Part 37
"Kalian bawa pakaian yang saya suruh kan?" tanya Zena saat sepasang remaja datang ke kantornya.
"Iya, Bulek."
"Iya, Tante."
"Kalau kalian disini manggil saya dengan sebutan Bu Zena ya, biar sama kayak yang lain tapi ini sewaktu kerja saja. Di luar jam kerja kalian terserah manggil saya apa." Zena tersenyum ramah ke dua remaja yang akan bekerja di bawah naungannya.
"Kalau begitu saya mau mengganti pakaian saya, Bu Zena." Malik masih kaku menyebutkan Bu Zena dan ia menggaruk kepalanya sambil terkikik geli.
"Haha Malik kaku banget manggilnya." Zena menertawakan ponakannya yang masih belum terbiasa memanggilnya dengan sebutan Bu Zena.
"Belum terbiasa, Bulek. Biasa manggil bulek ih." Malik memajukan bibirnya.
"Iya, bulek maklumi tapi harus dibiasakan ya karena bulek memperkerjakan kamu secara profesional dan bulek tidak memandang kamu itu saudara disini. Dimata bulek kamu dan karyawan lainnya sama. Tidak ada pembedaan dan kalau kamu melakukan kesalahan, bulek juga akan menyalahkan dan menegurmu seperti yang lain. Paham kan?" tanya Zena memastikan.
"Iya, Bul eh Bu Zena. Saya paham." Malik mengangguk mantap dan .
"Malik Malik kamu itu sore-sore bikin sakit perut bulek." Zena mengusap perutnya karena sedari tadi tertawa gegara melihat kelakuan kocaknya Malik. Malik memang moodboster baginya dan selalu bikin orang-orang terdekatnya merasa senang.
"Jadi bul eh Bu Zena, saya ditempatkan dimana?" Malik masih gagap mengatakan Bu Zena dan Zena terus tertawa sembari merespon ucapan keponakannya itu.
"Kamu ditempatkan dibagian mengantar makanan dan Cantika menetap di dapur, bersih-bersih." Zena menoleh menatap Cantika yang menahan tawanya, walau diam pula Cantika menyimak perbincangan dua orang tersebut.
"Siap Bu Zena, saya menerima apapun keputusan Bu Zena dan saya berusaha keras bekerja sebaik mungkin serta berusaha tidak mengecewakan Bu Zena." Cantika menjawab dengan nada tegasnya dan sangat sungguh-sungguh niat bekerja demi mencukupi kebutuhannya serta ibunya.
"Nah Cantika aja gak gagap manggil Bu Zena, kamu malah gagap begitu malah sambil ketawa pula." Zena bersedekap d**a dan memasang muka judesnya di hadapan Malik.
"Kan kita beda orang, Bul Bu Zena."
"Kan jadi aneh kamu manggil bul bu, bulbu haha." Zena lagi-lagi tertawa, segitu recehnya buleknya Malik mendengar kata yang dilontarkan Malik baru saja.
"Haduh belum terbiasa bul bu Zena haduh." Malik menggaruk rambutnya dan tambah gagap memanggil Zena dengan sebutan Bu Zena.
Cantika tidak kuat menahan tawanya dan langsung tertawa terbahak-bahak. Tak lupa mulutnya dibekap kuat agar tak terdengar begitu keras.
"Haha kamu ini ya, dibiasakan dong Malik. Emang kamu mau membuka identitasmu kepada karyawan-karyawan di rumah makan ini?" Zena masih tertawa walau tak terlalu terbahak-bahak seperti tadi.
"Eh enggak bulek, entar kalau mereka tau Malik yang sebenernya siapa jadinya mereka anggap Malik seperti majikan. Kalau apa-apa mereka ngerasa gak enak ke Malik dan itu yang buat Malik ngerasa gak enak juga. Malik tetap ingin profesional dimata semua orang dan tidak gila hormat juga." Malik tidak suka siapapun orang yang memandangnya tinggi hanya karena latar belakangnya, Malik ingin tinggi dengan caranya sendiri bukan dari latar belakangnya. Malik memiliki cara sendiri kelak nantinya sukses tidak membawa embel-embel dari orang tua dan keluarganya. Walau sulit nantinya karena mau gak mau harus meneruskan bisnis papanya.
"Iya, Malik. Bulek paham apa yang kamu pikirkan, makanya biasakan manggil bulek dengan sebutan Bu Zena. Bulek juga memandang kamu di tempat kerja ini sama ratanya dengan yang lain. Bulek sangat anti membeda-bedakan seseorang." Zena mengangguk paham sambil menepuk pundak Malik. Zena tidak menyangka Malik tumbuh sebesar ini bahkan tingginya sudah melampui darinya. Dulu sosok anak di depannya ini sangatlah menggemaskan dengan sifat polosnya dan sangat suka dimanja. Saat beranjak ke usia remaja, Malik menjadi sosok anak yang mandiri dan sangat berhati lembut. Malik juga tempat teramannya si kembar sehingga Zena tidak pernah merasakan takut jika si kembar berada di jangkauan Malik.
"Siap, Bu Zena." Malik masih mengeja walau sudah benar dan tidak separah tadi.
"Hayo dilemesin dulu, jangan kaku-kaku haha. Si bocah yang sekarang dah gede dan makin cakep." Zena terkekeh pelan dan menurukan tangan Malik yang tadinya mengacungkan jempolnya.
"Wah saya cakep, ya dong cakep dan udah cakep dari lahir. Tapi pak lek suka bilang Malik jelek, fiks bojonya bulek itu musuh bebuyutannya Malik." Malik mendengus dan memang Malik tak pernah akur dengan Pandu sejak dulu. Namun karena Pandu disibukkan banyak kerjaan jadinya mereka berdua jarang bertemu.
"Haha kalian itu sukanya berantem mulu dari dulu, tapi kan kamu juga sering dapat saku dari pak lek hayo."
"Iya kalau orangnya dalam mode baik, Bulek."
"Haha kamu ini, ya sudah sana ganti baju dulu. Sesuai apa yang bulek pinta." Zena memperintahkan mereka segara berganti pakaian yang nantinya akan dikenakan selama mereka dalam proses sebelum ditahap pekerja tetap.
"Siapp, Bu Zena." Malik sudah tidak segagap tadi menyebut Bu Zena.
"Nah gitu gak gagap lagi kayak tadi haha." Zena masih menertawai Malik kala mengingat betapa gagapnya Malik memanggilnya dengan sebutan Bu Zena.
"Kalau Cantika gimana?" tanya Zena kepada sosok gadis cantik yang sudah banyak menanggung beban di dalam kehidupannya di usianya yang masih muda.
"Sudah siap, Bu Zena." Cantika mengangguk mantap dan tersenyum lebar.
"Baguslah kalau kalian sama-sama sudah siap, biasanya kalau awal-awal kerja apalagi belum adanya pengalaman itu gugup si atau biasa disebut nerves." Zena menatap mereka secara bergantian.
"Jujur, Bu. Saya agak nerves." Cantika tersenyum malu dan menggaruk tekuknya yang tak terasa gatal tapi mencoba mengurangi rasa gugupnya saja.
"Nah kan sudah saya bilang pasti bakal nervesnya, kalau ada yang tidak bisa dipahami bisa meminta tolong karyawan yang sudah senior dan mereka akan membantu kalian. Karyawan-karyawan disini semoga saja mereka baik-baik juga ya karena ibu juga gak begitu paham sama watak mereka ketika dibalik saya sendiri," ujar Zena menjelaskan sesuatu yang semoga saja mereka pahami karena ini berkaitan dengan sikap karyawannya.
"Iya, Bu Zena. Saya paham apa yang dijelaskan, saya berharap mereka menerima kehadiran kita."
"Semoga saja ya, amin." Malik menyahut ucapan Cantika.
"Amin. Ya sudah sana ganti bajunya kan gak jadi-jadi dari tadi hehe." Zena tertawa kecil. Wanita yang sudah memiliki tiga anak itu sangat awet muda sekali padahal wanita itu selalu sibuk bekerja namun memiliki cara sendiri agar tubuhnya tetap terawat.
"Haha iya bul eh Bu Zena astaga." Malik langsung buru-buru keluar dari ruang kantornya Zena karena malu ketahuan gagap lagi.
"Hahaha kabur duluan si Malik." Zena geleng-geleng kepala melihat tingkah kocaknya Malik.
"Malik memang nakal ya, Bu Zena."
"Dari kecil itu nakal sekali."
"Ya sudah, Bu Zena. Saya permisi dulu mau berganti baju."
"Silakan Cantik, jangan lupa berdoa dulu sebelum bekerja agar urusannya dilancarkan dan dijauhkan dari hal-hal buruk juga." Nasehat Zena diberikan kepada Cantika supaya tetap mengingat yang di Atas sana sebelum melakukan aktivitas apapun itu.
Cantika keluar dari kantornya Zena dan bersiap akan berganti pakaian. Pakaian yang dikenakannya nanti ialah kemeja putih dan bawahannya rok berwarna hitam. Itu pun pemberian dari Vera yang telah mengerti bahwa dirinya akan bekerja. Tentu saja Cantika menceritakan ini supaya kalau ada apa-apa soal ibunya, Vera bisa memberitahukannya lewat Malik.
Ternyata ada juga pekerja yang sepertinya sama-sama anak baru. Ruang ganti khusus karyawan masih penuh dan semuanya sedang mengantri terutama anak baru. Cantika duduk sendirian dan memilih diam. Tidak berbaur ke anak lain sebab Cantika tidak pandai berbaur dan malas saja bertemu orang munafik.
"Gue tau sih disuatu tempat pasti ada baik dan buruk. Gimana kerjaan kedepannya, gue hadapi sendiri tanpa Malik tau. Malik sudah banyak bantu dan gue harus bisa mandiri menyelesaikan masalah." Cantika teringat petuah yang diberikan oleh ibunya sewaktu ia telah menceritakan bahwa dirinya sudah mendapatkan pekerjaan. Ia harus bekerja secara jujur dalam bekerja dan tidak mencampuri urusan lain agar terhindar dari masalah.
Ada sedihnya dan senangnya sebenernya dia mendapatkan pekerjaan dan bisa bekerja dikala mendapatkan restu juga dari ibunya. Sedihnya adalah, Cantika meninggalkan ibunya walau tak selama jika ia ikut kegiatan atlitnya tetap saja meninggalkan ibunya sendirian di rumah adalah hal yang menyesakkan dadanya.
"Tunggu ya bu, Cantika berusaha membanggakan ibu suatu saat nanti. Kita bakalan hidup enak setelah ini dan Cantika membalas jasa-jasa ibu walau tak sebanding dengan apa yang ibu lakukan selama ini." Cantika tersenyum dan memandang fotonya sesama kecil digendong oleh ibunya. Foto itu berukuran kecil dan selalu disimpan di dalam dompetnya.
Foto itu adalah kekuatannya ketika ia akan melakukan sesuatu yang penting. Dulu sebelum bertanding dan sekarang bekerja.
Disisi lain...
Di dalam ruangan kantor...
Zena mengernyitkan dahinya saat membaca kartu keluarga milik seseorang.
"Kayak pernah tau ini nama ya."
"Bentar deh, aku inget-inget dulu." Zena berpikir keras sambil mengetuk dahinya dengan jarinya beberapa kali.
"Ah iya, ini orang dulu pernah bermasalah sama mas Angga. Eh, haduh." Zena seketika langsung paham sesuatu dan menggabungkan semua kejadian di masa lalu sampai masa kini.
Zena meletakkan selembar kertas kartu keluarga lalu mengusap wajahnya pelan.
"Terus Malik dan Cantika kedepannya bakal gimana ya. Haduh kenapa jadi runyam. Mereka baik-baik saja tapi orang tuanya?" Zena yang tau betul permasalahan orang tua mereka yang masih berselisih paham membuat Zena mencemaskan hubungan Malik dan Cantika kedepannya.
"Kalau aku jelasin masalah ini ke Malik pasti bocah itu nekat banget, emm dilihat saja kedepannya gimana tapi kasian mereka." Zena tentu tak bisa bantu banyak nantinya sebab mengenal sikap Angga seperti apa. Angga sangat keras bahkan lebih keras dari Pandu meski orangnya tampak kalem.
"Semoga baik-baik saja deh."
...