When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Mama diam, raut wajahnya datar. Lalu kembali merangkai bunga. Tidak seperti dugaanku, mama terlihat biasa saja. "Kamu sudah dewasa, kamu berhak menentukan jalan hidup sendiri. Mama dan papa hanya bisa mengingatkan ... Tapi kalau kamu tetap bersikeras dengan keinginan kamu, mama doakan, semoga kamu bahagia dengan pilihan kamu ... Kemarin mama dan papa sudah membahas soal Widi. Papa sudah angkat tangan. Papa bilang, papa tidak akan menghalagi jika kamu nekat memilih Widi menjadi suami kamu." Aku mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang terlontar dari mulut mama. Aku tidak tahu harus sedih atau bahagia dengan reaksi mama dan papa. Aku tahu mereka kecewa padaku. Sebagai anak tunggal, harusnya aku bisa membuat mereka bangga dan bahagia di hari tuanya. Tapi nyatanya, masalahku terus s