Part 3

1833 Words
Karangan bunga yang mengucapkan selamat atas pernikahan mereka masih berada di sekitaran Ballroom, bahkan dari pihak kebersihan hotel mungkin masih belum seratus persen membersihkan tempat yang menjadi resepsi mereka. Tapi, pagi ini, di kamar hotel yang didiami Ayu dan Bima nampak panas. Bukan karena adu gulat di atas kasur tapi karena perbedaan pendapat di hari pertama mereka menjadi sepasang suami isteri. “Mau ya, Bim? Tiga hari aja?” pinta Ayu yang masih menutupi seluruh tubuh polosnya dengan selimut.  “Tiga hari? Satu jam aja aku mungkin enggak betah di rumah kamu,” jawab Bima yang duduk di sofa ruangan itu sambil menatap isterinya. “Papa aku udah ngasih rumah untuk kita, ngapain lagi harus nginap di rumah orang tua kamu?” Ayu yang berada di tengah kasur perlahan bergerak menuju pinggiran, walau sesekali harus meringgis karena rasa sakit di pangkal pahanya. “Ibuk pengen ngenalin kamu sama tetangga, Bim. Kita kan engggak undang satu pun tetangga dekat rumah ke pesta kita.” “Sekalian Ibuk juga pengen dekat sama mantu laki-lakinya, Bim.” Ayu tersenyum mengingat malam tadi Siti—ibunya meminta Bima untuk menginap di rumah mereka. Ayu lama tak melihat senyum lebar ibunya sejak kepergian sang Ayah untuk selamanya. Siti tak pernah kembali hidup saat acara pernikahannya yang digelar malam tadi, walau Ayu tahu jika sang ibu agak sedikit kecewa karena tidak bisa berdiri di sampingnya di atas panggung karena orang tua dari Bima juga tak hadir. Perkataanya tentang Siti yang ingin mengenal lebih dekat Bima pun tak bohong, bisa dibilang selama masa pacaran mereka Bima sangat jarang mengobrol dengan Ibu atau adiknya—Pras. Paling hanya bicara sedikit sekedar basa-basi saat menjemputnya. “Satu hari,” tawar Bima setelah mendengar penjelasan isterinya. Pria yang hanya mengenakan celana pendek dan tak menggunakan atasan itu berpindah duduk ke samping isterinya. “Tiga hari,” tolak Ayu menggeleng sambil tersenyum kecil melihat wajah Bima yang manyun. “Satu hari.” “Tiga hari, Bima sayang.” “Oke, deal. Tiga hari,” putus Bima akhrinya, pria itu memang paling tidak bisa jika sang kekasih yang sekarang telah menjadi isterinya memanggil dengan panggilan seperti tadi. Ayu langsung melebarkan senyumnya ketika mendengar sang suami setuju. Dari dulu ia memang tahu apa yang membuat suaminya luluh namun karena sebelum ini mereka masih berpacaran, Ayu jadi agak sungkan mengatakannya. Tapi, karena sekarang mereka telah menjadi suami dan ister, Ayu berusaha untuk menghapus batasan yang ada. Setelah mendapatkan persetujuan sang suami yang sekarang menjadi ridha-nya sebagai seorang isteri, Ayu mulai berpikir untuk segera mandi lalu berkemas sedikit. Hari ini tepat pukul 9 dan Ayu berharap bisa sampai di rumahnya ketika jam makan siang. “Bim, aku mau mandi du—-“ GRAPPP! “AWH!” pekik Ayu ketika Bima menarik pinggangnya, pinggiran kasur yang tadi menjadi tempat duduknya kini berubah menjadi paha sang suami. “Mau kemana, hemm?” bisik Bima mengembuskan nafas hangatnya dipundak mulus sang isteri. Tangan laki-laki itu mulai nakal melepaskan lilitan selimut putih yang membungkus tubuh Ayu. Seketika Ayu merasakan kegelian di menjalar ke seluruh tubuhnya ketika tangan sang suami kini sudah berada di dalam selimutnya. Wanita itu merasa heran dengan sang suami yang seolah tidak puas, padahal mereka sudah melakukan prosesi belah duren hingga tengah malam dan bangun kesiangan. “Bimmm... capek,” keluh Ayu, entah apa jadinya ia jika Bima kembali meminta hal itu. Ya, walaupun sang suami menginginkannya lagi, Ayu akan tetap memenuhinya.  “Kamu enggak capek apa?” tanya Ayu melirik wajah tampan suaminya, sedikit ngeri saat melihat tatapan tajam sang suami. Bima yang mendengar itu menggeleng lalu mengecup pundak sang isteri dengan rasa bangga. Tak salah ia membeli obat kuat dari temannya walau dengan harga yang lumayan namun hasilnya membuat Ayu sampai kelelehan. “Lagi ya, Yu?” bisik Bima yang sekarang sudah menempelkan hidungnya ke leher sang isteri. “Sekali lagi aja ya.” “Hemmm.” ——— Walaupun Bima melakukannya sekali seperti apa yang diminta Ayu, mereka tetap kesiangan saat keluar dari hotel. Matahari sudah naik sangat tinggi, untuk mereka menggunakan mobil dari hotel dan tak membawa barang yang banyak. Mereka membutuhkan waktu yang cukup lama hingga sampai di rumah Ayu, dimana banyak tetangga sudah menunggu disana. “Kamu ngadain pesta, Yu?” tanya Bima ketika mengeluarkan koper dari mobil saat melihad keadaan rumah Ayu, hanya satu tapi berisi baju-baju mereka. Ayu meringgis, itu hanya tetangga-tetangganya yang ingin berkenalan dengan Bima—karena bisa dibilang di daerah rumahnya, Ayu cukup dikenal karena sering mengajari baca dan berhitung anak-anak kecil.  Daerah rumah Ayu memang berbeda jauh dengan suasana sepi dan sunyi perumahan Bima. Disini, banyak anak kecil yang tidak mendapatkan pendidikan karena sang orang tua lebih memilih anaknya untuk bekerja, bisa berhitung dan membaca saja syukur. “Duh, pengantin baru harumnya, udah mandi berapa kali ini?” tanya seorang wanita paruh baya—Mpok Romlah sambil mengedipkan sebelah mata. Rumahnya berada tepat di belakang rumah Ayu. Ayu menanggapinya hanya dengan senyuman lebar, ia dan Bima menyalami satu-satu tetangga yang ada disana. Lalu memutuskan untuk berbincang sebentar. “Isterinya Ayu ganteng banget tho, putih, bersih, tinggi, kayak siapa itu, Ton? Artis yang Mak tonton itu?” tanya Mak Jupleh sambil menepuk pundak anak laki-lakinya. “Ya mana Anton tahu, Mak,” sahut bocah itu sambil menghendikan bahunya. “Kalo nanti punya anak, pasti cantik dan tampan anaknya,” sahut tetangganya yang lain. “Udah ngerasa ada yang nyangkut belum belah duren malam tadi, Yu?” tanya Mpok Romlah membuat tetangga yang yang disana tertawa, maklum hiburan orang seperti mereka ini beraneka ragam. “Apanya yang nyangkut, Mpok? Biji duren?” tanya Anton polos yang langsung diglepak Mamaknya. “Wisss, bocah enggak perlu banyak tahu!” Lalu saat sedang asik mengobrol, tiba-tiba tetangga yang berada di paling ujung, rumah yang satu-satunya tingkat dua dan lantainya di kramik disini keluar. Tante Marlen namanya. Wanita itu usianya tak jauh dari sang ibu, belum dikarunia anak hingga sekarang. Orang-orang banyak berpikir karena mulutnya Marlen sendiri yang membuatnya susah memiliki anak. Tapi, herannya, hanya pada Ayu, wanita itu mencibir secara terang-terangan. “Duh, pengantin baru udah pulang? Enggak ngasih kabar, enggak ngasih undangan, tahunya udah nikah. Eh, nanti belum enam bulan pernikahan udah ngasih cucu untuk Buk Siti.” Ayu yang mendengar itu menunduk, ia memang tidak mengundang tetangganya sama sekali. Bima yang menolak ketika ia mengajukan, katanya tetangganya hanya akan membuat rusuh saja. “Mak itu suara siapa yang ngomong? Kon Nton enggak lihat orangnya?” tanya Anton pada Mamaknya. “Mamak juga enggak lihat, Nton. Tante Kunti kali kepanasan di rumah lantai duanya.” Tetangga yang berada di teras rumah Ayu tertawa mendengar percakapan ibu dan anak itu. Tante Merlen yang sendirian dan merasa kalah, melirik sinis ke arah Ayu lalu berjalan masuk ke rumahnya. “Ayo, ibu-ibu, rujaknya dimakan!” tawar Siti yang menyediakan rujak untuk di makan bersama tetangganya. “Buk, Ayu sama Bima masuk ya,” pamit Ayu lalu masuk ke dalam bersama sang suami yang sejak datang kesini nampak tidak betah. Ayu dan Ibunya memaklumi karena tahu Bima dibesarkan di keluarga yang berada. “Ini kamar kita, Yu?” tanya Bima ketika masuk ke dalam kamar Ayu. Pria itu menggeleng sadis, tak percaya tempat ini merupakan kamar tidur. Bima jadi menyesal menyetujui bermalam sampai tiga hari disini. Apalagi yang membuatnya resah adalah melihat kasur Ayu yang diduduki saja sudah berbunyi ‘krettt!’ Bagaimana malam nanti ia bermadu kasih dengan Ayu? Bisa-bisa mereka diusir oleh tetangga karena terlalu ribut. “Aku keluar dulu ya, Bim. Enggak enak ada tetangga.” Alasan Ayu pamit tadi karena hanya ingin mengantar Bima, ia sudah tahu kalo sang suami memang nampak tak nyaman berada orang banyak, padahal seingat Ayu sang suami memiliki teman yang banyak. Bima mengangguk, membiarkan sang isteri pergi. Lelaki itu lalu menatap sekeliling kamar ini yang tidak AC atau paling tidak kipas angin. “Oh, iya, Bim, kalo panas buka aja jendelanya. Dingin kok!” kata Ayu yang masuk lagi ke dalam kamar. Bima lalu membuka jendela yang tertutup itu. Sumapah, ia kegerahan! “MOOOO!” Bima langsung melompat ketika melihat wajah sapi ketika membuka lemari. Lelaki itu lalu menatap Ayu dengan wajah lemas. “Aku lupa bilang kalo jendalanya di buka pas malam, kalo siang ada tetangga yang biarin sapinya lepas dan makan rumput disana.” Bima mengangguk lagi, nafas pria itu sekarang ngos-ngosan. Sudah panas, mau buka jendela bukannya mendapat udara malah mendapat sapaan dari sapi. “Kalo kamu mau ke toilet di belakang ada, airnya timba sendiri tapi.” Ya Tuhan, mana pernah Bima menimba?! ——— Besoknya, hari ternyata tak secerah kemarin. Sejak malam diguyur hujan lebat serta angin yang cukup kencang. Ayu malam tadi tidak bisa tidur nyenyak terbangun pagi sekali di saat sang suami masih tertidur lelap. Paginya memang mendung tapi untungnya tidak mengeluarkan muatannya berupa hujan. Sehingga hanya  cuaca dingin saja yang harus dihadapi. “Gimana, Buk? Atapnya bocor lagi?” tanya Ayu ketika menuju dapur rumahnya. “Iya, Yu. Badai semalam, entah kena apa atapnya jadi berlubang dua seperti itu.” Ayu menatap miris ke arah seng bagian dapur rumahnya yang sudah banyak berkarat dan ditambal, ingin sekali rasanya Ayu mengganti itu semua menjadi yang baru tapi sayangnya ia belum menemukan pekerjaan yang menerima tamatan sepertinya dengan gaji yang layak. “Ayu panggil Bima aja , deh, Buk, biar benerin atapnya.” “Emang Bima bisa?” tanya Siti agak ragu, pasalnya menantunya itu orang berada dan mungkin tak pernah mengerjakan hal ini. “Pras kan lagi sakit, Buk. Kasian kalo nyuruh dia, bentar lagi juga mau hujan.” Ketika ibunya mengangguk, Ayu berjalan menuju kamarnya dan menemukannsang suami masih bergelung di kasur. “Bim...” panggil Ayu lembut. “Bimaaaa,” panggil Ayu lagi membuat pria itu membuka kelopak matanya sedikit lalu mengeratkan selimutnya. “Bim, kamu bisakan benerin atap gen—“ “Enggak, aku ngantuk,” potong Bima. “Bim, bentar lagi mau hujan.” “Suruh adek kamu aja kenapa sih?” seru Bima yang tak mau tidurnya terganggu. “Kalo Pras enggak sakit, aku enggak bakal minta tolong kamu, Bim.” “Yaudah suruh aja dia. Aku mau tidur. Jangan diganggu!” Bima lalu membalikan posisi tubuhnya sehingga membelakangi Ayu. Ayu pikir dengan adanya sosok Bima, keluarganya memiliki seorang laki-laki lagi yang akan membuat mereka terasa aman. Bukan bermaksud menjadikan suaminya sebagai tukang namun dengan kondisi mendesak seperti ini, hanya Bima yang bisa Ayu harapkan. Wanita itu keluar dengan wajah bersalah saat melihat ibunya menunggu di depan pintu kamarnya. “Enggak papa kalo Bima enggak mau, Pras katanya udah mendingan, sekarang lagi benarin atap,” kata Siti yang membuat Ayu panik, ia tahu betul dengan sifat adiknya yang selalu mengutamakan keluarga daripada dirinya sendiri. Ayu segera menuju ke dapur dan terkejut menemukan Pras yang masih tak sehat berada di atas. “Pras, turun aja kalo enggak sanggup.” “Pras udah baik-baik aja kok, Mbak. Ini udah—awh!” Ayu membulatkan matanya ketika mendengar pekikakan sang adik dan tak lama mendengar suara sesuatu yang terjatuh dari atas. BRUKKK! “PRASETYAAAA!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD