Part 36
"Tuh lo sudah dijemput!" Cantika menunjuk ke arah depan gerbang ketika mengetahui mobil milik siapa yang terparkir di depan pos satpam.
"Ah iya." Melani tersenyum lebar dan mengangguk sambil melambaikan tangannya ke arah mobil. Cantika menemani Melani menunggu jemputan di pos satpam. Seperti sudah rutinitas harinya saat pulang sekolah, menjaga Melani sampai temannya itu benar-benar sudah pulang dari sekolah. Cantika mendapat amanah dari orang tuanya Melani sebab Melani juga memiliki rasa trauma dulu sehingga ia harus ditemani dan dulunya sebelum ia keluar dari atletnya, Cantika sering menghubungi Melani.
"Oh ya, Tik. Besok gue ajak main ke rumah ya? Terus temenin gue belanja juga. Bisa gak?" tanya Melani yang penuh harap Cantika mau menerima ajakannya.
"Dilihat dulu sih besok soalnya gue kemarin baru aja daftar kerja."
"Lho jadi mau kerja?" tanya Melani kaget.
"Iya Lan."
"Sudah dapat kah?"
"Iya sudah." Cantika mengangguk lagi.
"Kerja dimana? Wah lo gak cerita sih." Melani mendengus sebal.
"Hehe baru ingat gue Lan, sorry. Gue kerja di rumah makannya budhenya Malik." Cantik merasa bersalah karena baru bilang ke Melani. Ia sangat melupakan hal ini.
"Wih keren dong, gue kayak pernah makan disana deh. Terkenal besar itu rumah makannya dan banyak cabangnya juga." Melani merasa takjup dan membekap mulutnya tak percaya temannya bisa diterima di rumah makan yang sangat terkenal di kota ini.
"Alhamdulillah sih, gue keterima di rumah makan sebesar itu tapi tanggung jawabnya paati besar. Gue juga sangat hati-hati banget dan takut kena masalah." Cantika sudah berpikir buruk saja dan takut mengecewakan Zena suatu saat nanti serta Malik yang membawanya bisa bekerja di rumah makan tersebut.
"Ih lo mah sudah overthingking duluan deh, jangan berpikir buruk dulu dan semangat gitu kerjanya. Gue sebagai teman bakal terus dukung apapun yang lo lakuin selagi itu positif dan tidak merugikan lo sendiri. Fighting!" Melani meninju tangannya ke udara bermaksud menyemangati temannya yang akan masuk bekerja.
"Hehe makasih ya Lan, iya gue gak berpikir buruk cuman cemas saja. Takut mengecewakan Malik dan budhenya. Terutama Malik yang selalu baik ke gue dan dia juga ikut kerja di rumah makan itu. Heran sih, dia sudah tajir gitu tetep mau kerja." Cantika masih merasa tidak percaya kalau Malik benar-benar niat bekerja.
"Dia tajir bener gak sih? Kendaraannya aja biasa gitu dan gak kebanyakan cowok lain yang memilih pake motor gede atau ninja sebutannya tuh." Melani masih belum percaya kalau Malik berasal dari keluarga tajir melintir dan merasa kalau Malik itu hanyalah anak dari kalangan biasa.
"Hadeh masih gak percaya aja deh lo, kalau lo lihat rumahnya bakalan kaget deh. Rumah gede banget meski halaman depan gak luas tapi halaman belakangnya luas. Gue gak terlalu mengenal betul rumah Malik tapi gue sudah menebak yakin rumahnya itu luas sekali. Ada banyak kamar tamu juga. Ruang tamu pun juga banyak, enak gitu dan dinginnya kayak di mall-mall. Eh maaf kesannya gue norak sih, tapi gimana lagi ya gue gak pernah masuk rumah mewah. Apalagi rumahnya buleknya Malik juga, gak kalah mewahnya. Gue kagum banget sama keluarga mereka yang sukses. Suatu saat gue bakal gitu, aamiin." Cantika membayangkan lagi rumah Malik dan Zena bahkan mendeskripsikan rumah mereka kepada Melani. Cantika bahkan mengeluarkan suara yang menggebu-gebu dan sangat senang sekali menceritakan tentang rumah mewah. Ia sangat mendambakan rumah sebesar itu dan berharap suatu saat bisa membangun rumah untuk ibunya. Mengingat rumah yang ditempatinya kecil, meski begitu Cantika tetap merasa bersyukur memiliki rumah sekarang ini.
"Soal motor Malik, dia sengaja pake motor matic biasa karena satu, dia malas mengeluarkan uang bensin kan kalau motor gede itu bensinnya mahal. Kedua, adik-adiknya suka banget diajak keliling jadinya kalau pakai motor matic lebih aman dan terakhir kata Malik sih, romantis." Lanjut Cantika menjelaskan soal tadi.
"Yang pertama ngakak sih, emang jajannya gak banyak apa? Dan terakhir itu romantis? Romantis gimana? Justru keren tau pakai motor ninja, gue malah lebih suka naik motor gede." Melani bersedekap d**a dan tertawa mendengar penjelasan lebih lanjut soal Malik dari Cantika.
"Jangan gitu lah Melan, Malik juga lagi nabung buat masa depannya dan dia emang gak disuruh foya-foya sama papanya. Katanya sih, papanya tegas dalam urusan keuangan dan dia gak boleh boros. Malik harus bisa mengatur keuangannya dan dia lebih suka hal-hal sederhana. Yang terakhir soal romantis, entah gue bingung sama itu. Iya deh ya, gue udah nebak lo mah sukanya sama cowok yang naiknya motor ninja. Selera lo tinggi banget." Cantika tersenyum sambil menggeleng heran.
"Iyaya gue paham kok pemikiran Malik soal hidup sederhana tapi gue gak bisa sederhana sih. Gue suka boros malah haduh." Melani mencebikkan bibirnya.
"Lo hobbynya shopping mulu sih, dihemat napa uangnya kan bagus tuh sebagian buat masa depan lo, Lan."
"Orang tua gue yang nabung bukan gue sih jadi apa-apa yang ngurus semuanya orang tua."
"Emang sampai nanti lo terus tinggal sama orang tua? Tentu saja enggak kan? Lo juga harus mandiri dan apa-apa bisa mandiri. Kalau lo menggantungkan hidup lo buat orang tua lo, kapan lo majunya? Sifat manja lo malah makin menjadi-jadi, Lan. Gak enak tau punya sifat manja dan lo harus mengubah pola pikir lo tadi." Cantika mengacungkan jempolnya ke arah Melani.
"Iya Tik, susah sih kalau dibayangin dan gue masih pengen terus manja. Lagian belum lulus dan apapun masih ditanggung orang tua."
"Iya, Lan. Gue tadi gak nyuruh berubah kok, cuman sabar saja dan memang benar selagi masih sekolah ya orang tua yang bertanggung jawab. Kecuali seorang anak yang terpaksa harus cari uang sendiri karena keadaan." Ucapan Cantika membuat Melani tersentuh.
"Ah iya bener Tik, haduh jadi gak enak sama lo, sorry Tik." Melani meraih tangan Cantika dan menjabat tangan temannya tersebut.
"Eh gue gak papa Lan, santai aja kok." Cantika terkekeh pelan dan merasa tidak marah sama sekali saat menceritakan kehidupannya.
"Intinya lo harus banyak bersyukur Lan, jangan lupa ibadahnya dijaga. Tuhan kasih kenikmatan pula dan manusia jangan sampai lupa sama kewajibannya." Lanjut Cantika.
"Bener Tik, semoga aja gak bolong-bolong lagi ibadah gue."
"Amin."
"Eh ya gue pulang duluan ya, kita tadi lama ngobrolnya disaat gue dah dijemput. Hahaha pasti diomelin sama bokap gue." Melani menepuk pundak Cantika lalu berlari kecil keluar dari gerbang sekolah dan tidak lupa melambaikan tangannya ke arah Cantika.
"Hati-hati Lan!" teriak Cantika dan membalas lambaian tangan dari temannya tersebut.
Selepas kepergian Melani, Cantika kembali ke sekolah dan menuju tempat parkir. Disana Malik sedang mengobrol bersama Vardo dan Zidan yang sama-sama juga belum pulang dari sekolah.
"Weh ada Cantika." Zidan menyambut kedatangannya dan tersenyum lebar.
"Iye." Respon Cantika, gadis itu melirik Malik yang malah mengedipkan sebelah matanya ke arahnya.
"Gue colok tuh mata deh lama-lama." Sarkas Cantika membuat Malik dan Zidan tertawa.
Cantika melihat Vardo yang tadi banyak bicara sekarang memilih diam sejak ada dirinya ikut nrimbung.
"Sorry Vardo soal kemarin, bukan maksud gue ngajak war sih dan gue hanya negur doang. Soalnya gue gak suka sam cowok yang bentak ke cewek terutama temen gue itu." Cantika merasa bersalah karena bagaimana pun juga Vardo tidak melakukan kesalahan kepadanya melainkan kepada temannya. Namun disisi lain Cantika tidak tega mengetahui sendiri temannya dibentak oleh seorang laki-laki.
"Iya santai aja, gue juga salah kok." Vardo tersenyum tipis dan mengangguk samar.
"Kalau ngaku salah ya minta maaf ke orangnya langsung lah." Cerocos Zidan yang hobbynya membuat Vardo marah.
"Idih ogah, males gue ketemu cewek gatel sih," balas Vardo yang memang tampak ogah-ogahan sekali menemui Melani untuk meminta maaf atas bentakannya kemarin.
"Nah tuh betul kata Zidan, lo temui dia lansung kalau minta maaf dan jangan ke Cantika. Cantika cuman negur doang ke lo." Malik ikut menyahut dan menyetujui ucapan Zidan.
"Sudah gue bilang enggak ya enggak." Vardo menggeleng.
"Sudah guys, jangan dipaksa. Lagian meminta maaf ke seseorang secara paksaan itu bukan permintaan maaf yang tulus dan temen gue baik-baik saja kok. Santai." Cantika tidak mau suasana pertemanan mereka menjadi panas gegara temannya sendiri akhirnya memilih menengahi mereka saja.
"Tuh kata Cantika, dia aja baik-baik saja dan kalian berdua terlalu melebih-lebihkan suatu hal yang gak penting." Vardo menunjuk Zidan dan Malik bergantian.
"Iya deh gak penting," balas Zidan pasrah.
"Gak penting gimana? Lo yakin dia baik-baik saja? Bukannya lo tau sendiri keadaan temen lo tadi kalau pucat banget?" Malik yang tadinya menatap ke Vardo kini beralih menatap Cantika.
"Dia baik-baik saja, Malik. Sudah deh jangan diperpanjang." Cantika melototi Malik bermaksud memberi kode supaya cowok itu mengerti maksudnya. Justru nantinya Melani yang marah kalau masalah ini terus menjadi perbincangan mereka apalagi kalau sampai menyebar.
"Enggak, dia gak lagi baik-baik saja dan gue bilang begini karena gue tau langsung keadannya. Lo minta maaf gih besok." Malik menegur temannya itu dan Vardo tercengang.
"Lo tau sendiri kan gue itu risih sama cewek gatelan," ujar Vardo.
"Iya gue gau, tapi minta maaf apa salahnya? Dia jadi pucat wajahnya gegara lo." Malik menatap Vardo tajam.
"Sudah deh, Lik." Cantika menarik lengan sweater yang dipakai Malik dan mengajak cowok itu pulang karena nanti sore adalah hari pertama mereka awal masuk kerja.
Vardo terdiam dan berlalu pergi tanpa sepatah kata apapun. Zidan menyusul cowok itu dari belakang dan sebelumnya berpamitan kepada mereka terlebih dahulu.
"Kan ngambek temen lo."
"Enggak,dia besok bakal minta maaf ke Melani."
"Enggak mungkin deh."
"Dia temen gue jadi gue hapal betul sikap dia. Memang awalnya menolak nantinya juga dilakukan kok." Malik mengulum senyumnya simpul.
"Gitu ya?"
...