Kini Sofia berada di rumah sakit. Ia duduk di sebelah Daniel. Dengan was-was Sofia memperhatikan di sekitarnya. Sadar kalau ia dan Daniel warganegara asing yang menjadi pusat perhatian.
"Kita harus cepat pulang."
"Tidak bisa. Aku sedang menunggu obat."
"Sejak kapan kau minum obat? Yang aku tahu selama ini kau sehat."
"Kau tidak lihat bagaimana kondisi wajahku saat ini?"
Sofia terdiam. Ia menatap Daniel dan melihat ada luka lebam di pipi, pelipis dan sudut bibir pria itu.
"Apakah separah itu harus ke rumah sakit? Bukankah kau pernah lebih parah dari ini dan justru diriku yang mengobatimu."
"Aku kesini bukan karena lukaku."
"Lalu apa?"
"Nafisah.."
Sofia mendengkus kesal. "Dia lagi, dia lagi. Cinta sudah membuatmu buta sampai-sampai kau sudah lupa dengan janji kita."
"Dia sakit dan semua itu karena ulahku. Aku harus bertanggungjawab."
"Justru kau terluka karena saudara wanita itu kan? Kenapa kau tidak meminta tanggung jawab juga sama dia?"
Asik berdebat. Tanpa keduanya sadari, seorang pria sedang memata-matai mereka. Pria itu terlihat sedang bersembunyi. Lalu memegang alat kecil yang terpasang di telinganya.
"Target sedang berada di rumah sakit. Wajahnya luka dan dia bersama wanita itu."
****
Seminggu kemudian..
Hanif tersenyum puas. Setelah memberi pelajaran pada Daniel seminggu yang lalu, kini pria itu benar-benar tidak sedikit pun mendekati Nafisah lagi. Hanif merasa lega di buatnya.
Pagi sudah menjelang. Ia sudah rapi dengan pakaian kurir ekspedisi tempat ia bekerja. Hanif pun segera menuju dapur dan bersiap untuk sarapan. Hanif berbinar, ketika melihat pisang goreng di atas meja makan.
Plak!
"Jangan sentuh itu! tegur Ibu Fiza dengan tatapan peringatan.
"Kenapa, Bu? Kan untuk di makan."
"Memang untuk di makan. Tapi bukan buat kamu. Punyamu ada di dalam tudung."
"Buat Bapak?"
"Bukan juga."
"Nafisah jelas bukan. Dia menghindari gorengan. Lalu siapa? Ah kucing?"
"Ini untuk tamu. Nak Daniel."
"Apa?! Bule setan itu makan gorengan? Dih sok banget, biasa juga makan-"
"Hush! Cangkemu itu!"
Hanif terdiam. Justru ia tak perduli dan mengambil satu pisang goreng lalu berlari begitu saja.
"Hanif!!! Dasar anak nakal!"
****
Zulfa baru saja menyelesaikan tugasnya menghitung jumlah orderan pakaian wanita hari ini. Di antaranya ada jilbab, gamis, legging, dan masih banyak lagi.
"Assalamu'alaikum.."
"Wa'alalikumussalam. Ya Allah, penulis sukses kita. Masya Allah."
"Aamiin! Do'ain aja semoga suatu saat bisa menjadi penulis sukses."
"Lah sekarang bukannya lagi proses ya? Kan n****+ kamu mau terbit."
"Batal bestie.."
"Kok bisa?"
"Bisa lah, aku yang batalin kok."
"Udah taken kontrak?"
Nafisah terdiam. Menyadari reaksi wajah Nafisah, Sofia langsung menatapnya dengan tatapan menyelidik.
"Pasti sudah? Fix denda itu mah! Bayar berapa?"
"20 juta." lirih Nafisah pelan. Ia terlihat lesu.
"Itu denda atau meras?!" sela Hanif kemudian.
Tiba-tiba Hanif datang. Seperti biasa, kedatangannya ke rumah Zulfa untuk melakukan pick up an packing orderan customer.
Dengan kesal Hanif meletakkan karung ekspedisinya di sebelah packingan Zulfa. Ia bersedekap.
"Mana ada denda penerbit sampai 20 juta. Paling umum di bawah 5 juta. Kalau 20 juta, itu namanya kamu di permainkan sama dia!"
"Nah bener banget tuh!" sela Zulfa lagi. "Saran aku, mending tetap lanjut deh, Naf. Daripada bayar denda. Kalau bisa bayar, ya terserah sih. Kalau nggak?"
"Tapi aku gak sudi bekerjasama dengan dia. Gara-gara dia, aku sakit. Terus dia juga tipe laki-laki yang nggak sopan..."
"Kalau begitu kita sokongan aja bantu Nafisah." Hanif menatap Nafisah dan Zulfa secara bergantian. "Ini sih saran dari aku. Lagian, apa yang di katakan Nafisah itu benar. Selain gak sopan, dia juga berbahaya."
"Maksud Mas Hanif?" tanya Nafisah bingung.
"Seminggu yang lalu aku memberinya pelajaran. Aku menghajarnya dan memukul wajahnya. Kamu tahu kenapa aku begitu? Karena kamu, Nafisah. Aku sebagai saudara sepupumu nggak terima kalau adik perempuanku di sakitin apalagi di pegang seenaknya sama yang bukan mahram walaupun hanya ujung kuku."
Sontak Nafisah dan Zulfa terkejut. Nafisah sendiri membatin, pantas saja waktu itu ia bertemu dengan Daniel di rumah sakit, wajah pria itu dalam keadaan babak belur. Rupanya Hanif yang melakukannya.
"Lalu dia mengeluarkan pisau dan mengancam ke arahku. Aku yakin, di dalam mobilnya pasti masih ada senjata lainnya yang dia bawa kemanapun. Bisa bayangin nggak, kalau Nafisah ketemu terus ntah apa yang terjadi tiba-tiba dia ancam Nafisah dengan senjata tajam?"
"Benar juga. Naf, mulai sekarang kamu harus hati-hati deh sama dia. Jangan mudah kemakan modusnya. Apalagi dia sering kasih kamu barang dan hadiah kan?"
"Lagian siapa juga yang mau terima semua hadiahnya? Semua yang dia kasih, aku berikan sama orang yang tidak mampu di luar sana."
Satu per satu, Hanif memasukkan packingan orderan ke dalam karung ekspedisinya. Setelah selesai semuanya ia kembali menatap keduanya.
"Soal denda tadi, aku mau kok bantu kamu, Naf. Walaupun nggak seberapa. Sisanya aku bisa minta sama Bapak dan Ibu dengan alasan lain. Yang penting, kamu jangan kerja sama dengan si setan itu. Dia pria yang nggak baik. Bahkan jika kalian berjodoh, aku nggak bakal setuju. Walaupun aku nggak berhak, tapi aku nggak akan capek ngasih peringatan kalau dia emang benar-benar laki-laki nggak baik."
Hanif pun menuju pintu dan lagi-lagi ia menghentikan langkahnya.
"Ah satu lagi."
"Apa?" jawab Zulfa.
"Ini untuk kamu Nafisah. Kalau mau pulang ke rumah, hati-hati."
"Memangnya kenapa, Mas?"
"Tadi pagi Bude bilang, hari ini ada Daniel bertamu kerumah. Nggak tahu jam berapa. Tapi karena dia suka datang tiba-tiba macam setan, lebih baik kamu waspada. Atau kalau perlu kamu nggak usah pulang dan nginap disini."
"Nginap?"
"Iya, itu lebih baik kan?"
"Ya ampun, nginap bareng. Kita akan tidur bersama, pesta bantal, atau maskeran bareng, streaming bareng, begadang. Ah! Seru banget tuh.. " sela Zulfa berbinar.
"Kalau nginap, baju gantiku gimana?"
"Nebeng bisa kali ah, kayak Zulfa ini nggak punya baju aja lagi. Kalau nggak ada, noh stok jualan bisa di pakai."
"Ih enak aja!" sungut Zulfa kesal. "Dah sana pergi. Udah kelamaan lo disini macam mak-emak gang yang suka gibahan."
****
Nafisah memikirkan semua ucapan Hanif dan Zulfa. Kepalanya benar-benar pusing. Sudah ia duga, perihal mengenai pria itu sungguh merepotkan. Selain Daniel itu hantu macam Jailangkung, sekarang pria itu membuatnya berhutang hingga 20 juta. Yang benar saja!
"Kamu yakin, pulang sebentar?"
"Iya yakin. Obatku tertinggal di kamar. Saran dokter waktu itu, aku harus minum sampai habis."
"Obat apa?"
"Antibiotik."
"Oke aku tunggu. Lagian ini masih jam 7 malam."
"Aku pergi dulu, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Nafisah mengendarai motornya menuju rumah yang tak jauh dari tempat tinggal Zulfa. Sesampainya disana, Nafisah memasuki rumahnya. Ruang tamu masih terlihat sepi. Ia yakin Pak de dan Bude nya berada di dalam kamar.
"Huft, Alhamdulillah. Nggak ada tanda-tanda tamu atau si setan itu datang."
Buru-buru Nafisah menuju kamar. Tak lupa ia mengunci pintunya agar tidak ada yang masuk. Nafisah langsung membuka laci meja untuk mengambil obat antibiotiknya.
Ceklek!
Suara pintu terdengar. Nafisah menoleh ke arah pintu kamar mandi yang terbuka. Daniel keluar dari kamar mandi dengan penampilannya yang bertelanjang d**a dan hanya mengenakan wardrobe putih miliknya. Pria itu terlihat habis mandi bahkan rambut ikalnya terlihat basah.
Prankkkkkk!!
Detik berikutnya, hanya pecahan botol antibiotik yang terdengar jatuh ke lantai. Nafisah tak perduli ketika obatnya terbuang sia-sia. Ia syok melihat Daniel muncul di tempat yang bukan seharusnya.
****
????
Serius.. Ini seperti komentar kalian. Macam hantu atau Jailangkung ?
Makasih ya udah baca. Maaf kemarin gak up, karena emang lagi sibuk.
Jgn lupa beri vote supaya statistik cerita ini bagus ya. Makasihhh
With Love, Lia
Instagram : lia_rezaa_vahlefii