang saja, aku masih di rumah.” Malika “Kalau begitu, buka dong pintunya.” Nadhief menggelengkan kepala, gadis yang mengirim pesan padanya sejak tadi ternyata sudah ada di depan rumahnya. “Kenapa tidak langsung ketuk saja pintunya atau pencet bel?” Nala hanya terkekeh di depan pintu yang baru saja terbuka, dia tadi sebenarnya sedang mengobrol dengan Danesh (Kakak Nala) yang baru saja pulang dari joging. “Biar agak lama waktu di rumah calon suami,” ucap Malika dengan malu-malu. Sangat tidak cocok sekali dengannya. “Mana selimutnya?” Malika menyerahkan paper bag yang berisi selimut milik Nadhief. “Kata Mama kuliah Kakak di majuin ya?” “Hmm ... nanti siang aku ada bimbingan terakhir sebelum sidang.” Mata Nala berbinar, dia ini sangat suka sekali jika mendengar pencapaian yang luar biasa dari Nadhief. “Kakak bentar lagi jadi dokter, kalau Malika sakit langsung saja datang ke rumah Nenek Kemala. Ngak usah jauh-jauh ke rumah sakit dan antri.” Nadhief menjentikkan jari pada kening Malika, anak Mama Arina memang biangnya kerusuhan. “Sudah sana kamu berangkat dulu, jangan sampai telat.” “Asiap Akak, Malika juga mau jemput Arga dulu.” Saat Malika akan menuju ke mobilnya, Nadhief memanggilnya. “Kenapa Akak? Mau memberi Malika tumpangan lagi?” tanya Malika dengan mengedipkan sebelah matanya. Nadhief menghela nafas melihat sikap centil Malika padanya. “Tadi bilang mau jemput Arga ‘kan?” Malika mengangguk. “Iya, Akak. Makanya Malika berangkat agak pagi, soalnya mau ke rumah Arga dulu.” “Mau apa jemput Arga?” “Hari ini Adik dari Arga ada jadwal periksa ke rumah sakit, jadi Malika mau antar Adiknya ke rumah sakit sekalian berangkat ke kampus.” Nadhief mengangguk, dia paling suka sikap Malika yang sangat baik dan peduli dengan orang di sekitarnya. “Sakit apa?” “Gagal ginjal, Kak. Dia harus rutin cuci darah seminggu 2 kali, kasihan padahal masih kecil.” “Sudah lama?” “Kurang lebih 2 tahun, masih ngumpulin uang buat cari pendonor ginjal.” Setelah Nadhief selesai bertanya Malika langsung masuk ke dalam mobilnya, menuju ke rumah Arga. Setiap jadwal periksa Adik Arga dia akan selalu mengantarnya, jika Malika tidak sibuk dia juga yang akan menjemput. Namun jika ada jadwal kuliah padat, Malika akan memesankan taxi online untuk Ibu dan Adik Arga. *** “Hari ini hanya satu mata kuliah begini bingung mau apa,” ujar Malika saat dia sudah selesai dengan kelas Nadhief. Malika kini sedang berjalan menuju ke arah perpustakaan bersama dengan Arga, dia akan menjemput Adik Arga jam 2 siang. Jadi masih ada waktu banyak untuk dia berleha-leha di perpustakaan. Tadi pagi Papanya mengatakan jika akan meminjamkan sekretarisnya untuk membantu pekerjaan Malika, jadi mulai hari ini segala sesuatu yang berkaitan soal pekerjaan akan di atur oleh Sekretaris papanya. “Baca buku atau kerjakan tugas buat besok,” jawab Arga. “Sudah selesai dong tugasnya, aku tuh ngak suka kalau nunda-ninda pekerjaan apa lagi ini tugas kampus.” “Bagus ...” “Apa aku susul Nadia saja ya?” “Ngapain juga di susul jam segini?” tanya Arga, dia ini kadang bingung dengan kegabutan dari sahabatnya. “Tadi waktu aku anterin Nadia ke ruang HD (Hemodialisa) ngak sengaja ketemu sama dokter ganteng. Bisa lah aku goda-goda dikit dari pada nganggur sih!” “Bukannya kalau nganggur mendingan kamu buat baca buku, Malika kedelai pilihan Mama Arina,” ujar Arga. “Lagi malas baca buku, aku lagi butuh yang seger-seger hari ini. Kalau begitu aku ke rumah sakit sekarang yah, mau godain dokter yang aku temuin tadi pagi.” “Malika!” Mendengar ada yang memanggilnya dari arah belakang kedua sahabat itu langsung menoleh. “Pak Nadhief,” ucap Arga, dia kaget dosennya ada di belakang mereka. “Kamu ikut saya sekarang, Malika!” titah Nadhief. “Mau kemana, Pak. Saya sedang ada urusan penting,” jawab Malika dengan menyikut Arga, meminta pertolongan. Arga sedikit mendorong tubuh Malika agar mendekat ke arah Nadhief, lebih baik sahabatnya ikut dengan dosennya dari pada menggoda dokter yang selama ini merawat adiknya. “Malika sedang gabut, Pak. Dia tidak ada pekerjaan apapun hari ini,” ucap Arga. Setelah mengucapkan itu Arga meninggalkan Malika dengan Nadhief, sekarang ini Malika sudah tidak bisa menghindar dari calon imamnya. “Ikut saya,” ujar Nadhief, setelah itu berjalan meninggalkan arah perpustakaan. Sebenarnya Nadhief tadi akan mengembalikan buku yang kemarin dia pinjam, dia tidak sengaja melihat Malika dan Arga sedang berjalan menuju ke perpustakaan. Dia mengikuti kedua mahasiswanya itu dari belakang, ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Namun, saat malika berkata akan datang ke rumah sakit untuk menggoda dokter tampan yang baru saja dia temui. Hati kecil Nadhief langsung mengatakan harus mencegah Malika agar tidak jadi ke rumah sakit. “Mau kemana kita, Pak?” tanya Malika saat dia mengikuti Nadhief menuju ke gedung kedokteran. “Bertemu degan dosen pembimbing.” “Lah kok ajak saya sih?” “Biar kamu bertemu dengan dokter. Katanya tadi mau menggoda dokter,” sindir Nadhief pada Malika. Malika terkekeh mendengar nada suara Nadhief yang sedang cemburu. “Memangnya ada yang tampan dosen di sini?” tanya Malika dengan antusias. “Ada, ini kita sebentar lagi akan bertemu dengan dokter tampan,” jawab Ace. Dengan semangat membara malika mengikuti arah kemana perginya Nadhief, dia ini sudah seperti ketiban durian runtuh saja. Dapat bersama dengan calon imamnya di tambah lagi akan bertemu dengan dosen tampan. “Selamat siang, Pak.” “Selamat siang, Nadhief. Masuk ...” jawab pemilik ruangan. Di atas pintu ada tulisan Dekan Fakultas Kedokteran. Awalnya Malika ingin menunggu di luar, namun saat Nadhief mengajaknya untuk masuk. Malika langsung ikut masuk ke dalam ruangan. “Kakak, bohongin Malika!” bisik Malika. Namun tak di hiraukan Nadhief. Malika menunggu Nadhief di sofa milik dekan fakultas kedokteran, sejak tadi dia sudah ingin sekali mengomel dengan Nadhief karena telah membohonginya. “Kamu lagi cosplay jadi banteng ya? Sejak keluar dari ruang dekan terus saja mendengus.” “Kak Nadhief sengaja bohongin Malika! Bilangnya ketemu dokter tampan, bagian mana coba yang tampan?” Nadhief terkekeh, dia bahagia karena berhasil menjahili si biang rusuh kompleknya. “Asal kamu tahu saja Malika, Pak Alex itu Tampan pada jamannya.” Malika mencebikkan bibirnya, gemas dengan kelakuan Nadhief. “Auk ah ... kesel aku sama Kakak! Malika mau pergi, jangan dihalangi langkah aku menuju ke mobil,” ucapnya. Nadhief mendengkus ketika kegilaan Malika kambuh lagi. “Siapa yang mau menghalangi kamu buat pergi? Saya masih ada bimbingan satu kali lagi,” usir Nadhief dengan menggerakkan tangannya. “Teganya Kak Nadhief mengusir Malika begitu saja! setelah apa yang Kakak lakukan padaku?!” teriak Malika, membuat orang di sekitar melihat ke arah mereka berdua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD