Part 9

4006 Words
PART 9 "Terima kasih tante." "Sama-sama." Zena tersenyum saat teman-teman Malik mencium tangannya dan pamit pulang duluan. "Duluan guys!" Pamit Zidan Dan Vardo. Zidan bertatap sekilas dengan Cantika dan lelaki itu malah menjulurkan lidahnya bermaksud meledek Cantika. Cantika hanya membalas senyuman tipis saja walau ingin rasanya menghajar cowok tengil itu. Namun Cantika tidak sembarangan menghajar orang Sedangkan Zena, Malik dan Cantika masih di area parkiran mobil. Zena memberikan beberapa makanan ringan juga kepada Malik dan Cantika. "Jadi budhe bulan depan gak di rumah?" tanya Malik memastikan. "Iya, Malik. Bulek sama Paklek juga bareng ke luar kota. Jadi bulek minta tolong ke kamu, jaga si kembar ya dan sering-sering kamu periksa keadaan si kembar di rumah. Hanya kamu yang bulek percaya dan andalkan." "Siap, Bulek. Ini sudah tugas Malik menjaga adik-adik Malik." Malik mengangguk paham. Jika dia di posisi Zena dipastikan dirinya akan mengkhawatirkan anak-anaknya saat ditinggal pergi jauh. Apalagi si kembar masih kecil dan selalu meminta ada keluarganya disisinya. "Maaf ya kalau bulek selalu ngerepotin kamu." Zena sebenarnya merasa tidak enak pada Malik namun si kembar lebih memilih dijaga oleh Malik dibanding dijaga oleh para pengasuh dan bodyguard. "Tidak apa, Bulek. Justru Malik senang banget bisa bantu bulek dan Malik juga memang sayang sama si kembar. Malik ingin menjaga mereka dengan baik dan penuh kasih sayang," balas Malik dengan senyuman bersahaja. "Terima kasih banget ya, Nak." Zena memeluk Malik sebentar saking terasa harunya mendapatkan ponakan yang baik hati dan memiliki rasa kasih sayang yang sangat tulus kepada anak-anaknya. Inilah yang membuat Zena tidak ragu meninggalkan Salma dan Silma serta menitipkan mereka kepada Malik. "Sama-sama, Bulek." Malik juga senang menjadi oranh yang dapat diandalkan oleh orang lain. Ia berusaha sebaik mungkin menjaga si kembar sesuai amanah yang diberikan oleh Zena kepadanya. Malik tidak mau mengecewakan buleknya tersebut. "Ya sudah bulek pergi dulu ya, duluan ya Tika. Kamu banyak diamnya." Zena menepuk lembut pipi Cantika dan Cantika tersenyum sopan sambil mengangguk. "Iya, Tante. Hati-hati di jalan." Jawabnya. "Hati-hati bulek!" Malik melambaikan tangannya mengarah ke mobil yang ditumpangi oleh Zena. Setelah mobil yang ditumpangi Zena telah menghilang dari pandangan mereka kini mereka tak sengaja berhadapan dan hampir saja tubuh keduanya bertabrakan. "Oh maaf." Malik mengangkat tangannya saat Cantika mundur satu langkah. "Sedekat itu lo sama si kembar dan ibunya?" tanya Cantika penasaran. "Iya, Cantik." "Enaknya punya keluarga banyak." Gumamnya dan Malik masih bisa mendengar suara Cantika baru saja. "Iya, enak juga. Saudara gue ya gitu masih kecil-kecil hehe apalagi adik-adik kandung gue masih kecil semua." Malik menggaruk tekuknya yang tak gatal. "Ah enaknya, gak sepi." Cantika tersenyum tipis. "Iya enak, gak enaknya cuman sering gak nurut gitu dan ekstra lebih sabar lagi. Untung gue sudah terlatih dari kecil karena suka anak kecil." Malik menepuk dadanya dan merasa bangga pada dirinya sendiri yang sudah terlatih kesabarannya. "Gue gak percaya lo sesabar itu." "Haha pastinya orang yang belum kenal gue lebih deket bilangnya begitu. Enak kok berteman sama gue lagian temen lo juga cuman satu doang." 'Ya gak masalah kan punya temen satu yang terpenting dia baik hatinya dan dapat dipercaya. Daripada punya banyak teman tapi munafik." Cantika berjalan mendahului Malik dan menuju parkiran motor. "Ya yah benar sih." Malik berlari kecil menyusul langkah kaki Cantika. "Suka banget ninggal-ninggal deh lo." Malik mendengus dan keduanya tiba di parkiran motor. Untung saja motor Malik tidak begitu jauh dan hanya beberapa langkah saja kini mereka berada dj sebelah motor matic milik Malik tersebut. "Gue ada urusan setelah pulang ini," jawab Cantika yang tampak tergesa-gesa. "Urusan apa?" tanya Malik penasaran. "Intinya ada urusan. Ayo la cabut!" Ajak Cantika pada Malik dan tidak sabaran ingin pulang segera. "Ya deh." Padahal Malik sangat penasaran sekali apa yang membuat Cantika tidak sabaran untuk pulang sekarang. Setelah mengantarkan Cantika pulang sampai ke rumah dengan selamat. Malik juga pulang ke rumah dan disambut adik- adiknya yang kegirangan mengetahui dirinya telah pulang ke rumah. "Uhh para princessnya kakak ini. Sudah mandi semua kah?" Malik berlutut, menyamakan tinggi adik-adiknya dan kedua adiknya tampak sama-sama tersenyum lebar menatapnya. "Sudah kakak," jawab Aisyah dan Syabil bersamaan sambil menganggukan kepalanya. "Kalau sudah mana buktinya." Malik menggoda adiknya dan modus ingin dicium oleh adik-adik yang sudah mandi. Aroma bedak bayi yang menguar itu sangat membuat Malik begitu nyaman dan Malik menyukai aroma tersebut. "Ini mwah." Aisyah lansung menciumi wajah kakaknya dan Malik pun juga membalasnya dengan menciumi wajah adiknya bahkan mendekap adiknya sebentar. "Syabil, cium kakak dong." Malik menunjukkan pipinya kepada Syabil. Syabil hanya tertawa terbahak-bahak melihat wajah konyol kakak tertuanya itu ketika merajuk ingin dicium. Malik yang gemas mendengar sura gelak tawa adiknya itu, ia menciumi segera dan mengunyel-unyel pipi gembulnya. Selanjutnya Malik pamit keluar rumah sebentar walau adiknya sempar merengek mengetahui dirinya tinggal dan dengan cepat Malik kembali masuk ke dalam rumah sambil membawa sekantong plastik. "Kakak bawa jajan juga nih. Mau?" Malik menunjukkan makanan cemilan dari Zena kepada adik-adiknya yang hampir menangis ditinggal sebentar tadi. "Jajannya enak gak?" tanya Aisyah penasaran. "Enak lah, sini duduk." Malik mengajak kedua adiknya di ruang keluarga dan duduk santai di atas karpet. Malik membukakan jajan pertama untuk Aisyah dan kedua untuk si bungsu. "Mamam." Syabil memakan cemilan dari Zena dengan lahapnya bersama Aisyah. Malik tak membiarkan memori ini terlewati begitu saja dan diam-diam Malik memotret mereka yang sedang makan dan menonton televisi serial kartun sore ini. "Kakak belum mandi, bau." Aisyah mengendus-endus ke tubuh Malik. "Iya sudah kakak mandi dulu ya." "Iya kakak." Malik beranjak berdiri dan sesuai perintah Aisyah, Malik langsung bergegas mandi. ... "Baru pulang, Tika?" tanya Puji ketika mendengar suara pintu terbuka dan gerak-gerik seseorang yang baru saja masuk ke dalam rumah pula sudah ketebak dialah putrinya. "Sudah, Bu." "Jam berapa emang sekarang?" "Jam 5 lebih, Bu." Cantika pamit mandi dulu karena sudah sangat sore bahkan memasuki waktu malam. Setelah beberapa menit kemudian, Cantika kembali menghampiri ibunya dan ikut duduk di sampingnya. Cantika juga membawa peralatan makan seperti piring, mangkuk, sendok dan garpu. "Sore banget pulangnya." Puji sedang duduk di ruang tamu dan sedari tadi menunggu kepulangan anaknya dari sekolah. "Tadi pulang sekolah diajak Malik makan bareng sama teman-temannya juga." Cantika juga merasa bersalah membuat ibunya merasa cemas, tapi apa daya ia tak memiliki ponsel untuk berkomunikasi dengan ibuknya dari jauh. "Syukurlah kamu sudah makan, ibu khawatir tadi soalnya kalau kamu sudah gak lagi ikut taekwondo dan belum juga pulang sampai sore." "Maaf ya, Bu. Aku janji kalau aku dah dapat uang, aku bakalan beli hp buat ibu biar gak sekhawatir ini." Cantika langsung memeluk ibunya dan bersender di pundak Puji. Posisi ini adalah posisi ternyamannya saat didekat ibunya. Tangannya mengenggam tangan Puji. "Ini salah ibu, kamu gak salah kok nak." "Tetap salah aku, Bu. Aku jadi anak gak ada gunanya." "Hust, jangan bilang begitu! Ibu sayang kamu, makanya khawatir gini. Meski ada hp atau enggaknya, tetap saja ibu mengkhawatirkanmu kalau gak ada di rumah dan kamu mau dapat uang dari mana?" Puji mengernyitkan dahinya bingung. "Aku." Cantika baru sadar keceplosan dan membekap mulutnya. 'Aduh'---Cantika meruntuki dirinya. Tidak menata dulu ucapannya baru mengatakannya kepada sang ibu. "Cantika jawab jujur ke ibu, apa maksud ucapanmu tadi?" "Emm sebenarnya aku sedang mencari pekerjaan." Cantika duduk tegap dan menundukkan wajahnya. Kedua tangannya memilin ujung bajunya. "Kamu mau bekerja? Bukankah setiap hari kamu dititipkan barang dagangan dari tetangga, gak cukup nak?" tanya Puji lagi. "Bukan masalah ga cukup atau cukup, Bu. Cantika memang ingin bekerja," jawab Cantika yang lama-lama tak bisa berbohong kepada ibunya. "Tapi kamu masih sekolah dan bisa menganggu aktivitas sekolahmu." Puji mencemaskan hal itu. "Iya, Bu. Cantika tau itu salah tapi Cantika ingin bekerja karena aku ingin juga menabung." "Iya, ibu mengerti maksudmu. Tapi kamu masih sekolah. Memangnya kamu tidak merasa terganggu ketika kamu bekerja lalu mengerjakan tugas sekolah?" Puji menghela napasnya pelan. "Aku berusaha bisa membagi waktu. Bu, tolong beri aku kepercayaan soal pekerjaan dan aku bersungguh-sungguh ingin bekerja keras di samping aku sekolah juga. Aku ingin menabung uang hasil kerja kerasku dan kebutuhan selanjutnya akan lebih banyak." Cantika lebih memilih bekerja saja selama bisa pulang ke rumah sedangkan sewaktu menjadi atlet, dirinya jarang pulang ke rumah bahkan sering meninggalkan ibunya ke luar sendirian di rumah dan Cantika selalu mencemaskan hal itu. "Tapi kamu harus jujur sama ibu, cerita apa saja soal pekerjaanmu dan carilah pekerjaan jangan terlalu berat. Tidak apa gaji sedikit, jangan mengeluh dan sadar saja kamu masih SMA. Kalau sudah dapat pekerjaan, ingat pesan ibu ini yaitu jadilah orang yang jujur dan hormatilah bos, sebaik atau sejelek apapun sifat dan sikapnya. Terimalah karena dia yang memiliki lapangan pekerjaan itu." Puji meraih tangan putrinya dan menggenggamnya. Memberikan kekuatan positif dari tangannya dan berharap putrinya menjalankan sesuai pesan darinya. "Iya, Bu. Cantika akan berusaha semaksimal mungkin menunjukkan hal terbaik kepada ibu. Aku ingin suatu saat ini bilang gini ke ibu, ini lho anak ibu yang suskes memegang toga dan selalu mendapat prestasi di kampus ini. Aku bersungguh-sungguh ingin kuliah dan dari sini aku ingin menabung karena akh sadar keperluan di masa depan itu banyak. Jika begini terus, kapan aku harus maju? Kita tidak seterusnya mengandalkan orang lain dan kalau bisa berjuang di atas kaki kita sendiri bukan orang lain." Cantika tersenyum meski Puji tidak bisa melihat lagi raut wajah ceria dan senyuman manis putrinya itu. Puji merasa, Cantika sekarang memasang wajah dan senyum seperti Cantika di waktu masih bocah dulu. Bohong jika Puji tidak ingin matanya bisa melihat lagi, justru Puji berharap besar bisa memandang wajah cantik putrinya yang sudah remaja dan ia sangat yakin sekali Cantika bak seorang dewi, kecantikannya yang berasal dari doanya dan namanya itu. Walau sekilas dulu teringat, wajah putrinya mirip sang ayah. Sosok ayah kandung Cantika yang telah menyia-nyiakan Cantika dan membuangnya serta membuang putrinya ke tempat menyakitkan. Haruskah sosok itu disebut ayah? Bertanggung jawab pun tidak dilakukan oleh pria itu. Pria yang membuatnya marah dan menangis dalam waktu bersamaan. "Bu, Ibu." Cantika menggoyangkan pelan tubuh ibunya saat ibunya diam dan sedikit mengeluarkan air bening di ujung matanya. "Eh iya, Nak. Maaf ibu melamun." Sadar dari melamun, Puji tersenyum dan meminta maaf kepada sang anak yang telah menunggunya namun Puji meninggalkan sebentar, memikirkan seseorang yang telah menyakitinya bertahun-tahun. 'Pasti ibu memikirkan ayah'---batin Cantika yakin sekali di dalam hatinya. "Iya, Bu. Oh ya, ini Cantika dibawain makanan cemilan sama buleknya Malik dan Malik juga membelikan ibu makanan." Cantika sekarang sedang menata makanan dan sebagian cemilan dimasukkan ke dalam toples seadanya. "Wah, sudah bilang terima kasih banyak ke buleknya Malik kah? Semoga rezeki orang baik terus lancar dan diberikan kesehatan sekeluarganya." "Aamiin, sudah Bu." "Anak tampan itu membelikan ibu makanan?" tanya Puji heran. "Iya, Bu. Sebenarnya aku yang ingin membelikan ibu makanan ini tapi makananya pada mahal-mahal semua dan aku gak mampu membelikan ibu makanan ini. Anehnya Malik langsung peka dan menyuruhku memesan makanan yang akan dibawa pulang untuk ibu." Cantika juga merasa tidak enak pada Malik dan buleknya yang begitu baik kepadanya bahkan memberikan makanan sebanyak ini. Cantika merasa berhutang budi dan suatu saat nanti bisa membalas kebaikan mereka. "Benar-benar anak tampan dan baik hatinya. Hati ibu tersentuh, terima kasih ya Tuhan, putriku di kelilingi orang baik dan menyayangi putriku juga. Terima kasih kuucapkan pada Engkau Wahai Tuhanku." Puji mengadahkan tangannya pada Sang Pencipta dan sangat merasa bersyukur sekarang bisa mendapatkan rezeki yang melimpah sekarang ini. Cantika memeluk ibunya lagi dan tidak lupa mengucapkan rasa syukurnya atas rezeki yang melimpah ini. "Ibu kok tau dia cowok tampan?" Cantika akui Malik sangat tampan dan tidak membosankan jika dipandang lebih lama. Namun tatapannya yang lekat itu membuatnya deg degan setengah mati sehingga Cantika tak bisa lama-lama memandang wajahnya Malik. "Ibu mengatakan itu karena hatinya yang baik. Wanita baik akan disebut cantik dan begitu dengan lelaki yang baik disebut tampan. Seseorang cantik dan tampan jika orang itu melakukan hal kebaikan di dalam kehidupannya. Fisik cantik dan ganteng itu hanyalah bonus dari Tuhan dan tetap saja bersyukur itu utama. Gak ada yang jelek fisiknya dan yang ada itu jelek sifat dan sikapnya. Jika tidak kunjung diperbaiki sikap dan sifat jelek itu ya kapan bisa merubah diri kita ke yang lebih baik. Hmm semua itu tergantung pada manusianya sendiri," ujar Puji menjelaskan panjang dan lebarnya sesuai hati dan pikirannya. "Benar, Bu dan Cantika sangat setuju dengan perkataan Ibu. Cantika ingin dianggap cantik karena sifat dan sikapku sendiri." "Berbuatlah baik tanpa meminta balas budi, Nak." "Ah iya, Bu." "Ya sudah, ayo makan!" ajak Puji pada anaknya. "Cantika sudah kenyang, biarlah ibu yang makan dan Cantika yang suapin ibu sekarang." "Sebenarnya ibu bisa makan sendiri." Puji menolak halus dan tidak mau membebani putrinya. "Halah, Ibu gitu kan Cantika selalu ingin melayani ibu sepenuh hati Cantika." "Putri ibu yang cantik dan cantik hatinya." Puji meraba ke sekita dan ingin menyetuh kepala Cantika. Cantika menuntun tangan ibu dan Puji tersenyum lembut lalu mengusap rambut putrinya. "Putri ibu sudah besar." "Hehe." Cantika menyengir sembari menyuapi ibu makanan yang dibelikan oleh Malik. "Tapi kenapa kamu kayak sebal gitu ke Malik? Padahal Malik sebaik itu ke kamu dan ibu." "Aku tau Malik itu baik, cuman aku gak enak aja gitu dia selalu kasih apapun ke aku sedangkan aku gak bisa beri dia apa-apa," jawab Cantika gusar. "Ya wajar dong dia baik, mungkin memang didikan orang tuanya dan kamu jangan membalas dengan bersikap jahat ke dia. Justru balaslah juga dengan berbaik sesuai kemampuanmu, katanya dia ingin punya teman cewek ya mungkin dia ingin kamu mau berteman dengannya." Puji mengulas senyumannya tipis. "Tapi, Bu ah gak jadi hehe." Ingin Cantika mencurahkan isi hatinya bahwa disisi lain berteman dengan Malik, Cantika takut jatuh cinta lalu Malik akan meninggalkannya setelah dibuat nyaman dan membayangkan itu saja membuat hatinya sakit. Cantika juga membandingkan dirinya dengan gadis lain yang lebih menarik dipastikan Malik hanya ingin mempermainkannya bukan mengajaknya berteman. "Hadeh kok gak jadi, ibu ingin tau apa yang akan kamu bicarakan ke ibu." Puji menggelengkan kepalanya mengetahui putrinya malah tidak jadi mengatakan hal sebenarnya yang membuat Cantika merasa gugup. "Enggak papa kok, Bu. Ayo bu makan, emm Cantika juga ikut makan deh hehe." Cantika memakan salah satu cemilan yang diberikan oleh Zena. "Ya deh, jangan sungkan cerita ke ibu dan ibu juga ingin membantumu dalam segala urusan." "Iya, Ibu. Terima kasih selalu mengerti aku, aku sayang ibu." "Sayang putri ibu juga." Setelah mengurus ibunya dalam segala hal, kini Cantika pamit pergi untuk mencari pekerjaan yang menerimanya dalam kondisi masih sekolah dan di bawah umur. Sulit? Tentu saja sangat sulit, mencari pekerjaan di saat dirinya masih sekolah dan orang yang umurnya matang bekerja serta sudah tidak bersekolah saja juga tak mudah mendapatkan pekerjaan apalagi dirinya. Sedih, itu yanh dirasakan Cantika ketika mendapatkan berbagai penolakan dan teguran dari pemilik lapangan pekerjaan karena keadaannya. "Gue ingin kerja, andai gak asa batasan umur dan status sekolah mungkin gue sudah dapat." Cantika duduk termenung di dekat taman bahagia, tempatnya anak kecil bermain dan banyak sekali permainan disini. Cantika memilih istirahat disini karena nyaman saja melihat pemandangan yakni anak-anak yang sedang bermain ditemui ayah, ibu bahkan orang tuanya lengkap sekaligus. "Ini aja gue masih remaja apalagi dewasa, betapa susahnya gue bayangin kedepannya. Hidup di dunia sangat keras dan harus lebih kerja keras lagi." "Anak-anak kecil yang beruntung mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya. Tapi gur bersyukur memiliki ibu yang dapat menjadi ibu sekaligus ayah yang bijak ke gue. Gue gak mengeluh dan memang Tuhan memberi takdir begini, hidup tanpa seorang sosok figur ayah. Sakit sih iya, kecewa, marah, ingin rasanya gue itu ngamuk tapi itu semua gak ada gunanya dan tidak merubah apapun. Cuman bisa dijalni saja iri sih pasti, siapa sih yang gak pengen punya orang tua lengkap? Gak ada kan? Semuanya juga pengen punya keluarga utuh dan harmonis." Setetes air mata Cantika meleleh begitu saja, keluar tanpa diminta oleh sang pemilik mata sendu tersebut. Segera Cantika mengusap air matanya dipipinya dan menahan diri untuk tidak tampil rapuh di depan orang-orang. Hey, dia manusia kuat yang sedang berjuang hidup demi membahagiakan ibunya. Cantika melanjutkan lagi tujuannya keluar malam-malam hari ini. Sampai dimana dirinya bertemu salah satu gadis kecil yang sedang menangis dan memegangi sepeda motor yang dikenalinya. Motor itu terparkir di depan toko roti dan tampaknya gadis kecil itu sedang rewel sambil berteriak ingin dibelikan mainan. "Adik." Cantika sedikit merasa lupa nama gadis kecil itu karena seingatnya memiliki kembaran dan ia tak bisa membedakan mereka. Gadis itu yang sebelumnya menangis dan menjerit seketika terdiam melihat sosok gadis remaja menghampirinya. Dengan masih sesenggukkan, gadis kecil itu menatapnya polos dan bibirnya melengkung ke bawah. "Lucu sekali sih mukanya." Cantika merasa gemas dan berjongkok di depan gadis kecil itu. "Ini kakak Cantik," ucap Cantika supaya anak kecil di depannya mengingatnya sehingga tidak menganggapnya orang jahat. "Salma pernah lihat kakak." Gadis kecil itu menjawab sambil jari telunjuk di tangan kanannya dimasukkan ke dalam mulut mungilnya. "Iya kita pernah bertemu dan beli sate bareng kakak Malik," jawab Cantika menjelaskan secara ringkas. "Hiks hiks kakak Malik jahat." Tiba-tiba Salma menangis lagi dan menyebutkan bahwa kakaknya jahat kepadanya. "Eh malah nangis lagi, cup cup sayang." Cantika panik dan langsung memeluk gadis kecil nan menggemaskan itu. Namun Salma tidak meredakan kunjung meredakan tangisannya dan Cantika pun menggendongnya. "Mana sih Malik? Sudah tau adiknya nangis kejer begini malah ditinggal sendirian." Cantika mengusap punggung Salma yang bergetar akibat menangis terlalu kuat. Cantika mencari cara agar Salma bisa tenang dan tidak menangis. Ia diperhatikan orang-orang disini dan tentu Cantika merasa tidak enak dikira dia adalah seseorang yang akan menculik Salma. Secara tampilan Salma memang dari anak orang kaya, Cantika agak ngeri saja melihat perhiasan ditubuh Salma dan Cantika mengumpati Malik di dalam hati. 'Bisa-bisanya Malik ninggalin Salma sendirian, dia pakai perhiasan dan sangat membahayakannya' Cantika merasa ngeri saja, tak bisa membayangkan gadis kecil tidak bertemu dengannya melainkan orang-orang jahat. Meski tempat ini adalah tempat yang ramai dan banyak toko disini pula. Tetap saja Salma berada di dalam bahaya karena seorang penjahat pun tak pandang tempat untuk melakukan aksi kejahatannya. "Salma mau permen?" "Mau." Salma sedikit meredakan tangisannya dan mengangguk berulang kali. "Mau permen." "Oke, kakak cari dulu tokonya." "Ikut." Salma mengerjapkan kedua matanya beberapa kali ketika mata bulatnya bertatapan dengan Cantika. "Iya, ini kakak gendong." Salma tersenyum lebar dan memeluk Cantika erat. Tampaknya anak ini takut ditinggal sendirian lagi sebab memeluknya ketika dirinya, Cantika gendong. "Lolipop!" Salma memekik kegirangan ketika memasuki sebuah toko serba ada. Cantika langsung membelikannya permen lolipop dan tisu. Sekarang Cantika mendudukan Salma di atas motor Malik dan Cantika membersihkan wajah Salma dengan tisu yang baru dibelikannya dengan lembut. Cantika membeli dua jenis tisu yakni tisu basah dan kering. Tak begitu lama, seseorang yang ditunggu mereka keluar dari toko dan membawa dua bocah kecil yang sedang merengek. Salah satunya bocah kecil itu digendong oleh Malik dan satunya lagi digandeng lelaki tersebut. "Salma." Malik langsung menatap ke arah Salma yang duduk tengah sambil menikmati lolipop yang baru dibelikan oleh Cantika. "Hmm enak." Salma tau kakaknya menghampirinya namun ia mengabaikan kakaknya yang jahat itu menurutnya. "Malik, adik lo malah ditinggal sendirian disini." Omel Cantika pada Malik. "Sebenarnya tadi ada problem sama pihak tokonya." Wajah Malik tampak kelelahan apalagi dua adiknya tengah rewel. "Problem?" Beo Cantika. Cantika tersenyum dan merasa gemas melihat bocah usia setahun itu yang menatapnya bingung. Ia menebak dua bocah yang keluar bersama Malik adalah adik kandung Malik sendiri. "Iya, Salma bari aja mecahin benda yang terbuat dari kaca dan gue habis tanggung jawab ke tokonya. Yang bikin lama, orangnya ceramahin gue di dalam dan Salma juga langsung kabur gitu aja." "Terus kenapa lo biarin dia di luar sendirian? Lo gak lihat dia pakai perhiasan dan akan sangat membahayakan dirinya ketika sendirian di luar toko." "Gue gak tau kalau sampai di luar toko." "Lo ga khawatir gitu?". "Gue khawatir." "Khawatir kok ditinggal gitu aja." Cantika mengelus pipi Syabil dan Syabil tersenyum malu. "Sini biar adik lo, gue gendong. Lo minta maaf gih sama Salma." Cantika menarik Syabil dari dalam gendongan Malik dan Syabil tidak menolak digendong Cantika. "Ya sudah." Malik mencium pipi Syabil lalu mengurus adik ponakannya yang baru saja meledeknya. Sedangkan Aisyah sedang merengek ketika melihat Salma sedang menjilat permen lolipop. "Namanya siapa ini, kok gemes." Cantika tersenyum lebar dan Malik menyadari. "Cantik." "Hah? Namanya juga Cantik?" tanya Cantika memastikan. "Eh bukan-bukan maksud gue namanya Syabil." Malik menggelengkan kepalanya cepat dan sadar dirinya terlena memandangi senyuman Cantika. "Gue tadi denger jelas lo bilang cantik." Dahi Cantika berkerut. "Ah itu---" "Kakak aku pengen itu!" Ucapan Malik terpotong tatkala Aisyah meminta lolilop sambil menunjuk Salma. "Salma." Panggil Malik ke adik ponakannya. "Apa!" Teriak Salma kesal seraya melototkan matanya. "Heh Salma, gak boleh begitu ya sama kakaknya." Cantika menegur Salma dengan suaranya dilembutkan. Lagi-lagi Malik tersenyum samar, baru kali ini mendengar suara selembut kapas dan disertai senyuman lebarnya. "Iya kakak Cantik." Salma mengangguk mengerti dan mengeluarkan suara khas centil anak-anak. Cantika tersenyum dan mencubit pipi Salma lembut. Pandangan fokus pada adik Malik yang sedang rewel dan ia pun mendekatinya. "Apa sayang? Mau lolilop?" tanya Cantika pada Aisyah sambil tangannya mengusap dagu mungil gadis kecil yang tengah merengek. "Mau kakak." Aisyah mengangguk dan matanya sudah berkaca-kaca. "Kakak beliin." "Gak usah biar gue aja." Malik menggelengkan kepalanya. "Lo urusin Salma, dia marah sama lo dan kalian harus berbaikan dulu." Kemudian Cantika menggandeng Aisyah sambil menggendong Syabil pergi ke toko tadi. Tempat dimana ia baru saja membelikan permen kepada Salma. Setelah beres semuanya, kini mereka berlima berada di taman bermain. Taman yang sebelumnya dijadikan tempat istirahat Cantika tadi sewaktu lelahnya mencari pekerjaan. Salma dan Aisyah bermain dan diawasi oleh Malik. Sedangkan Cantika tengah menimang Syabil yang digendong menggunakan selendang dan bocah mungil berusia 9 bulan itu sudah mulai mengantuk sambil memegangi botol dot. Ketika Syabil sudah terlelap, Malik mendekati Cantika dan berterima kasih kepada gadis itu yang telah membantu menjaga adik-adiknya. "Lain kali jangan sepelekan anak kecil yang memiliki sikap aktif kayak Salma. Jangan remehkan dia ketika berlari akan ke tempat aman saja. Mereka masih anak kecil dan mana tau tempat yang mereka datangi itu adalah tempat bahaya," ujar Cantika yang menegur sikap Malik terlalu menyepelekan hal-hal kecil terutama soal adiknya yang dikira masih di dalam toko padahal Salma berlari ke luar toko tersebut. "Ah iya, gue salah banget biarin dia sendirian dan gue gak akan gitu lagi." Malik mengulum senyumnya. "Lagian lo bawa bocil banyak amat, mana semuanya anaknya aktif pula," ucap Cantika yang tidak menyangka pada Malik yang membawa tiga bocil dan bocil-bocilnya pula memiliki sifat yang aktif atau bisa disebut tak bisa diam sebentar. "Iya tadinya pergi cuman sama Salma aja, tadi si kembar main ke rumah terus ini Salma ketiduran di rumah gue dan jadilah dia ditinggal. Gue mau nganter Salma pulang, sekaligus pulangnya mampir ke toko dan ambil pesanan nyokap. Itu niat awal eh dua bocil ini gue tinggal sebentar, nangis kejer banget mana pengasuhnya izin pulang lebih awal pula. Ya akhirnya gue bawa mereka sekaligus eh malah berantakkan deh." Malik menghembuskan napasnya berat. Bukan cuman sekali kejadian seperti ini dan Malik pasrah saja yang selalu bertanggung jawab saat adik-adiknya ada saja barang yang di toko menjadi korban kenakalan mereka. "Sungguh capeknya." Lagi dan lagi Cantika tidak percaya Malik sesabar ini menghadapi kelakuan para bocil yang menggemaskan ini. Cantika membayangkan merawat mereka yang semuanya anaknya tak bisa diam itu sudah melelahkan sekali apalagi sungguh-sungguh merawatnya. Apa tidak tambah pusing itu dan Cantika menggelenhkan kepalanya. "Kuncinya ya harus banyakin sabar dan gue memang sudah biasa melakukan ini semua hehe. Apalagi nyokap bokap sama-sama sibuk bekerja dan mereka paling dekatnya ya sama gue. Selagi ada gue mereka nempel terus dan gak mau ditinggal." Aisyah berteriak meminta gendong kepada Malik dan Malik segera menggendong adiknya yang rewel sedari tadi. Makan lolipoppun cuman sejilat saja lalu dibuang. Adiknya itu cuman ingin tau rasanya saja dan jika tidak suka dipastikan makananya sudah terlempar entah kemana. "Ngantuk kakak, mau pulang." "Ya bentar lagi pulang, anter kakak Salma dulu." Malik mengangguk. "Pengen pulang huehue." "Iya Aisyah, astaga jangan cekik kakak." Malik menjauhkan tangan Aisyah yang memukuli dan memeras lehernya. Aisyah merasa geregetan kepada kakaknya yang tidak segera berangkat pulang ke rumah. Cantika melihat Malik disiksa adiknya malah tertawa puas. Senang melihat sosok lelaki yang biasanya tebar pesona tapi sangat tunduk kepada adiknya tersayang. "Cantik." Panggil Malik saat Aisyah lumayan tenang dan kedua tangan gadis kecil itu memainkan tali leher di jaket kakaknya. "Hmm." Cantika berdeham saja. "Ikut temenin gue antar Salma pulang dong." ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD