Aku hanya bisa menghela napas, rasanya tidak percaya kini aku dekat dengan orang yang telah menikahkan suamiku dengan wanita lain. Kualihkan tatapanku ke ke jendela kaca. Taman yang indah dengan air mancur ditengahnya, sejenak mengjibur luka hati yang tak pernah mengering.
"Orangtua kalian sudah tidak ada?" tanyaku menoleh. Seingatku mas Arman pernah bercerita kalau Maya dipaksa orang tuanya untuk segera menikah.
"Iya, ibu menyusul ayah setelah setahun ayah pergi."
"Menurut mas Arman, dia ingin menolong Maya karena terus didesak orangtuanya untuk menikah!"
"Maya bilang begitu?"
"Hm, begitu yang kudengar dari mas Arman."
"Benar, sebelum meninggal, ibu ingin melihatnya menikah. Tapi sayang, sebulan sebelum maya menikah, ibu keburu meninggal."
"Apa sebelum menikahkan mas Arman dengan Maya, mas Widi tidak tanya dulu, status lelaki yang melamar adik mas Widi?"
"Aku tidak berpikir ke sana. Aku percaya dengan pilihan Maya. Dia pasti sudah tahu siapa calon suaminya. Jadi aku tidak lagi bertanya ini itu."
"Huff," sesalku menghempaskan napas, melonggarkan sesak di d**a.
"Maafkan aku, Nay. Aku tidak tahu jika Arman sudah beristri bahkan punya anak."
Naya diam. Mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Waktu tidak akan pernah bisa mundur sekadar untuk memperbaiki keadaan.
"Kamu masih mencintai mantan suami kamu itu?" tanya mas Widi menatapku lekat.
Aku diam, lalu meraih botol air mineral milikku, lalu meneguknya.
Aku hanya mengedutkan bahu menjawab pertanyaan lelaki yang kutebak usianya sekitar empat puluh lima tahun itu.
Mas Widi tersenyum tipis, aku tidak tahu apa arti senyum. Mungkin aku tampak begitu menyedihkan. Tapi tak bisa kusembunyikan rasa di hatiku. Aku masih mencintai mas Arman. Sekuat apapun aku berusaha melupakannya, wajahnya selalu hadir menemani malamku.
Mas Widi menarik napas dalam, keningnya berkerut. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Yang jelas, aku ingin dia tahu ada luka yang teramat dalam di hatiku karena kecerobohannya menikahkan mas Arman dengan Maya.
"Besok malam, kamu jadi menemaniku, kan?"
"Sebenarnya saya tidak ingin terlibat terlalu dalam masalah pribadi dengan Mas Widi, apa lagi setelah tahu mas Widi adalah kakak kandung Maya. Tapi jika mas Widi sangat memaksa, saya tidak keberatan menemani mas Widi, tapi hanya untuk sekali ini saja."
"Oke, thanks, Nay. Lain kali aku tidak akan memaksa lagi. Aku tahu ini berat untu kamu. Walau sejujurnya, sejak pertama kali kita bertemu, aku menaruh harapan sama kamu."
Aku menunduk, berusaha menyembunyikan wajahku. Andaikan dia bukan kakak kandung Maya, mungkin aku tidak keberatan mengenalnya lebih dekat. Membuka kemungkinan untuk meniti jalan bersama. Tapi saat ini, sepertinya tidak mungkin.
"Pak, apa syuting sudah bisa kita lanjutkan lagi?" tanya asisten sutradara yang datang mendekat.
"Oke, lanjut saja." jawab Mas Widi memgangguk.
"Nay, apa menurut kamu, kita punya jalan untuk ... Melangkah bersama?" lanjut Mas Widi hati-hati. Sorot matanya sayu menatapku.
Aku diam, lalu menggeleng perlahan. "Maaf, Mas. Saya tidak ingin membicarakan masalah pribadi. Saya kira kita sudah sama-sama paham situasinya tidak memungkinkan."
"Huuufff," kulihat wajah mas Widi kusut, berkali-kali ia menghela napas dalam.
"Maaf, mas," ujarku serba salah.
"Tidak apa-apa, Nay. Bukan kamu yang pertama yang menolakku. Ini kali kedua aku harus rela melepaskan wanita yang mampu menggetarkan hatiku di usia yang tak lagi muda ini..."
Aku hanya diam. Tidak menanggapi ucapan mas Widi. Walau kasihan, tapi rasanya tidak mungkin aku menyambut cintanya.
***
"Ma, kita mau kemana?" tanya Bian yang heran melihat kami berdandan rapi.
"Ke acara keluarga Om Widi."
"Yeiii, main lagi sama Om Widi." teriak Bian gembira.
Aku mengusap puncak kepalanya, lalu melanjutkan merapikan jilbabku.
"Assalammualaikum," terdengar suara Mas Widi mengetuk pintu.
"Biar Bian yang buka, Ma," ujar Bian bergegas lari ke luar kamar.
Aku mempercepat berdandan. Setelah memastikan penampilanku rapi, aku segera keluar menyusul Bian.
"Mas Widi sudah datang?" tanyaku basa basi.
"Sudah," sahutnya tersenyum. Aku sedikit tidak nyaman melihat tatapan mata mas Widi. Mata itu seolah sedang merayuku.
"Bisa berangkat sekarang?" tanyanya seolah tak berkedip menatapku.
"Bisa, Mas." jawabku mengangguk sembari menutup dan mengunci pintu.
"Ada acara apa, Mas. Sepertinya spesial banget?" tanyaku penasaran. Sebab sejak awal mas Widi tidak mau rinci mengatakan acara apa yang akan kami hadiri.
Mas Widi diam, matanya tetap fokus ke depan.
"Nay, aku ada rencana pindah ke Malaisya. Apa itu bisa menjadi solusi untuk jalan kita agar bisa bersama?"
Oh, Tuhan. Kenapa membahas itu lagi. Lama aku diam, membiarkan mas Widi menunggu jawabanku.
"Maaf, Mas. Bukankah kita sudah sepakat tidak akan membahas masalah itu lagi?"
"Iya.... aku sudah berusaha membuang jauh keinginan untuk bersamamu, tapi aku gagal dan gagal lagi... Aku suka sama kamu, Nay.. benar benar suka sama kamu... Aku tidak akan memaksamu harus segera membalas cintaku. Tapi biarkan aku menanam cinta itu dan memupuknya di hatimu,"
Seketika darahku berdesir mendengar ucapan mas Widi. Kesal, benci, gemas, dan kasihan. Bercampur aduk di hatiku. Kutoleh ke jok belakang, memastikan Bian tidak mendengar ucap itu. Aku tidak ingin melihat kecewa diwajahnya. Dialah salah satu alasanku tidak membenci mas Arman. Aku tahu, Bian masih berharap aku dan mas Arman bersatu lagi.
Aku menarik napas lega melihat Bian tertidur pulas di belakang.
"Nay, biarkan aku menggantikan Arman di hatimu. Aku akan menjaga kalian berdua." lanjut mas Widi seolah tak mengenal kata menyerah.
"Mas, Plis. Tolong jangan bicarakan masalah ini lagi, aku belum siap."
"Lalu kapan kamu akan siap? Kapan kamu move on dari mantan suami kamu itu? Nay... Aku tahu resiko yang akan aku hadapi dengan nenikahi kamu besar. Maya pasti protes begitupun orangtua kamu. Tapi apakah kita harus mengalah demi memuaskan hati mereka?"
Aku diam, kepalaku rasanya berdenyut memikirkan semua ini.
"Maaf, Mas. Aku masih ingin menikmati kesendirianku," ucapku menolak halus keinginan mas Widi.
"Kamu tidak perlu jawab sekarang, kita masih punya banyak waktu. Aku akan sabar menunggumu. Pikirkanlah demi kebahagiaanmu,"
Aku mengangguk setuju. Mungkin dalam sama jeda itu, aku akan mencari cara lain untuk menghindari mas Widi, setidaknya setelah proyek pembuatan film novelku selesai.
Aku menarik napas dalam setibanya di sebuah kafe. Aku melihat nomer plat mobil mas Arman terparkir di depan mobil mas Widi.
"Ayo, Nay, turun. Biar Bian aku yang gendong." ujarnya membuka pintu kabin di sampingku.
"Terima kasih, Mas." sahutku sembari turun dari mobil.
Aku berjalan di belakang mas Widi yang menggendeng Bian menuju meja sebuah saung yang cukup luas. Mataku menangkap mas Arman yang hadir diantara beberpa tamu lain.