Part 39
"Berat banget kerja beginian ternyata." Malik bergumam ketika sedang mengerjakan tugasnya sebagai pengantar makanan kepada pengunjung. Ia harus lebih berhati-hati menghindari kekeliruan sewaktu mengantarkan makanan ke pengunjung rumah makan kembar ini.
Tadi Malik juga hampir salah antar makanan dan mendapat teguran dari salah satu pengunjung yang ia antarkan makanannya. Malik sempat diejek oleh karyawan lain namun ia hanya tersenyum tipis menanggapi mereka yang memandangnya sebelah mata.
"Mana gue nganter makanan sebanyak ini dan disuruh hafalin meja sesuai pesanan." Malik menata makanan di atas nampan. Ia mendumel ketika tengah mengerjakan tugasnya.
Malik pikir mengantarkan makanan adalah pekerjaan yang sangat mudah menurutnya ternyata justru juga pekerjaan berat. Ia harus berhati-hati membawa piring-piring berbahan kaca dan harus lebih teliti lagi mengatarkan makanan sesuai pesanan.
"Capek banget." Malik menyeka keringatnya di pelipisnya.
Malik menyapu pandangannya ke sekitar rumah makan ini yang semakin ramai saja dan ia menghembuskan napasnya kasar.
"Buset ini rumah makan gak sepi ya dari tadi eh bodoh gue malah doain sepi tapi kalau gak sepi, gue gak bisa lihat Cantika lebih lama." Malik hanya bisa melihat Cantika sekilas saja dan sangat susah bertemu Cantika. Sebab Cantika berada di paling belakang karena kerja dibagian mencuci piring sedangkan Malik berada di tempat utama rumah makan ini.
Ketika sedang bekerja, Zena diam-diam datang menghampiri Malik tanpa Malik sadari. Zena melihat ketekunan Malik melakukan pekerjaannya dan Zena sesekali mengangguk pelan.
"Sore, Bu Zena." Baru ada orang yang menyapanya, Malik langsung mencari keberadaannya dan terkejut mengetahui Zena ada di belakangnya sambil tersenyum.
"Bul eh Bu Zena." Malik mengangguk, menyapa Zena meski agak kaku dan hampir menyebut bulek. Sempat juga Zena melototi Malik bermaksud mengingatkan ponakannya tersebut.
"Sore juga, semangat kerjanya semua." Zena disapa oleh para karyawannya yang bekerja di bagian pengatar makanan.
Zena sudah biasa turun langsung melihat karyawannya bekerja, begitupula karyawannya yang sudah terbiasa melihatnya datang dadakan ke tempat ini.
"Siap Bu Zena!" Mereka menjawab semangat dan semakin semangat pula karena sebentar lagi waktunya istirahat.
Zena mendekati Malik yang tengah makannan di atas nampan. Ada karyawan yang menghampirinya dan mengadu soal kesalahan Malik sewaktu bekerja tadi.
"Bu Zena, mohon maaf saya lapor kepada Bu Zena soal itu bocah." Seorang wanita berusia 20an itu menunjuk Malik yang seketika Malik terdiam karena namanya disebutkan oleh wanita itu.
"Kenapa dengan saya?" Malik membalikkan badannya dan menghadap ke wanita tadi.
"Kesalahan apa Sila?" tanya Zena yang sudah hapal betul karyawannya ini sering melapor hal-hal yang terjadi di rumah makan ini dan wanita bernama Sila itu memang secara terang-terangan mengatakan laporan tersebut di depan orang yang juga bersangkutan.
"Beberapa kali Malik salah antar makanan dan buat pengunjung marah sama sikapnya yang kurang sopan." Sila melirik Malik sinis secara sekilas.
"Bukan kurang sopan, tapi membela diri lah. Gue dikatain buruk sama mereka ya gue gak terima." Sela Malik bernada kesal.
"Tapi itu gak sopan Malik, pengunjung itu raja dan raja harus dilayani dengan baik. Salah atau benar, mereka tetaplah kita tidak boleh memperlakukan mereka kasar." Tegur Sila.
"Gue gak terima diperlakukan begitu sama mereka, gue sudah capek-capek begini dan mereka gak hargai gue sama sekali sih." Malik yang sudah lelah itupun cepat emosi dan napasnya tampak memburu.
Keadaan yang semakin panas membuat Zena menyuruh Sila melanjutkan pekerjaannya saja dan ia menyuruh Malik ikut ke kantornya.
Setelah berada di kantor, Malik masih berdiri dengan pandangan yang menunduk ke bawah.
"Malik." Zena sudah duduk di meja kantornya dan memanggil ponakannya itu dengan nada lembut seperti biasa. Zena menanggapi masalah ini dengan santai dan bijak.
"Malik." Panggil Zena sekali lagi dan seketika Malik mengeluarkan suara dehemannya. Ia tau Malik merasa bersalah padanya dan malu berhadapan dengannya.
"Bulek tidak marah dan duduk lah. Kakimu lelah berdiri terlalu lama dan pastinya capek." Zena memerintahkan Malik supaya duduk di seberangnya.
Malik mengangguk dan duduk di tempat duduk di depan meja kerja Zena. Malik masih menundukkan kepalanya dan sikapnya lebih banyak diamnya.
"Malik, Bulek tidak memarahimu. Bulek hanya ingin menegur atas kesalahanmu tadi."
"Apa Malik salah bulek? Kan Malik dihina pengunjung ya pasti aku marah dan tidak terima dikata-katain hal jelek."
"Iya, salah."
"Kok gitu?"
"Jadi gini Malik, pengunjung itu ibarat raja yang harus kita hormati dan kita ini sebagai pelayannya. Kita harus sabar banget menghadapi pengunjung yang sikapnya itu sangat tidak mengenakan hati kita dan entah salah apa benar, mereka tetaplah benar. Kalau kita membela diri pula juga sangat sulit Malik."
"Kenapa kok gitu sih, Bulek? Kenapa kalau salah mereka htidak disalahkan?" Malik tidak terima mendengar penjelasan dari buleknya.
"Malik, disemua rumah makan atau pun tempat tertentu pasti begini. Kecuali kalau pengunjung kita melakukan kesalahan besar seperti mengambil milik kita atau merusuh fatal disini barulah kita bertindak tegas. Soal masalah yang kamu lakukan tadi juga sepenuhnya memang salahmu kan? Pengunjung emosi karena pelayanannya yang tidak baik dan membuat mereka tidak nyaman. Kalau begitu bisa membuat rumah makan ini semakin sepi karena ada rumor buruk dimana-mana soal rumah makan ini." Zena menjelaskan mengapa ia harus melatih para karyawannya untuk terus bersikap sabar menghadapi beberapa pengunjung yang memiliki sikap angkuh.
"Begitu kah Bulek?"
"Iya, Malik. Kamu harus lebih mengerti ya, bulek tidak memarahimu dan ini hanya menegurmu saja. Kamu masih belum ada pengalaman di dunia kerja jadinya masih perlu banyak belajar juga. Kamu harus memperbanyak kesabaranmu dan teruslah tersenyum ramah meski banyak orang yang mencelamu. Dunia ini kejam dan keras. Kamu harus bisa menjadi tameng pada diri sendiri dan mampu mengontrol emosi sendiri," ucap Zena. Ia menyadari emosi Malik masih labil dan menasehati Malik harus secara perlahan-lahan. Zena yakin dengan ikut bekerja begini, Malik akan dewasa pula pikirannya dan mendapat tambahan pelajaran dalam hidupnya.
"Malik baru mengerti soal ini, maafkan Malik atas kesalahan yang aku lakukan. Aku tidak tau kalau harus begini dan ternyata dunia kerja sangat keras. Mentalku masih lemah banget deh." Malik menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Tidak apa-apa Malik, syukurlah kalau kamu merasa bersalah dan menyadari perbuatanmu tadi. Tenang saja, bulek meski ada kerjaan lain tetap mengawasimu dan Cantika saat sedang bekerja. Justru bulek khawatir terlalu mengabaikan kalian sebab disini sudah banyak pengalaman soal bekerja bahkan karyawan baru pula. Hanya kalian berdua saja yang bekerja di bawah umur."
"Malik jadi gak enak sama, Bulek. Harusnya Malik itu jaga sikap karena bulek dengan baiknya menerimaku bekerja disini. Malik minta maaf banget."
"Sudah, Malik. Bulek tidak apa apa, bulek tau kamu masih belum mengerti apa-apa soal dunia kerja. Pelan-pelan pasti paham dan bulek akan selalu mengawasi kalian."
"Terima kasih banget, Bulek."
...