"Dek.."
"Hm.. "
"Aku mau tanya. Boleh?"
"Soal apa?"
Hanif terdiam sejenak. Kedua tangannya sibuk mengelap piring yang basah menggunakan kain bersih. Sementara Nafisah ada disebelahnya sedang mencuci piring.
"Si Daniel ngapain sih ngerecokin kamu terus?"
"Ntahlah. Mungkin kurang kerjaan.."
"Nggak risih?"
"Ya risihlah! Apalagi dia bukan mahramku.."
"Kalau aku yang ngerecokin gimana? Kan bukan mahram juga.."
Nafisah menghentikan kegiatan cuci piringnya. Tatapannya terhenti pada tangannya yang basah oleh kucuran air westafel.
"Kalau Mas yang ngerecokin aku, Mungkin aku bisa..... "
Nafisah menoleh ke belakang. Sementara Hanif siap mendengarkan lanjutannya.
"Apa?"
"Menurut Mas?"
"Kok nanya balik?"
Nafisah tersenyum lebar. "Dahlah, lanjutin kerjaan Mas Hanif tuh biar cepat kelar. Itu lebih baik daripada banyak tanya untuk hal yang nggak penting, kan?"
"Banyak tanya atau nggak, itu nggak penting. Yang penting asik, nggak bikin risih!"
"Dih.. "
Nafisah melenggang pergi. Sementara Hanif tertawa lebar. Setelah menjauh dari dapur, Nafisah kembali terdiam. Ia memikirkan maksud dan ucapan Hanif tadi. Ntah kenapa akhir-akhir ini Hanif banyak tanya dengannya tentang Daniel?
Sudah banyak pria yang mendekati dirinya meskipun ia sudah berstatus janda. Tapi Hanif tak pernah mau ingin tahu dengan pria pria sebelumnya. Lalu kenapa begitu Daniel datang, Hanif terlihat ingin tahu akan semuanya.
"Ada apa dengan Hanif?"
****
Napas Sofia tersenggal-senggal. Tak menyangka kalau teman yang selama ini ia anggap sebagai pria yang baik justru hendak menyakitinya. Sofia menatap pria tertelungkup di lantai itu dengan syok. Di samping perut pria itu, ada darah segar yang mengalir banyak. Rasa takut menyelimuti Sofia.
"Aku.. Aku baru saja membunuhnya! Aku.. Aku... "
Sofia masih terduduk dengan lemah di lantai, ia seenggukan. Setelah apa yang terjadi, dengan cepat Sofia memperbaiki kancing bajunya yang acak-acakkan. Hampir saja kehormatannya di renggut oleh pria yang kini sudah mati di hadapannya. Pria itu adalah anak dari seorang pejabat negara yang tewas setelah hampir saja memperkosanya. Sofia yakin, setelah ini ia akan berada di situasi yang sulit.
Dengan panik Sofia pergi dari sana. Ia berlari secara ketakutan. Tak perduli dengan penampilannya yang kacau. Sofia memeluk dirinya sendiri dengan tubuh gemetar begitu memasuki lift apartemen dan turun ke lantai lobby.
Bingung dengan tujuannya harus kemana, Sofia memutuskan pergi mendatangi Adelard. Sesampainya disana, ia menghentikan langkah. Dari jarak kejauhan, ada dua mobil polisi berada didepan rumah susun. Tempat di mana Adelard dan anak buahnya selama ini bertempat tinggal.
"Kenapa ada polisi disana?"
*
"Kalau mau belanja lain kali sama-sama. Jangan sendirian.."
Lamunan masalalu Sofia buyar seketika. Ia menoleh ke belakang, Daniel baru saja datang dan duduk di sofa dengan santai. Sofia bersedekap.
"Tadinya aku ingin mengajakmu. Tapi bukankah kau sibuk dengan wanita mu itu?"
"Kau cemburu?"
"Jangan percaya diri. Kau bukan tipeku."
"Tapi aku pahlawan buat dirimu kan?"
"Terserah!"
Sofia mendekati Daniel. Tatapannya begitu serius. "Aku hanya mengingatkan janji kita 5 tahun yang lalu. Untuk berhati-hati pada siapapun apalagi yang berhubungan dengan urusan hati dan cinta."
"Memangnya kau bisa hidup selamanya tanpa pasangan?"
"Kau-"
"Justru kau yang harus hati-hati dengan pria asing tadi pagi."
"Pria asing?"
"Yang memberimu bantuan Tas belanja itu. Lebih baik buang saja."
Daniel pergi begitu saja meninggalkan Sofia yang terbungkam. Sofia memutar bola matanya dengan jengah.
"Kenapa sekarang semuanya begitu serba salah?
****
"Naf?"
"Ya?"
"Boleh tanya sesuatu nggak?"
"Soal apa?"
"Kamu sama Daniel, lagi ada something?"
"Allahuakbar... " Nafisah menghela napasnya. "Ini nih, yang mungkin dinamakan jodoh kali, ya?"
"Lah maksudnya?"
"Kamu dan Hanif, kok bisa sama banget sih pertanyaannya? Tadi malam dia tanya begitu. Sekarang sore ini kamu pula tanya hal yang sama. Ada apa sih dengan kalian? Jangan-jangan kalian kerja sama nih kepoin aku?"
"Aku kan nggak tahu kalau Hanif tanya hal begitu sama kamu. Lagian.. Kamu sama dia, cocok kok." Zulfa menyengir lebar.
"Dia nya siapa dulu nih?"
"Ya Daniel lah. Masa iya si... " Zulfa melirik sebentar ke arah Nafisah. Sedikit curi-curi pandang. "Si Hanif."
Nafisah memaksanya senyumannya. Seketika tatapannya berubah menjadi datar.
"Hanif itu sepupuku. Dia dan orang tuanya, benar-benar sayang sama aku, Zul. Hanif, dia aku anggap seperti Kakakku. 5 tahun yang lalu mereka datang disaat situasiku benar-benar kelam banget. Walaupun kita bukan mahram, aku nggak terpikir untuk suka sama dia."
"Tapi, jodoh itu rahasia Allah, Naf. Kemungkinan kamu menikah sama dia suatu saat bisa aja kan terjadi?"
"Aku nggak tahu. Yang jelas, aku nggak terpikir untuk menikah lagi."
"Kamu trauma soal pernikahan dan cinta?"
"Kamu nggak akan ngerti karena kamu nggak berada di posisi aku. Tapi aku berharap nasib kamu jangan sampai kayak aku."
"Aku ngerti kok.." Zulfa meraih kotak tisu. Ia meletakkannya didekat Nafisah. Nafisah meraih selembar tisu.
"Maaf jadi melow.. " Kedua mata Nafisah berkaca-kaca. "Aku cuma nggak mau kalau aku berada di posisi seperti masalalu. Di khianati dan kehilangan di saat bersamaan. Itu rasanya begitu menyakitkan.. "
Tanpa keduanya sadari, Hanif memundurkan langkahnya. Ia mendengar semua obrolan mereka di depan pintu yang sedikit terbuka. Ntah kenapa hatinya begitu sedih mendengar semua ucapan Nafisah. Ada apa dengan dirinya? Apakah hatinya mulai perduli dan kasian pada sepupunya sendiri ataukah ada alasan lain?
Hanif merasa bingung dengan dirinya. Ia pun membalikkan badannya. Seketika ia menghentikan langkah nya. Ada Daniel yang kini berdiri di hadapannya dengan jarak beberapa meter dengan raut wajahnya yang terlihat datar dan penuh tanda tanya.
****
Dan lagi, Daniel suka datang tiba-tiba ?
Hai, aku update lagi ya. Alhamdulillah bisa nulis chapter ini. Aku nggak minta kalian harus suka dengan karya aku, tapi kalau kalian baca dan merasa ramai, Barakallah aku senang bangetbanget ??✨
Makasih ya sudah baca. With Love ❤ Lia
Instagram : lia_rezaa_vahlefii