Part 32

1032 Words
Part 32 Zena membawa mereka berdua masuk ke dalam kantornya dan disanalah mereka banyak mengobrolnya tentang berbagai hal. "Jadi Malik juga ingin kerja?" tanya Zena tidak percaya kalau keponakannya itu ingin kerja juga di rumah makannya. "Iya, Bulek." Malik mengangguk sungguh-sungguh. "Apa karena ingin nemenin Cantika?" Tebak Zena, menggoda Malik yang sepertinya menyukai Cantika. "Eh enggak, Bulek." Malik menggeleng lalu melirik Cantika. Cantika hanya menaikkan sebelah alisnya menatap Malik dan kembali menatap ke Zena. "Enggak apanya." Zena terkekeh pelan. "Kenapa orang kok bilang aku suka sama Cantika? Kan aku mengajak Cantika berteman." Malik merasa bingung. "Haha iya ya, karena perlakuanmu ke Cantika itu persis kayak orang yang lagi jatuh cinta," balas Zena dengan senyuman lebarnya. "Iyakah?" Malik masih tidak sadar soal perasaannya ke Cantika. "Malik hanya mengajak saya berteman saja, Tante." Cantika ikut menjawab. "Malik mah gengsinya tinggi dari kecil. Bilangnya gak suka tapi sebenernya suka." Zena sudah hapal betul sifat Malik dari dia masih bersekolah dasar bahkan gelagat Malik pula tidak pernah berubah dari dulu. "Gitu kah? Tapi itu kan dulu, sekarang enggak kok dan lebih percaya diri." Malik menepuk dadanya. "Emang dari dulu kamu terlalu PD." "Hehe iya dong haru percaya diri, gak kayak Cantika tuh masih suka malu-malu." Malik menyindir Cantika. "Ih kok jadi gue, kan lo yang lagi diajak ngobrol sama Tante Zena." Cantika tidak terima Malik menyindirnya meski ucapan Malik ada benarnya. "Hehe sengaja mancing lo biar ngomong, diam mulu dari tadi." Malik menjulurkan lidahnya sebentar. "Kan dia emang pendiam Malik, sifatnya emang begitu si Cantika." Zena membela Cantika. "Iya masak diam mulu ih dia. Sesekali mengeluarkan suaranya gitu waktu mengobrol bareng begini." "Dih ngatur, males gue banyak omongnya gue lebih suka bertindak daripada ngomong doang tapi gak bertindak apa-apa." Sarkas Cantika. "Nah benar itu apa yang dikata Cantika, saya setuju dan acungin dua jempol." Zena mengacungkan dua jempol ke arah Cantika lalu memberikan tepuk tangan. "Bulek belain Cantika mulu ih, kan aku juga gak salah mutlak. Apa karena Malik disini cowok sendiri gitu?" Malik mendengus sebal dan bibirnya maju ke depan seperti bebek. "Ya sudah nasibmu Malik haha, tapi kan gak semua orang mau dipaksa kalau itu bukan kebiasaan kita. Seperti kamu tadi menyuruh Cantika buat mengeluarkan suaranya dan sengaja memancing dengan menyindirnya. Cantika itu menyimak obrolan nantinya dia bakal mengeluarkan suaranya sendiri jika ingin menanyakan sesuatu atau sekedar menjawab ucapan kita. Cantika juga sedari tadi bulek lihat itu fokus sama obrolan kita." Zena melirik Cantika dan tersenyum. Gadis itu memang dilihat lebih suka diam dan punya sisi rasa malu-malu kucing juga. Cantik masih lugu, santun namun dilihat lebih jelas lagi Cantik adalah sosok gadis tangguh, diusianya yang masih muda pun dirinya ingin bekerja dan pastinya beban gadis itu bukan sembarang beban biasa. Maka dari itu, Zena tidak ragu lagi menerima lamaran kerja dari Cantika karena dari sorotan mata gadis itu sudah ketebak sangat membutuhkan pekerjaan. "Iya deh ya, aku terlalu memaksa orang-orang." Malik menggosok tekuknya pelan. "Ya sudah, ini bahas soal pekerjaan ya." Zena membuka sebuah beberapa lembaram dokumen dan menyalakan komputer yang sudah terpasang di meja kantornya. "Iya, Bulek." "Iya,Tante." Mereka mengangguk bersamaan. "Jadi besok kalian mulai kerjanya tapi nih tapi." Zena membaca sebuah laporan kerja dari karyawannya. "Apa, Bulek?" tanya Malik penasaran. "Bagian kerja kalian sepertinya bakalan beda, dilihat besok bagian apa. Cuman kalau Cantika sementara bekerja di dapur dulu, mencuci piring dan membersihkan dapur." Zena menjelaskan bagian Cantika nanti kerjanya sebagai apa. "Yahh terus Malik bagian apa dong?" tanya Malik lagi dan merasa lesu bagiannya tidak sama seperti Cantika. "Kemungkinan si bersih-bersih juga cuman kalau Cantika kan di dalam nah kalau Malik itu di luar maksudnya di area tempat yang buat makannya." Zena menjelaskan lagi. "Yahh jauhan dong." Malik merasa pupus mendengar bagian kerjanya padahal Malik ingin sekali satu bagian dengan Cantika dan bisa melihat gadis itu bekerja juga dari dekat. "Katanya kamu kerja bukan karena Cantika? Kok lesu gitu gak sama bagiannya seperti Cantika?" tanya Zena merasa bingung dan menyipitkan matanya menatap Malik heran. "Ah itu emm kan saya temenan sama dia deket jadi gak mau jauh-jauh sama dia." Malik salah tingkah namun cowok itu pandi menyembunyikannya dan sesekali melirik Cantika. "Haha kan masih satu rumah makan, coba kalau salah satu dipindahkan--" Ucapan Zena lansgung dipotong oleh Malik ketika membahas dipindahkan ke rumah makan lain. "Eitsss Malik maunnya satu tempar kerja sama Cantika titik dan gak pake koma!" Malik langsung melotot membayangkan dirinya dan Cantika tidak satu di tempat kerja. "Iyakan takut sendiri haha, bilang aja gitu lho Malik kalau kamu kerja memang pengen deket sama Cantika. Gitu kok gengsi banget." Zena geleng-geleng kepalanya mengetahui sikap Malik yang gengsi kemudian melanjutkan membuka lembaran lagi. Ia membahas pekerjaan mereka sambil mengecek laporan dari karyawannya. "Ih Bulek, kan kita cuman berteman saja." Malik tetap saja tidak mengakui perasaannya yang sudah mulai suka pada Cantika. Cantika diam-diam juga mengamati gerak-gerik Malik sambil pikirannya tentu bertanya-tanya. 'Apa benar yang dibilang bulek kalau Malik suka sama gue? Tapi dia kan katanya gak mau pacaran dan ingin berteman. Tapi kalau benar Malik suka sama sama gue, gue kok jadi tambah malu sama dia ya? Please mungkin perasaan gue dan gue jangan terlalu PD dulu gue harus sadar diri, gue banyak kurangnya dan cowok kayak Malik pantesnya dapat cewek yang lebih dari gue sih. Banyak kok'---Batin Cantika. "Iya ya berteman. Tapi ingat aaja cinta datang karena terbiasa juga. Terbiasa bersama eakk." Zena tertawa saat menggoda Malik yang kini wajahnya merah bak kepiting rebus. "Bulek astaga.". "Eh wajahnya merah si Malik, coba Tik lihat wajahnya Malik. Kalau bener-bener merah." Zena menunjuk ke arah Malik dan menyuruh Cantika pula melihat Malik. Wajah Malik sangat merah sampi ke leher dan Malik kebingunan ditatap oleh dua wanita dengan raut wajah yang berbeda. "Apa? Wajah merah?" Malik tidak paham maksud ucapan Bulek dan memegang wajahnya sendiri. "Nih coba mengaca dulu." Zena menunjukan kaca yang diletakkan di atas meja bagian pojok. Menyuruh Cantika mengambilnya dan memberikan ke Malik. Malik pun mulai mengaca dan kaget sendiri melihat wajahnya yang memerah. "Kok merah ya." "Kalau kamu gugup kan emang langsung merah begitu." "Ah enggak bulek, mungkin efek habis makan sambel." "Mana ada sambel disini?" "Ya ya anu itu." Malik gugup sendiri dan bingung membalas dengan kata-kata apa lagi. "Kenapa Lik?" Kini giliran Cantika yang bertanya. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD