Chapter 16

861 Words
Dengan cepat Hanif mengendarai motornya setelah mengetahui ada notip panggilan tak terjawab dari Nafisah. Hanif menyesal, kenapa ia tidak langsung mencharger ponselnya di kantor begitu lowbat. Kalau saja ia tidak ingat kejadian tadi pagi yang katanya si setan Daniel itu akan datang bertamu ke rumahnya, maka ia tidak sepanik ini begitu tidak merespon panggilan telepon dari Nafisah. "Moga Nafisah nggak kenapa-kenapa." Saat ini jam sudah menujukkan pukul 20.00 malam. Hanif mengendarai motornya dengan kecepatan sedikit laju. Ciittttt!!! Tiba-tiba Hanif mengerem motornya secara dadakan. Ia membuka kaca helm nya. Terkejut karena ada seseorang yang menyebrang secara tiba-tiba. "Ya Allah, Nafisah?" Untung saja di belakangnya tidak ada pengendara lain. Buru-buru Hanif menepikan motornya bersamaan dengan Nafisah yang ikut menepi. Napas Nafisah tersenggal. Ekspresi wajahnya jauh dari kata baik-baik saja. "Hampir aja aku tabrak kamu. Lagian kenapa sih, nyebrang jalan pakai nggak lihat kanan kiri? Kamu nggak apa-apa kan?" "Iya.. Aku.. " Nafisah terduduk lemas. "Aku baik. Maaf ya.." "Lah, ini bawa koper. Mau nginap berhari-hari di rumah Zulfa? Yakin dia nggak keberatan?" "Aku nggak jadi nginap di rumah dia." "Kenapa?" "Barusan dia telepon aku. Tiba-tiba ada keluarganya yang meninggal dan harus pergi keluar kota malam ini juga. Jadinya aku nggak jadi kesana." "Terus, ini bawa koper mau kemana?" "Aku mau pulang." "Pulang? Kan rumah kamu disini.." "Iya, selama 5 tahun. Tapi sekarang aku harus pindah. Hati ku butuh penyembuhan karena terluka lagi. Aku nggak bisa terus terusan berada di sini kalau lagi-lagi terluka." Hanif menatap Nafisah dengan curiga. "Apakah penyebabnya dia?" Nafisah tak menjawab. Ia berusaha menahan air matanya agar tidak keluar saat ini juga. "Mas aku mau pamit pergi dulu. Jadwal pesawatku besok pagi jam 6. Sekarang aku mau ke penginapan. Bermalam disana untuk malam ini." "Tapi-" "Assalamu'alaikum." Bertepatan saat itu taksi online menepi di sebelah Nafisah. Nafisah memasuki mobil tersebut dengan raut wajah terluka. Setelah kepergian Nafisah, Hanif mengepalkan kedua tangannya. Ia harus cepat-cepat pulang menemui orang tuanya. **** Dengan kesal Sofia mematikan ponselnya. Selain pekerjaannya yang menumpuk, Daniel juga tak bisa di hubungi. Akhirnya Sofia memilih pulang dan melanjutkan revisi naskah penulisnya di rumah. Sesampainya di lokasi perumahan, Ia melihat banyaknya anak-anak berpakaian muslim bermain dan bercengkrama didepan teras mesjid. Seketika ia teringat Farras, Sofia langsung mengeluarkan tas canvas yang waktu itu pernah di pinjamkan padanya. "Aku harus mengembalikan ini padanya." Dengan ragu ia menuju mesjid tersebut. Sofia terlihat kaku dan gugup. Untuk pertama kalinya ia melangkah sedekat ini ke tempat ibadah orang muslim. Begitu melihat Farras berada di dalam mesjid, Sofia merasa lega. Namun secepat itu raut wajahnya berubah. "Daniel? Apa yang dia lakukan disana?" Terlihat Daniel sedang belajar mengaji huruf hijaiyah iqro 1. Sementara tanpa ia sadari banyak anak gadis terkesima dan tersipu-sipu di sekitarnya melihat bule tampan yang mualaf dan sedang belajar mengaji. "Untuk malam ini sampai di sini dulu. Nggak kerasa, sebentar lagi iqro 2. Semangat belajar ya, Daniel." "Terima kasih Ustadz Farras." "Jangan panggil saya Ustadz." senyum Farras lagi. "Saya bukan Ustadz seperti yang kamu kira. Saya hanya guru mengaji di komplek ini." Daniel hanya tersenyum sungkan. Tanpa sengaja tatapan Farras tertuju pada Sofia diluar sana. Buru-buru Sofia pergi. "Oh iya, sejak kapan kamu mualaf?" "Baru 2 mingguan." "Ah berarti baru saja." "Iya, Ustadz," "Farras, jangan Ustadz." Daniel tertawa. Ia pun memperhatikan jam di pergelangan tangannya. "Maaf Farras, saya izin pamit pergi dulu. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Setelah melihat apa yang terjadi. Air mata tak dapat lagi di bendung Sofia. Sofia merasa kalau saat ini Daniel begitu jauh dengannya. "Sekarang aku mengerti. Kenapa kau menjauhiku.." **** P ak Gani baru saja meminum obatnya. Obat kolestrol yang menjadi konsumsi hariannya selama 1 tahun belakangan ini. Suara pintu terketuk. "Hasan, tolong buka pintunya. Ada orang yang mengetuk pintu." Pak Gani terbatuk sambil memegang dadanya. Ia baru saja menyuruh putra bungsunya untuk membuka pintu. Pak Gani mengerutkan dahinya, tidak ada sahutan apapun dari suara Akmal Maka Ia pun terpaksa berdiri dan keluar kamar. Ternyata si bungsu sudah membuka pintunya dan berdiri di sana. "Pah, ada Kakak datang." "Kakakmu? Nafisah?" Akmal mengangguk. Nafisah pun masuk dengan raut wajah senyum penuh kerinduan. Padahal sebenarnya ia menyembunyikan rasa sedihnya. "Ya Allah putriku. Alhamdulillah kamu datang. Papa begitu merindukanmu. Bahkan Papa kesepian." "Jadi aku nggak dianggap nih, Pah?" sela Akmal tiba-tiba. Padahal selama ini ia yang menemani sang Papa semenjak Kakaknya itu pindah ke luar kota. "Tetap dianggap lah. Maksud Papa, selama Nafisah nggak disini, rumah kita rasanya sepi." Nafisah tertawa pelan. Sementara Pak Gani sejak tadi terus menoleh ke arah pintu. "Kamu sendiri?" "Iya, sendiri. Memangnya sama siapa lagi?" "Suami kamu?" "Ha?! Suami? Maksud Papa?" "Bang Daniel lah, Kak. Loh ada apa sih ini?" Akmal pun langsung mendekati keduanya. Tatapannya mulai curiga. "Pah, Kok Kakak kayak orang bingung? Jangan bilang kalau Kakak belum tahu dan-" "Assalamu'alaikum." Semua menoleh ke arah pintu. Daniel datang sambil membawa koper di tangannya dan melepas kacamata hitam yang tersemat di hidung mancung nya. **** Muncul lagi muncul lagi ?? Mau heran, tapi ini Daniel. Siap-siap perang Dunia ke tiga habis ini ? Makasih sudah baca. Maaf ya kemarin gak update, karena sibuk bikin konten YouTube anak aku hhe. Boleh dong, mampir ke channel nya  Ns Kids Official ? eakk promosi ? With love Lia Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD