Chapter 3

1062 Words
Sofia terdiam menatap mobil box yang kini terparkir di halaman rumahnya. Dua orang pria terlihat bolak-balik mengambil puluhan pakaian baru yang belum buka bungkus dari dalam mobil box kemudian memasuki rumahnya. "Sebanyak ini?" Daniel tersenyum lebar. Ia menatap sofia di sebelahan. "Itu semua buatmu." "Aku tidak mau memakainya." "Terserah. Tapi aku yakin suatu hari kamu membutuhkannya." Daniel pergi melalui Sofia. Sofia pun ikut masuk dan menatapnya dengan curiga. "Akhir-akhir ini kamu terlihat aneh." "Maksudmu?" "Kamu ada menyukai wanita di kota ini?" Daniel terdiam sejenak. Ia membuka kulkas dan mengambil minuman kaleng soda. "Menurutmu?" Sofia memutar bola matanya dengan jengah. Ia bersedekap menatap Daniel yang terlihat santai. Sementara Daniel sudah duduk di kursi meja makan sambil menenggak minumannya dengan nikmat. "Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan akhir-akhir ini. Tapi aku harap kamu bisa waspada. Bisa saja orang yang kamu dekati justru malah membahayakan kita." "Jangan khawatir. Aku tahu apa yang harus aku lakukan." "Aku tidak yakin.." "Jangan bilang kamu... " Daniel berdiri dan mendekati Sofia. Ia berdiri menjulang di hadapan wanita itu. Sofia tetap bersedekap. Mendongakkan wajahnya menatap Daniel. Teman kecil yang sangat baik dan selalu melindunginya dari apapun. "Apa?" "Cemburu?" Sofia mengerutkan dahinya. Detik berikutnya ia tertawa dan secepat itu mendorong d**a bidang Daniel hingga pria itu mundur ke belakang. "Jangan konyol. Aku akan menganggapmu pahlawan sampai kapanpun." "Baguslah. Aku akan memang selalu melindungimu, Sofia. Tidak ada siapapun yang boleh melukaimu." "Jangan lupa masak. Aku lapar!" "Kamu wanita. Bukankah itu tugasmu?" "Aku tidak bisa melakukannya." "Ck, dasar anak manja." Sofia menghedikkan bahu tidak perduli. Ia berlalu memasuki kamarnya. Sejenak, Daniel terdiam. Ia menatap ke sekitarnya. Sudah hampir 1 bulan ia menempati rumah ini. Rumah bergaya minimalist dengan banyak tetangga di sebelahnya. "Nafisah. Aku pindah kesini karena dirimu.. " **** Suasana makan malam terlihat damai dan tenang. Hanya dentingan suara sendok dan piring yang terdengar. Sementara itu, Hanif terlihat fokus mengunyah makanannya. Tak banyak bicara seperti biasanya. Kedua orang tua Hanif sampai heran di buatnya. "Aku sudah selesai makan.." Hanif berdiri setelah meminum segelas air. "Tunggu." sela Fiza, Ibu kandung Hanif dengan heran. "Ya, Bu?" "Kamu kenapa? Pulang dari kerja tadi sore tiba-tiba sifat kamu berubah." "Berubah? Perasaan Hanif biasa aja deh, Bu." "Nggak. Ibu yakin pasti ada apa-apa nih." "Nafisah.. " Bu Fiza menoleh ke arah keponakan suaminya. "Ya, Bude?" "Mas mu ini kenapa?" Nafisah mengerutkan dahinya. "Lah saya nggak tahu, Bude." "Dah Bu, dah.. Sudah malam. Hanif ngantuk. Hanif mau ke kamar duluan.. " Maka Bu Fiza dan suaminya bernama Pak Ali hanya bisa diam. Keduanya juga merasa bingung. Biasanya, Hanif itu suka banyak bicara kalau keluarga mereka sedang berkumpul dan berhadapan di meja makan yang sama. "Nafisah?" sela Pak Ali tiba-tiba. "Ya, Pak de?" "n****+ kamu bagaimana? Lancar menulisnya?" "Alhamdulillah lancar." "Sudah di terima di penerbit?" Nafisah memaksakan senyumnya. "Em, belum Pak de. Do'ain ya, biar segera di terima dan saya bisa memiliki koleksi n****+ karya sendiri." "Aamiin ya Allah, Aamiin.." **** Hanif terdiam, ia termenung memikirkan kejadian tadi sore. Pria tak di kenal tiba-tiba datang kerumah Zulfa hanya untuk membeli semua jualan wanita itu. Tak habis pikir, semua dagangannya pula. Sebenarnya itu hal yang biasa. Anggap saja Zulfa sedang mendapatkan rezeki nomplok. Tapi yang membuatnya heran adalah, kenapa tatapan pria itu seperti ada maksud ke arah Nafisah? "Apakah dia crazy rich kota ini? Kok aku nggak pernah lihat dia ya?" "Atau dia low profil sampai-sampai aku nggak kenal sama orang itu?" "Atau aku yang kurang update?" Hanif merubah posisi tidurnya dengan berbaring ke samping. Ntah kenapa malam ini ia merasa gelisah dan tidak tenang. Hanif mencoba memejamkan kedua matanya. Dan lagi, bayangan wajah super menyebalkan Daniel yang sombong itu lagi-lagi terbayang di wajahnya. Rasanya begitu jijik. Akhirnya ia terbangun. Berdiri untuk keluar kamar. Namun ia menghentikan langkahnya. Rasanya tidak sopan kalau malam-malam begini ia mengetuk pintu kamar sepupunya di lantai bawah. "Oke, lebih baik aku Chat WA dia aja.." Hanif : "Naf, aku merasa pria tadi sore ada maksud sama kamu. Kamu nggak takut atau khawatir gitu?" Pesan terkirim. Sudah centang dua namun belum berubah warna biru yang artinya belum di baca sama si penerima. **** "Apakah diamnya Hanif tadi malam sewaktu makan malam gara-gara pria aneh itu datang ke tempat Zulfa?" Nafisah menghela napasnya. Ia terdiam menatap ponselnya yang masih menyala. Pagi sudah menjelang. Seperti biasa, ia akan memulai rutinitasnya dengan kegiatan barunya yaitu menulis n****+ fiksi. Laptop sudah ia perbaiki. Gara-gara si pria aneh itu, ia mengeluarkan dana banyak untuk memperbaiki laptopnya. Menjadi penulis pemula adalah kegiatan yang sudah Nafisah lakukan dalam kurun waktu 2 tahun belakangan ini sebagaimana pengalihan rasa kebosanannya, rasa terluka akibat masalalu yang masih ada, dan upaya menghibur hatinya agar terus menerima takdir dari Allah untuknya. Walaupun belum ada satu pun penerbit yang meloloskan naskahnya, ia yakin suatu saat ia akan berhasil. Tok! Tok! "Nafisah? Kamu didalam? Ini Bude.. " Pintu terketuk pelan, Nafisah segera berdiri dan sedikit membuka pintu kamarnya. "Ya Bude?" "Ada tamu dibawah. Cari kamu.." "Siapa?" "Bude nggak kenal. Tapi dia guantengggg rek! Putih, tinggi, terus orang bule. Konco opo calonmu iku, Naf?" "Ha?" "Sudah, sudah, cepat temuin dia. Bude mau ke dapur dulu buatin minum." Nafisah langsung menutup pintu kamarnya. Ia segera memakai khimar dengan rapi. Tapi bukannya keluar melalui pintu, ia malah nekat keluar melalui pintu jendela. Sudah ia tebak, tamu diluar saat ini adalah pria aneh yang bernama Daniel. Nafisah sudah berhasil keluar dari pintu kamar. Ia berjalan mengendap-endap melalui pekarangan samping rumah Pak de nya. Nafisah menghentikan langkahnya, tiba-tiba ujung khimarnya tersangkut dengan duri tanaman kaktus yang ada di belakangnya. "Duh, pakai nyangkut segala lagi!" Nafisah menoleh ke arah jendela ruang tamu, memastikan kalau dirinya tidak ketahuan. "Mencoba kabur?" "Astaghfirullah.. " Nafisah terkejut. Tiba-tiba Daniel muncul di belakangnya. Dengan santai ia melepaskan ujung khimar Nafisah yang sangkut pada duri-duri kaktus di belakangnya. Daniel menatap Nafisah dengan serius, tatapannya memang begitu mempesona. Nafisah membuang pandangannya ke samping. "Pangeran akan selalu datang menyelamatkan calon ratunya agar tidak mengalami kesulitan.." "Ujung penutup kepala kamu sobek. Apakah aku boleh membelikan yang baru?" "Bahkan... " Daniel masih memegang ujung khimar Nafisah. "Aku mungkin bisa menyembuhkan hati kamu yang pernah terluka melebihi rasa sakit dari duri kaktus ini.." ***** Dari awal Daniel emang suka muncul tiba-tiba ? Masya Allah Alhamdulillah. Sudah update ya. Makasih sudah baca. Sehat selalu buat kaliannn☺ Jgn lupa beri vote dan aku tunggu respon kalian di komentar part ini ? With Love❤Lia Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD