Bab 11 ~ Perjanjian

1070 Words
Cahaya terkejut dan menganga melihat luasnya penthouse milik Erlando, bahkan pintu penthouse ini adalah lift, ada tangga berwarna hitam ditengah ruangan hanya ada 10 anak tangga, semuanya di d******i warna hitam putih, tegel penthouse ini juga berwarna hitam dan semuanya terlihat bersih. Cahaya masuk ke penthouse dan melihat keadaan sekitar, ia terpana melihat mewahnya fasilitas di sini. Ia tak pernah menginjakkan kakinya di sebuah penthouse. "Itu kamar kosong bisa kau tempati," tunjuk Erlando pada kamar yang ada di pojok kiri. "Aku tidur di lantai atas. Tidak usah ke atas jika tidak ada keperluan." Cahaya menganggukkan kepala. "Peraturan di penthouse ini adalah, aku tidak suka bising, aku tidak suka suara musik keras, aku tidak suka mendengar suara langkah kaki, aku tidak suka suara batuk dan bersin, aku tidak suka rumahku kotor. Dan, jika kau ke dapur jangan mengeluarkan suara apa pun. Aku juga bekerja di rumah, jadi jangan pernah mengeluarkan suara apa pun." Cahaya menghela napas panjang, banyak sekali peraturan ditempat ini. Kelihatannya memang bersih, bahkan sedikit noda pun tak ada, namun Cahaya tak melihat siapa pun di penthouse ini, hanya ada dua bodyguard yang berjaga didepan sana. Jadi, siapa yang membersihkan tempat ini? "Ya sudah. Ingat peraturannya, tolong jangan membuatku marah, aku mengajakmu tinggal di sini karena kau ku butuhkan, jadi jangan membuatku berpikir kau tak berguna," kata Erlando, lalu menaiki anak tangga. "Baik, Tuan," ucap Cahaya. Cahaya lalu masuk ke kamar yang ditunjuk Erlando, Cahaya terpana melihat kamar yang begitu rapi, sprei berwarna putih dan dua bantal berwarna hitam, begitu pun dengan selimut berwarna hitam. "Aku tebak, sepertinya dia suka warna hitam putih," gumam Cahaya. Cahaya lalu menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, empuk sekali. Cahaya tersenyum. Meski menikah dengan Erlando tak berbeda menikah dengan Kang Jamil, namun setidaknya Erlando masih muda dan tidak memiliki pasangan, sedangkan Kang Jamil memiliki istri yang masih muda. Jika Cahaya menikah dengannya, Cahaya akan menjadi istri kedua. Cahaya bersyukur bisa bekerja dan dibayar atas jasanya. Erlando menghempaskan tubuhnya di atas ranjangnya, ia membuka dua kancing kemeja kerjanya. Erlando memiliki insomnia akut, ia mengkonsumsi obat tidur, jika tak meminumnya, ia tak akan bisa tidur. Karena itu, ia tidak suka suara bising apa pun, karena ketika matanya tak bisa terpejam, ia mencoba mencari kegiatan lain seperti bekerja atau berolahraga. Cahaya membuka kopernya dan menaruh pakaiannya didalam lemari yang kosong. "Sungguh. Ini adalah kebanggaan, akhirnya aku bisa tidur ditempat yang nyaman," kata Cahaya. "Tapi ... bagaimana dengan Farhan?" Cahaya menundukkan kepala, ia dan Farhan sudah menjalin hubungan selama hampir 3 tahun, karena Farhan harus kuliah di Turki, akhirnya mereka menjalani hubungan jarak jauh. Demi uang ia menggadaikan perasaannya, namun Cahaya berharap nantinya sebelum Farhan kembali, ia dan Erlando sudah bercerai. Semoga saja itu terjadi. Cahaya harus melakukan ini demi uang, hanya uang yang ia butuhkan. Uang seolah-olah yang dapat membuat hidupnya berubah. *** Esok paginya Cahaya bangun sangat pagi. Sudah kebiasaan baginya bangun pagi buta dan menyiapkan segala sesuatunya. Seperti sarapan dan perlengkapannya bekerja. Setelah menyiapkan nasi goreng terasi dan telur ceplok, Cahaya menaruhnya di atas meja, ia mencoba membalas budi baik Erlando karena sudah membiarkannya tinggal di sini. Cahaya kembali ke kamar dan mengambil tasnya, ia mengenakan baju kaos putih, dan celana jeans di atas tumit, setelah itu mengenakan sepatu kets berwarna putih. Setelah itu, wanita itu meninggalkan penthouse dan menuju ke kantor untuk mulai bekerja. Meski pagi baru menunjukkan pukul 6. Itu lah tugasnya sebagai office girl, harus tiba di kantor jam 6.15 dan mulai bekerja, sebelum para staf mulai bekerja. Erlando merasakan penciumannya begitu menyengat. CEO itu menghela napas panjang, ia baru saja selesai mandi dan ketika keluar dari kamar mandi, penciumannya terganggu oleh aroma terasi. Lelaki itu keluar dari kamarnya dan melihat Damian tengah menaruh kopi di atas meja, seperti biasa Damian akan menjadi barista di pagi hari menyiapkan kopi dan roti untuk sang CEO. "Damian, bau apa ini?" tanya Erlando. Damian tertawa kecil dan berkata, "Sepertinya Anda harus mencobanya, Tuan," kata Erlando. "Apa ini? Mencoba apa? Kenapa baunya menyengat sekali?" "Ini aroma terasi, Tuan, orang di sini menggunakan terasi itu sebagai perasa makanan." "Lalu?" "Maafkan saya, Tuan, ketika saya sampai di sini, makanan ini sudah ada di atas meja," jawab salah satu pelayan yang bekerja di penthouse Erlando, mengenakan seragam hitam dengan celemek berwarna putih. Pelayan itu bernama Jumi, yang akan bekerja di pagi hari dan pulang di sore hari. "Sepertinya Cahaya yang memasak itu, Tuan," sambung Damian. "Wanita sungguh mengganggu ketenanganku," gumam Erlando, lalu masuk kembali ke kamar untuk bersiap. "Cahaya? Siapa Cahaya, Pak?" tanya Jumi pada Damian. "Cahaya itu tunangan Tuan," jawab Damian. "Apa? Tuan sudah bertunangan?" Damian menganggukkan kepala. "Benar. Jadi setidaknya jaga sikapmu." Jumi menganggukkan kepala. Sesaat kemudian, Erlando keluar dari kamarnya, ia mengenakan setelan jas, karena Erlando tak suka mengenakan dasi jadi satu kancing kemejanya terbuka, memperlihatkan sedikit bulu halusnya. "Apa yang Cahaya masak? Kenapa bisa berbau?" tanya Erlando duduk dikursi kebesarannya. "Nasi goreng terasi, Tuan," jawab Jumi. "Nasi goreng terasi?" Jumi menganggukkan kepala, sedangkan Damian menuangkan kopi ke cangkir kosong. "Apa itu nasi goreng terasi?" tanya Erlando membuat Jumi tersenyum. "Nasi goreng terasi itu sudah menjadi makanan khas orang sini, Tuan, dan biasanya nasi goreng terasi itu di sediakan untuk sarapan pagi," jawab Jumi menjelaskan. "Oh begitu? Tapi, wanginya ini memang seperti ini?" tanya Erlando lagi. "Aroma terasi ini sudah menjadi kebiasaan bagi orang sini, Tuan, aroma ini adalah aroma yang enak dan menggugah selera." Jumi kembali menjelaskan. "Aku pikir wanita itu mau meracuniku," gumam Erlando. "Iya, Tuan?" "Tidak. Aku berbicara sendiri." Erlando menggelengkan kepala. "Damian, kamu bisa memakan nasi goreng terasi itu," sambung Erlando. "Tapi, Tuan—" "Makan lah dulu, dan berikan penilaianmu padaku." Damian menganggukkan kepala. Lelaki itu tahu jika atasannya itu takut makan makanan seperti ini, jadi Damian yang akan mencobanya duluan, jika tak terjadi apa-apa, Erlando akan menyusul memakannya. Damian lalu mencicipi nasi goreng buatan Cahaya, dan menganggukkan kepala ketika rasanya sangat enak. "Bagaimana?" tanya Erlando. "Enak sekali, Tuan, bahkan rasanya sangat pas. Wah .. Cahaya pintar juga masaknya." "Enak?" Damian menganggukkan kepala. "Berikan aku sedikit. Selama tinggal di Indonesia, aku memang sangat jarang makan makanan rumahan seperti itu," kata Erlando membuat Jumi sehera mengambil piring dan memuat nasi goreng buatan Cahaya. Setelah itu Jumi membawa nampan dan diberikan kepada majikannya. Selama ini, Jumi memang selalu memasak makanan khas dari luar negeri, ia tidak pernah menyediakan makanan seperti ini, karena berpikir jika tuannya itu tidak akan menyukainya. Erlando lalu mencicipi nasi goreng buatan Cahaya, awalnya ragu, namun karena rasa penasaran, akhirnya Erlando memakannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD