Beberapa minggu kemudian.
Seperti biasa Vivi menjalani aktivitasnya kembali. Ia sudah memikirkan matang-matang mengenai rencana selanjutnya. Tega atau tidak, ia harus melaksanakan misinya.
Jebakan telah ia buat, semakin cepat dilancarkan aksinya. Maka semakin tinggi tingkat keberhasilannya. Vivi yakin, semua ini akan membuahkan hasil. "Maaf Ayunda. Sebagai seorang wanita. Aku jauh lebih membutuhkan Satya untuk bayiku ini," kata Vivi sembari menatap pantulan dirinya di cermin besar yang tersedia di kamar apartemennya.
Demi menyukseskan jebakannya Vivi beralasan bahwa dirinya ulang tahun. Padahal di KTP sudah jelas tertera bahwa tanggal ulang tahunnya masih beberapa minggu lagi. Bodohnya si Satya yang langsung saja begitu percaya padanya. Semua ini karena cinta!
Dengan memanfaatkan tampang dibelaskasihani, Satya pun mengiyakan ajakan Vivi yang menyuruhnya menginap karena ia akan ulang tahun besok. Ia ingin Satya memberikan ucapan selamat ulang tahun untuk yang pertama kalinya. Toh Satya juga kekasihnya, wajar bukan?
Ia menjebak Satya dengan memasukkan obat tidur di minuman yang ia buat untuk Satya malam ini. Sebenarnya Vivi masih bimbang. Ia pun juga takut akan kejadian apa yang menimpanya selanjutnya. Namun sekali lagi ia yakinkan hatinya. Ada sosok lain yang hidup dan membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Yaitu calon anak yang tengah di kandungnya saat ini.
"Maafin aku ya Sayang.." gumamnya sebelum membawa minuman itu ke hadapan Satya.
Satya akhirnya berhasil masuk ke perangkap Vivi. Ia sungguh bahagia tak terkira. Semudah ini membuat Satya takluk. Dengan cekatan Vivi melepas baju Satya, menyisakan boxer saja. Hal tersebut membuat ingatannya kembali pada malam dimana ia tidak berdaya melawan lelaki b******k yang membuat hidupnya kacau.
Keesokkan harinya, Satya terbangun dengan raut wajah terkejutnya ketika menyadari kondisi tubuhnya yang setengah telanjang. Apa yang terjadi!?
"Vi, katakan! Apa yang terjadi semalam!? Kita hanya tidur satu ranjang saja 'kan!?" Satya masih berusaha untuk berpikiran positif, meski ia tahu betul jika leher Vivi penuh dengan kemerah-merahan. Siapa pria di dunia ini yang tak tahu akan tanda tersebut?
"Hikkss..hiks..." Hanya isak tangis yang membuat Satya semakin tak bisa berpikiran jernih.
"Katakan, Vi. Kumohon, jangan menangis.."
Vivi pun mulai mengarang cerita, jika semalam Satya secara tidak sadar melakukan hal yang tidak senonoh padanya. Hubungan suami-istri yang seharusnya tidak Satya lakukan sebelum keduanya SAH dimata agama dan hukum. "Hikss..hikss..apakah setelah ini kamu akan meninggalkan aku?" tanya Vivi yang masih sesenggukan.
Satya menyugar kasar rambutnya. Vivi semakin terisak. Hingga akhirnya Satya membawa tubuh Vivi yang berbalut selimut tebal itu ke dalam pelukannya. "Ssstttt...jangan menangis. Ini salahku. Kamu pasti kesakitan karena ulahku yang tidak sadarkan diri. Tapi, kenapa bisa aku tidak sadarkan diri? Sedangkan minuman yang kita beli belum aku minum tadi malam."
Vivi melonggarkan pelukan Satya. Wanita itu menatap kedua manik mata Satya, "kamu lupa. Semalam kamu juga meminumnya. Kamu habis satu botol. Tanpa menggubrisku sama sekali."
"Maaf.." Satya merutuki kebodohannya yang selalu buruk ketika sedang mabuk. Dirinya tak akan bisa mengendalikan diri ketika dikuasai oleh alkohol.
Melihat sikap bersalah Satya. Vivi justru mengulas senyum sinis dan penuh kemenangan di dalam dekapan Satya. Ia tak menyangka jika perangkap yang ia buat berhasil memerangkap Satya.
Sepeninggalan Satya, Vivi langsung membersihkan tempat kejadian dan ia pun berniat membersihkan dirinya namun sebuah tangan sigap memeluknya dari belakang. Ia memberontak, akan tetapi tenaganya sebagai wanita tak akan bisa menandingi tenaga seorang lelaki. Lelaki itu seperti biasa, berjas hitam. Pakaikan khasnya selalu saja bernuansa hitam.
"Lihat dirimu!" Vivi seketika terkejut ketika Ridho membawanya untuk berkaca. Posisi Ridho tengah memeluk Vivi dari belakang.
Senyum sinis dan mata memerah itu mengingatkan Vivi pada sosok brutal yang merenggut mahkotanya di malam pelecehan seksualnya itu. "Le-passskann.." Dengan terengah-engah melawan Ridho, Vivi berusaha melepaskan pelukan erat lelaki itu.
Bagaimana bisa, setelah Satya beranjak. Ridho menyelinap ke apartemennya. Benar-benar tak terduga dan sangat beresiko apabila Satya memergoki lelaki tak jelas ini!
"Hhhh..lihat dirimu, Jalang? Apakah kamu akan memperlihatkan sisi pelacurmu itu di depan anakku nanti? Ataukah, kamu akan mewariskannya pada anakku?"
"Menjijikan," bisik Ridho tepat di telinga Vivi. Hembus napas halus yang menerpa telinga Vivi seketika membuat wanita itu bergidik ngeri. Ridho tengah menahan emosinya saat ini. Ia takut jika kejadian itu terulang kembali.
Belum sempat menyelesaikan pikirannya yang bercabang-cabang. Hal yang sedari tadi mengusik batinnya pun terjadi. Ridho dengan sekuat tenaganya menghempaskan tubuh Vivi ke kasur. Ia menindih Vivi namun tetap memberikan ruang pada perut wanita yang tak berdaya dikungkungannya itu.
"Kau mau lagi?"
"...." Vivi menutup rapat-rapat bibirnya. Ia menoleh ke samping, dan mengabaikan wajah tampan Ridho yang menatapnya begitu dekat.
Tak tinggal diam dengan Vivi yang mengacuhkannya. Salah satu tangan Ridho membawa kedua tangan Vivi di atas kepala, menahannya sangat erat. Hingga Vivi kesakitan, tangannya pasti akan memerah. Satu tangan lainnya ia gunakan untuk mencengkeram pipi wanita yang menoleh ke samping itu agar menghadapnya. "Tatap saya!"
Vivi memejamkan matanya sangat erat. Ia sungguh ketakutan. Ridho semakin senang dan mulai melancarkan aksinya. Ia mencium kasar bibir Vivi meski wanita itu terus mengelak. "Emmmhhh...emmmmhhh." Ia masih mencoba melepaskan wajahnya dari cengkeraman tangan Ridho.
Ridho masih terus menciumi bibir Vivi. Digigitnya bibir bawah wanita itu agar memberinya akses untuk mengabsen tiap gigi-gigi wanita itu. "Emmmmhhhh..."
Hingga tangis Vivi pecah ketika Ridho merobek paksa piyama yang baru saja dikenakan Vivi ketika Satya beranjak tadi. Masih tak luluh dengan tangisan Vivi, Ridho justru mendaratkan bibirnya di leher Vivi.
"Hikkss...hikks..ya, saya Jalang! Saya jalangmu yang kau lecehkan pada malam itu. Tapi, perlu kamu tahu? Saya seperti ini karenamu!!"
Mata Ridho semakin memerah, ia kembali mencium bibir Vivi. Tapi apakah Vivi sadar? Jika Ridho diam-diam mengulum senyumnya. Inilah yang Ridho inginkan. Kemarahan Vivi dan pengakuan kesalahannya.
Selesai dengan aksinya yang sebenarnya hanya untuk memberikan pelajaran pada Vivi yang membohongi Satya. Ridho pun melepaskan Vivi yang penampilannya persis seperti sandiwaranya dengan Satya tadi. Ridho berdiri. Ia merapikan jas dan membenarkan letak dasinya. Ia bertanya, "Bagaimana? Lebih mengenaskan 'kan dari pada sandiwaramu dengan suami orang tadi?"
Kedua bola mata Vivi membola. Ia sungguh geram sekaligus penasaran. Bagaimana Ridho tahu?
Ridho mendekat lagi pada Vivi yang menyenderkan dirinya di kepala ranjang. "Sandiwaramu sungguh menyedihkan. Suami orang itu, sepertinya tak lagi mencintaimu. Sadar atau tidak, bahwasannya..untuk sekedar berciuman denganmu pun. Saya yakin, bahwa kamu mungkin ditolak olehnya." Senyum sinis Ridho semakin membuat Vivi berapi-api.
Kilasan memori tentang Satya pun muncul kembali. Semalam, ketika Vivi hendak mencium Satya. Bahkan disaat kondisi Satya setengah sadar karena efek obat yang Vivi berikan, lelaki itu menolak mentah-mentah ciumannya. Dengan mengalihkan wajahnya ke samping.
Sungguh menyedihkan.
Tanpa menggubris ucapan Ridho, Vivi beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya yang kotor karena Ridho. Lelaki tak jelas! b******k! Sialan! Biadab itu bak jailangkung. Datang tak diundang, dan pulang tak diantar. Dimana pun Vivi berada, ia merasa Ridho akan selalu membuntutinya.
"Sial!!" teriak Vivi.
Ridho yang kebetulan masih berada di kamar Vivi pun, hanya menyunggingkan senyumnya ketika mendengar teriak frustasi seorang pelakor yang harus ia sadarkan. Ya, kini misi utamanya bukan hanya untuk meluluhkan Vivi dan mendapatkan bayinya. Namun juga menyadarkan Vivi agar tak menjadi benalu pada rumah tangga orang. Terlebih jika orang tersebut sudah Ridho anggap sebagai kakaknya sendiri.
"Arrrggghhhhhh...." Lagi-lagi Vivi mengerang. Namun erangannya kali ini berbeda. Bukan erangan marah. Mendengar itu, Ridho justru bernafsu lagi.
"Jangan berteriak seperti itu! Kamu membuat saya ingin lagi." Usai mengatakan hal tersebut Ridho terkekeh pelan. Ia menatap dirinya di pantulan kaca yang berada di kamar Vivi. Matanya menatap ponsek Vivi yang tergeletak di sana. Hendak meraih ponsel itu, namun tiba-tiba matanya menangkap sosok yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Jalannya terseok-seok. Seketika itu Ridho paham. Teriakan Vivi barusan adalah teriakan kesakitan. Bodoh!
Ia segera membopong tubuh Vivi. Wanita itu tak memberontak lagi, mungkin karena ia tak sanggup. Ditidurkannya di kasur. Vivi memegangi perutnya sendiri. "Arrrghhh..s-sakitt.." Matanya berkaca-kaca dan memerah. Ia menatap Ridho dengan tatapan sayunya.
"Kenapa bisa!? Kamu jatuh!?" tanya Ridho yang panik. Vivi menggeleng. Ia memang tidak jatuh.
Kepanikan Ridho membuatnya sesegera merogoh saku celana yang dikenakannya, untuk mencari ponsel dan hendak menghubungi dokter. Akan tetapi, Vivi mencegahnya dengan menggeleng dan menghentika jari Ridho yang bergerak di atas ponsel.
"Kenapa!?"
"J-jangan.."
Entah dorongan keberanian dari mana, Vivi meletakkan ponsel Ridho di samping kanannya. Ia meraih tangan besar lelaki yang tengah cemas di depannya itu, lalu meletakkannya di atas perut. "U-usap.."
"A-apa!?"
"U-sapp..p-pelan-pelan saja.." pinta Vivi dengan sekuat tenaga menahan rasa sakit perutnya. Ridho menuruti Vivi. Ia mulai mengusap perut Vivi yang belum begitu terlihat membuncit itu.
Ajaib!
Beberapa saat kemudian, Vivi tak lagi kesakitan. Ia tertidur, sedangkan Ridho masih mengusap perutnya dan menatapi wanita yang tengah terlelap dihadapannya itu.
Cup!
"Selamat tidur, Ibu dari anakku."
***