Karena ada sedikit masalah di Dapur Nala, Malika terpaksa harus ijin tidak masuk kuliah kemarin. Sahabat baiknya sedang mengalami masa-masa mual, muntah, pusing dan lemas karena kehamilan muda. Malika yang sebagai partner Dapur Nala Cake n Cookies harus selalu siap siaga jika di butuhkan.
Sejak pagi sekali Malika sudah berada di toko, dia lupa mengaktifkan ponselnya yang semalam dia isi daya. Membuat pesan dan panggilan dari Arga tidak dapat terkirim, padahal Arga ingin bertanya soal tugas yang harus di kumpulkan pada Asisten Pak Iqbal.
“Malika ...” panggil Arga, saat dia baru saja turun dari mobil.
Malika berjalan cepat kearah dimana Arga berada, wajahnya sedikit panik karena belum mengumpulkan tugas. Meskipun Malika kenal dengan Nadhief, namun dia tidak mau memakai orang dalam untuk hal-hal semacam ini.
“Bagaimana, Ga. Sudah ada balasan sama Pak Nadhief?”
“Sudah, kamu di tunggu di perpustakaan fakultas kedokteran.”
Malika langsung mengajak Arga untuk mengantarnya mengumpulkan tugas, namun Arga tidak bisa dia ada rapat BEM fakultas Ekonomi. Dengan sangat terpaksa Malika menuju ke gedung megah milik anak kedokteran seorang diri.
“Kak, maaf mengganggu. Mau tanya kalau perpustakaan fakultas kedokteran di sebelah mana ya?”
“Dari sini lurus, setelah itu belok kiri. Di situ nanti ada papan penunjuk arah. Kamu ikuti saja nanti arahnya.”
“Terima kasih, Kak.”
“Iya, sama-sama.”
Setelah mendapatkan informasi ruangan yang akan dia tuju, Malika langsung bergegas mengikuti arahan orang yang ditanya tadi.
“Library ...” gumamnya pelan. “Akhirnya ketemu juga,” serunya dengan tersenyum.
Malika langsung melepas sepatu, menaruh ke dalam loker yang sudah tersedia. Dia masuk ke dalam perpustakaan, mencari keberadaan Nadhief.
“Lika ...” panggil seseorang dari arah depan.
Malika mendekati orang yang sedang memakai kacamata, dia sedang berada dalam satu meja dengan beberapa orang temannya.
“Pak Nadhief, ini tugas saya. Maaf kemarin saya ijin tidak masuk, karena ada pekerjaan di toko.”
Nadhief mengambil tugas yang di serahkan oleh malika, dia berdiri lalu mengajak Malika untuk duduk di meja kosong.
“Kenapa tidak di titipkan ke teman kamu?” tanya Nadhief, saat sudah duduk di depan Malika.
“Lupa, Pak. Sebenarnya kemarin Arga sudah mengirim pesan dan menelepon Malika, namun ponsel lupa di nyalakan setelah di isi daya.” Malika menjelaskan dengan sangat jujur.
“Meskipun nilai tugas kamu bagus, tetap akan di kurangi dengan waktu keterlambatan pengumpulannya.”
Malika mengangguk, dia pasrah saja. Masih bagus tugasnya tidak di buang oleh Nadhief, biasanya jika Pak Iqbal sendiri yang memberi tugas pasti akan langsung di buang ke tempat sampah tugasnya.
“Kalau begitu saya pamit dulu, Pak. Sebentar lagi ada kelas, takut terlambat dosennya sama galaknya sama Pak Iqbal,” ucap Malika dengan tidak sadar.
Nadhief yang mendengar Malika mengatakan Pak Iqbal galak langsung mengangkat sebelah alisnya. Sejak awal kuliah dia tidak merasa jika dosennya galak seperti yang di katakan oleh gadis didepannya.
“Ah ... maksud saya, bukan galak tapi disiplin,” ralat Malika.
Nadhief mengangguk, dia mengijinkan Malika untuk pergi dari perpustakaan fakultasnya. Namun, saat Malika sampai di depan pintu, dia di ajak berkenalan dengan teman satu angkatan Nadhief.
“Malika, kamu bilang ada kelas sekarang?!”
“Iya, Pak. Tapi ...”
“Cepat pergi Malika, telat semenit saja pasti kamu akan terkena hukuman!”
Malika yang takut jika kena hukuman langsung pergi begitu saja, tanpa berpamitan dengan kedua orang yang tadi mengajaknya berkenalan.
“Kenapa gadis manis itu memanggil dirimu dengan sebutan, Pak??” tanya teman Nadhief.
“Karena aku calon suaminya, jadi dia memanggil dengan sebutan ‘Bapak’ mengajari anak kami nanti,” jawab Nadhief dengan seenaknya.
Ini yang terakhir kalinya dia menyuruh Malika datang ke gedung kedokteran, dia tidak mau jika Malika di goda lagi oleh para calon dokter yang sedang mencari calon istri.
***
“Bagaimana tadi, Lika. Masih di terima sama Pak Nadhief?” tanya Arga.
Mereka kini sedang berjalan menuju ke kantin, perkuliahan 3 sks membuat perut Malika keroncongan. Apalagi sebelum masuk ke dalam kelas dia sudah berlarian dari fakultas kedokteran menuju ke fakultas Ekonomi, yang jaraknya lumayan melelahkan.
“Iya, di terima tugas aku. Tapi katanya nilainya mau di kurangi, gara-gara mengumpulkannya telat.”
“Ngak papa kalau cuman di kurangi, palingan cuman sedikit. Yang paling penting di terima dulu tugasnya.”
Malika mengangguk, di ikut menuju ke tempat makanan yang ada di kantin. Hari ini dia ingin makan yang berkuah dan minum yang segar untuk mengembalikan tenaganya.
“Banyakin kuahnya, Ibu cantik ...” rayu Malika pada Ibu kantin yang menjaga stand soto daging sapi.
“Iya, Malika yang jauh lebih cantik. Mau di tambah dagingnya juga apa tidak?”
Malika menggeleng, dia tidak terlalu suka dengan daging.
“Terima kasih,” ucapnya.
Arga membawa makan siangnya dan makan siang milik Malika. Sementara Malika bertugas membawa minuman. Semua mahasiswa Fakultas Ekonomi sering menganggap mereka sedang berpacaran, karena saking dekatnya.
“Duduk seperti biasa saja, Ga.”
“Hmm ...”
Arga langsung menuju ke meja yang biasa dia duduki dengan Malika, karena dari tempat mereka duduk dapat melihat kolam ikan yang ada di luar kantin.
“Minggu depan ada acara kampus, kita akan pergi ke luar kota. Kamu bisa ikut apa tidak, Lika?”
Malika menyedot es teh jumbonya dengan sekuat tenaga, hal yang selalu di lakukan olehnya ketika kepanasan.
“Belum tahu, soalnya Nala ngak mungkin datang ke toko. Dia masih dalam kondisi yang sangat lemah sekali, kemarin saja waktu aku mampir ke rumah dia malah minta di pijitin kakinya. Katanya tiduran terus bikin badannya pada pegel-pegel.”
Arga mengangguk saja, dia sebenarnya juga ingin menjenguk sahabatnya yang sedang hamil muda. Namun, tidak berani karena Ace pernah cemburu saat Nala sengaja menggodanya, padahal waktu itu Nala sedang bercanda tapi di tanggapi serius oleh Ace.
Kedua sahabat itu menghabiskan makan siangnya dengan membahas, mata kuliah hari ini. Malika juga menawari Arga untuk menjadi staf keuangan di tokonya, dia sebenarnya mampu menyelesaikan semua pekerjaan. Tapi sebagai gantinya waktu bermain dan bersantainya yang menjadi korbannya.
“Aku masih ada pekerjaan di perusahaan cetak, Lika. Tidak enak kalau tiba-tiba saja keluar. Apalagi bosku sangat baik sekali.”
“Yah ... Arga, kenapa sih kamu buru-buru ambil tawaran dari Miss Sexy itu,” keluh Malika.
“Karena aku butuh pekerjaan, Lika. Jadi, mumpung ada tawaran pekerjaan waktunya tidak bentrok dengan jadwal kuliah aku langsung ambil saja.”
Malika tahu jika dia tidak bisa memaksa Arga untuk bergabung ke Dapur Nala, namun dia tetap berusaha untuk merayu sahabatnya itu.
Perkuliahan Malika hari ini berakhir sampai sore hari, dia akan mampir ke rumah megah milik keluarga Om Ganteng untuk mengantar pesanan sahabatnya. Malika sekarang sering pergi ke rumah orang tua Ace, karena permintaan dari Nala yang selalu merindukannya.
“Malika, mau pulang?”
Malika melihat ke arah samping, di sana sudah ada Nadhief yang baru saja selesai mengajar kelas Pak Iqbal.
“Iya, Pak. Bapak mau pulang juga?”
“Malika ini bukan jam pelajaran, jadi jangan panggil aku ‘Bapak’.”
Malika terkekeh melihat wajah masam Nadhief, dia sengaja memanggil Nadhief dengan sebutan ‘Bapak’ karena telah berani-beraninya menghindar darinya selama satu bulan.
“Malika pergi dulu ya, Kak. Takut kemalaman soalnya mau mampir ke rumah Om Ganteng.”
“Mau jenguk Nala?” tanya Nadhief.
Malika mengangguk, dia akan pergi membeli seblak yang ada di depan kampusnya sesuai dengan permintaan sahabatnya. Jadi harus ekstra cepat, karena biasanya setelah magrib kedai itu akan sangat penuh dengan pengunjung.
“Boleh aku ikut?”
Malika menutup kembali pintu mobilnya saat Nadhief meminta ijin untuk ikut, dia tidak bisa memutuskan langsung. Karena takut jika Ace tidak berkenan, jadi dia memilih menelepon Nala lebih dulu.
“Kakak boleh ikut,” ucap Malika, setelah mematikan panggilan telepon.
Nadhief tersenyum pada Malika, dia langsung masuk ke dalam mobil Malika tanpa permisi.
“La kok ikut mobil aku?”
“Soalnya aku ngak bawa mobil, makanya aku mau ikut kamu ke rumah Nala. Sekalian ‘kan kalau menumpang?”
“Baiklah-baiklah, Untung aku baik,” jawab Malika.
Saat sudah keluar dari kampus, Malika mengarahkan mobilnya ke kedai seblak yang dia tuju. Dia memesan seblak untuk Nala, Embun, Hani dan dirinya sendiri. Malika sebenarnya sudah menawari Nadhief namun dia menolak, mengatakan jika makanan itu tidak sehat.
Sepanjang perjalanan menuju ke rumah mertua Nala, Nadhief terus saja sibuk dengan Ipad-nya. Malika tidak berani mengganggunya, kini dia sudah mirip sekali dengan supir taxi online.
“Kamu besok ada kelas Pak Iqbal, Lika?”
“Iya.”
“Jangan telat, besok aku yang mengajar.”
“Kok Kak Nadhief lagi, bukannya besok Pak Iqbal sudah pulang dari luar negeri ya?”
“Mulai sekarang aku mengambil alih 2 kelas pada pelajaran Pak Iqbal.”
“Dua kelas itu termasuk kelas Malika ya?”
“Hmmm ...”
“Kakak sudah lulus S1 dan sebentar lagi mau lulus S2 ya?”
“Hmmm ...”
“Kok bisa sih? Sebenarnya cita-cita Kak Nadhief mau jadi dosen apa dokter?” tanya Malika, saat Nadhief sudah selesai dengan Ipad-nya.
“Dokter itu cita-cita orang tua, kalau Dosen itu cita-citaku.”
“Jadinya mau pilih yang mana?”
“Tergantung situasi,” jawan Nadhief.
Malika bingung jika berbicara dengan Nadhief. Pasti dia akan menjawab pertanyaan Malika dengan seenaknya sendiri, susah sekali di ajak serius. Padahal kalau mau serius Malika sudah siap di bawa ke jenjang pernikahan ... eh!
“Kamu ngak mau ikutin jejak sahabatmu?”
“Jejak apa?”
“Menikah muda.”
“Kalau Kakak ajakin Malika menikah besok ya ayuk ...”
Nadhief menjewer telinga Malika, dia ini jadi gadis ngak ada jaim-jaimnya. Dengan santainya dia melamar seorang laki-laki yang sudah beranjak menjadi seorang pria.
“Kamu kalau sama yang lainnya juga begini, Malika?” tanya Nadhief.
“Begini itu yang bagaimana, Kak?”
“Melamar semua teman laki-laki.”
Malika mendelik, sembarang sekali Nadhief kalau bicara. Masak iya dia melamar selain Nadhief, bisa hancur harga diri Malika yang tertata baik selama dia hidup 18 tahun ini.
“Ya enggak lah, Kak. Hanya sama Kak Nadhief, aku berani melamar duluan. Eh ... bukannya di jawab malah di jewer,” gerutu Malika.
Nadhief terkekeh dengan melihat wajah Malika yang sedang sebal dengannya. Setidaknya, rasa lelahnya hari ini bisa berkurang hanya dengan menjahili gadis yang sedang ada di sebelahnya.
Mobil mini cooper Malika memasuki komplek perumahan mewah, semua yang tinggal di lingkungan perumahan Ace adalah pejabat dan CEO perusahaan besar di jogja.
“Kakak ikut turun ‘kan?”
Nadhief mengangguk, kemudian ikut turun dari mobil.
“Biar aku saja yang bawa,” ucap Nadhief, meminta kresek berisi seblak.
Dia berjalan menuju ke arah pintu utama, namun sebelum memencet bel. Hani sudah membuka pintu lebih dulu.
“Ibu cantik,” panggil Malika, dia salim dengan mencium tangan Hani.
“Siapa ini, Nak?” tanya Hani, sebenarnya dia sudah pernah bertemu dengan Nadhief. Mungkin saja dia lupa.
“Ini tetangga Malika sama Nala, Ibuk. Rumahnya di depan rumah Nala.”
Hani mengangguk, dia mengajak kedua tamunya untuk masuk ke dalam rumah. Nala dan Embun sudah menunggu di ruang keluarga, bersama dengan ketiga anak Embun yang sangat lucu.
“Ante Lika ...” seru Ansel saat melihat Malika datang.
Semua orang yang sedang fokus melihat layar TV, langsung melihat kearah Malika dengan Nadhief.
“Ini siapa, Ante?” tanya Ansel yang sudah meminta gendong Malika, kini dia senang bermanja dengan Malika. Karena Nala belum boleh mengangkat barang berat.
“Teman Tante Lika, Sayang.”
Malika membawa Ansel ke arah sofa, sementara Adelio sudah meminta gendong pada Nadhief. Anak-anak Embun memang suka sekali dengan orang baru, namun mereka juga pilih-pilih kalau tidak cocok ya pasti akan sulit di dekati.
“Kak Nadhief kok bisa bareng Malika?” tanya Nala.
“Tadi kebetulan ketemu di parkiran, La,” jawab Nadhief.
Embun mempersilahkan Malika dan Nadhief untuk duduk, dia sudah tahu Nadhief itu siapa dari cerita Nala dan Malika. Namun demi kesopanan dia mengajak laki-laki tampan didepannya ini berkenalan.
Bibik menyiapkan seblak yang tadi di bawa oleh Malika. Nala dan Embun dengan sangat antusias langsung memakannya. Sementara, Malika masih kesulitan untuk memakan seblaknya, dia kini sedang kerepotan dengan ke tiga anak Embun yang sedang manja dengannya.
“Kakak, Abang, Adek turun dulu, Sayang. Kasihan Tante Malika kalian minta pangku begitu, kasih waktu Tante buat makan seblak dulu,” tegur Embun pada anaknya.
Aarav dan Adelio langsung turun dari atas sofa, namun tidak dengan Ansel. Dia masih setia meminta pangku dan memeluk Malika, sebentar lagi pasti anak itu akan tertidur.
“Kayaknya mau tidur tuh si Adek,” ucap Nala.
Malika melihat wajah Ansel yang dia benamkan pada dadanya, ternyata benar Ansel sudah menutup mata.
“Biasa tidur jam segini memangnya?”
Nala dan Embun mengangguk dengan kompak.
Selama menunggu Ansel benar-benar tidur dengan pulas, Ace datang dari arah musholla bersama dengan Aksa. Karena besok hari minggu, jadi semua anak dan cucu Reiga berkumpul di rumah besarnya.
“Ada Nadhief?” tanya Aksa.
“Iya, Kak. Tadi kebetulan bareng sama Malika.”
“Bukannya dia dosen kamu sekarang?”
Semua orang menatap ke arah Nadhief, Aksa ini dengan santainya membocorkan sesuatu yang di sembunyikan oleh Nadhief.
“Kok Adek tahu?” tanya Ace, dia sedang membersihkan sekitar Bibir Istrinya yang cemong akibat kuah seblak.
“Dari Iqbal, Bang,” jawab Aksa.
Nadhief baru tahu jia Pak Iqbal adalah sahabat dari Aksa, pantas saja dia bisa tahu jika sekarang dia sudah menjadi asisten dosen.
“Bukannya Iqbal Dosen Ekonomi?”
“Iya, Bang.”
“Terus apa hubungannya dengan kedokteran?” tanya Ace.
Nadhief akhirnya menjelaskan jika dia mengambil 2 jurusan kuliah sekaligus. Jurusan Ekonomi yang dia sukai membuatnya lulus lebih dulu di bandingkan kedokteran yang pilihan orang tuanya.
“Jadi Dosen sengaja buat deketin Malika?” ucap Ace tanpa filter.