Chapter 12

1121 Words
"Jadi, sudah buat pilihan mau bekerjasama atau tidak?" tanya Sofia yang kini duduk di hadapan Nafisah. "Sudah. Saya setuju." "Oke kalau begitu. Bisa tunggu sebentar? Saya akan print surat ini menjadi 2 rangkap yang akan di beri materai 10.000. Nanti 1 rangkap buat penulis yang sudah berisi tanda tangan pimpinan redaksi dan surat tersebut bisa di simpan sebagai bukti perjanjian terbit. Lalu surat 1 rangkap nya lagi untuk kami simpan juga." "Baik.." Sofia segera berdiri dan meninggalkan Nafisah. Lalu 2 menit kemudian salah satu karyawan menghidangkan sebotol air mineral dan kue buat Nafisah. Tidak membutuhkan waktu yang lama, Sofia kembali masuk dengan membawa 2 rangkap surat perjanjian kontrak penerbitan. Nafisah menerima 1 rangkap yang akhirnya ia tanda tangani. "Ya Allah.." Nafisah terkejut. Setelah selesai tanda tangan di atas materai ia baru sadar kalau Pimpinan redaksi tersebut bernama Daniel. "Apakah semuanya baik?" "Jadi, pimpinan redaksinya adalah-" "Itu saya. Kenapa? Masalah?" Lagi-lagi Daniel nongol bagaikan hantu. Ia tersenyum puas. Nafisah sudah terikat kontrak padanya hitam di atas putih. Dengan santai Daniel malah duduk di sebelahnya, sedikit memiringkan tubuhnya sembari menatap Nafisah. "Cantiknya anak orang.. " Sofia merasa kesal. Akhirnya ia pergi dari sana. Ia sudah tahu kalau Daniel pasti akan menyukai situasi ini. Nafisah berdiri, benci terhadap pria yang ada di depannya. Sudah hantu, buaya darat, raja gombal pula! Daniel langsung menghadang jalan Nafisah. Wanita itu ke kanan, ia juga ke kanan, dia ke kiri, maka Daniel pun ke kiri. "Saya ingin batalkan surat ini!" kesal Nafisah sambil menatap ke lain, ia tidak sudi menatap Daniel bahkan tak perduli ketampanannya. "Setelah mengetahui kalau saya pimred nya?" "Saya lelah berdebat. Cepat lakukan!" "Baru aja setuju. Masa mau batal? Denda 20 juta saya tunggu bulan depan dari sekarang, sanggup?" "Sanggup!" Nafisah hendak pergi, namun tanpa sengaja kakinya tersandung ujung kaki meja bahkan nyaris terjatuh kalau saja Daniel tidak cepat menahan pinggulnya. Semua terlalu mendadak bahkan keduanya sampai terjatuh di sofa yang ada di belakangnya. Nafisah memejamkan matanya dengan takut. Kedua tangannya mencengkram kemeja Daniel. Daniel cukup terkejut, namun hatinya juga berdebar karena bisa menatap wajah Nafisah sedekat itu. "Seperti adegan di n****+. Tokoh utama tanpa sengaja terjatuh dan berakhir dengan posisi pria yang melindungi wanitanya. Ah, yernyata senyata ini rasanya." bisik Daniel pelan. Plak! Akhirnya Nafisah menampar Daniel. Ia langsung berdiri dan pergi begitu saja. Bahkan tak perduli jika di luar sana hujan sedang turun dengan deras. Tubuh yang basah beserta wajah yang kini di aliri air mata membuat Nafisah akhirnya menyerah. Hatinya sedih, kecewa, bahkan merasa malu sebagai seorang wanita kenapa semudah itu ia bisa di sentuh pria lain yang bukan siapa-siapa baginya meskipun bukan kemauannya. Nafisah memeluk dirinya di bawah guyuran hujan. "Kenapa kamu jahat sekali?! Ya Allah, kenapa masih saja ada pria yang ingin menyakitiku? Apakah aku harus mati terlebih dahulu agar siapa pun pria yang ada di dunia ini berhenti mengejarku?" "Aku benci laki-laki! Aku benci mereka semua!!!!!! " Tangis Nafisah tumpah. Ia terduduk di pinggir jalan, padahal ia bawa motor. Namun rasanya ia tidak sudi kembali apalagi menginjakkan kakinya ke tempat tadi. Tiba-tiba Hanif datang, ia membawa payung dan mengarahkannya pada Nafisah. "Main hujan kok sendirian. Nanti kalau sakit, yang sedih siapa? Pasti Pak de sama Bude. Aku mah ogah.." Nafisah mendongakkan wajahnya. Ia sudah menggigil kedinginan. Di saat yang sama, sebuah mobil datang menepi di sebelah mereka. "Ayo masuk, aku sudah pesan taksi online. Motormu nggak usah di pikir, ntar aku aja yang urus." Nafisah sudah lemah. Ia hanya menurut dan akhirnya memasuki mobil tersebut. Setelah Nafisah masuk, Hanif menoleh ke sisi lain. Ada Daniel yang berdiri di sudut jalan sambil memakai payung. Hanif menatapnya tajam. "Akan kuberi pelajaran buatmu, Pria b******k!" **** "Kok tega banget sih dia sampai segitunya peluk-peluk kamu?" "Aku gak tahu, Zul." Nafisah memegang keningnya. Kepalanya begitu pusing. Setelah kemarin siang berhujan-hujanan. "Pasti ada penyebabnya." "Aku tersandung. Terus dia reflek tolong aku. Lalu-" Nafisah tak sanggup berkata. Merasa enggan melanjutkan ucapannya karena teringat kejadian kemarin. Dengan perlahan Zulfa duduk di sebelahnya, ia mencoba mengusap pelan lengan Nafisah. "Udah udah gak usah di lanjutin. Kalau sakit, lebih baik di luapkan. Ada aku yang bisa menjadi pendengar. Apalagi kita sama-sama perempuan." "Dulu, waktu aku SMA kelas 2. Aku di jebak temanku, aku di jual sama pria hidung pelan." "Ya Allah Nafisah.." Kedua mata Zulfa terbelalak. "Terus, banyak hal yang berubah setelah itu. Aku di cap sebagai pelakor sama istri p****************g itu." "Waktu kejadian itu, kamu benar-benar nggak tergolong?" Nafisah menggeleng lemah. "Bahkan di saat aku bekerja sebagai guru privat pun, aku sempat menyukai seorang pria. Kami hampir menikah. Tapi gak jadi, keburu keluarga mereka menganggap aku wanita nggak baik." "Setelah menikah, ku pikir aku akan menemukan cinta sejati. Tapi ternyata sebaliknya. Aku di poligami ketika aku koma. Aku melawan penyakit kanker stadium akhir, aku berjuang di antara hidup dan mati. Tapi kenyataannya? Dia mengkhianatiku, Zul." Zulfa tak kuasa menahan sedih. Akhirnya ia memeluk Nafisah dengan pelan. "Kamu yang sabar, ya. Aku yakin di dunia ini nggak semua laki-laki itu jahat, kok. Di masalalu kamu hanya di pertemukan dengan orang yang tidak tepat. Bukankah langit tidak selamanya mendung?" "Zul.. " "Ya?" Nafisah melepaskan pelukannya pada Zulfa. "Aku ini janda. Usia aku 30 tahun. Kenapa masih saja banyak pria yang mendekatiku?" "Aku tidak tahu." Zulfa menghendikkan bahunya. "Menikah lagi atau tidak, itu pilihan kamu. Kamu yang lebih tahu tentang hatimu.." "Lagian ini ya, kalau di lihat dari fisik. Ya emang sih, umur boleh 30 tahun. Tapi kalau jujur, badan kamu kayak anak 20 tahun loh. Secara, kamu kan pernah bilang kalau kamu waktu menikah belum sempat hamil dan melahirkan. Ya masuk akal sih, kalau body masih kayak anak gadis. Apalagi kata Hanif kamu itu tipe wanita yang jaga pola makan, kesehatan, rutin olahraga setelah sakit medis. Jelas deh awet muda. Nih ya, kalau kamu nyamar jadi anak kuliahan semester 1, masih cocok. Beruntung banget sih wajah babyface." Akhirnya Nafisah tertawa. Ia sadar kalau Zulfa sedang menghiburnya. "Kamu sama kayak Si setan itu. Raja gombal." "Loh aku serius. Lillahita'ala, Naf!" "Terserah deh serah.." "Naf?" "Hm?" "Luka bisa saja hilang, asal bertemu dengan orang yang tepat. Dan aku yakin orang itu ada. Cuma kitanya aja yang belum di pertemukan." Nafisah menggeleng lemah. "Aku sudah lelah. Aku menyerah. Serapuh itu diriku karena takut sama persoalan cinta." Keduanya pun akhirnya terdiam. Namun, di sisi lain, Hanif mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Sejak kemarin ia menahan amarah dan kini sedang mengikuti mobil Daniel dari belakang. Begitu pria itu menelusuri jalanan sepi, saat itu juga Hanif memblokir jalannya. Daniel mengerutkan dahinya. Ia tersenyum meremehkan. "Ck, bocah itu. Nyalinya besar juga.. " Tanpa diduga Daniel mengeluarkan pistol, ia menatap Hanif dari dalam mobil dengan tatapan amarah.. **** Nah nah.. Jangan sampai..jangan sampai..? Makasih ya sudah baca. Jgn lupa beri vote ☺ Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD