Selama tiga hari Dany ditemani adiknya Diki pergi ke India untuk kepentingan bisnis. Jika Dany tidak di rumah biasanya Tasya akan tidur di kamar sang Mama. Walaupun sebentar lagi berusia 16 tahun, namun gadis itu masih manja.
Saat ini ia berada di kamar ibunya. Usai maskeran dan memoleskan cream malam di wajah cantiknya, Heni langsung berbaring di atas ranjang. Wanita itu sangat rajin melakukan perawatan kulit. Di usianya yang menjelang 40 ia harus melakukan perawatan ekstra apalagi suaminya kan jauh lebih muda. Ia tidak mau terlihat tua jika berada di samping Dany.
Di Ranjang Tasya sudah memeluk bantal doraemonnya. Hari-hari biasa mana berani ia masuk kamar orang tuanya.
Dany telah membuat batasan-batasan terhadap anak dan orang tua mengenai ruang pribadi alias kamar. Peraturannya cukup ketat karena Tasya sudah remaja. Dany sendiri tidak berani memasuki ruang pribadi Tasya. Semua dilakukan untuk menghindari hal buruk.
" Ma..,Mama dulu waktu SMA punya pacar ga?" Tasya membuka obrolan menjelang tidurnya.
" Ha..ha...ko nanya itu? Jangan-jangan kamu lagi jatuh cinta ya atau punya pacar?" Heni tertawa. Akhir-akhir ini ia memperhatikan perubahan pada diri Tasya yang juga diakui oleh Dany.
Rajin mandi, selalu rapi dan wangi, sering senyum-senyum sendiri. Kecentilan banget.
" Tasya cuma mau tahu aja tentang Mama." Jawabnya.
" Kecengan sih banyak. Tapi ga pernah pacaran." Jawab Heni jujur.
Mungkin ini masanya Tasya bercerita tentang hal itu dengan dirinya. Sebagai seorang ibu ia harus bijak mendengar dan berbagi cerita pengalamannya.
" Hah? masa sih. Ga mungkin kalau Mama ga laku. Mama kan cantik." Tasya tidak percaya.
" Kamu lucu deh. Serius waktu SMA Mama ga pernah pacaran. Mama sibuk sayang, Semua yang ngejar Mama tolak. Ga ada waktu buat pacaran. Mama kan sibuk kerja." Heni menjelaskan.
" Tasya ga kebayang." Tasya masih tidak percaya dengan cerita sang Mama tercinta.
" Pulang sekolah tuh Mama bantu Bunda Azizah bikin kue pesanan pelanggan. Apalagi akhir pekan pesanan sering membludak. Pokoknya sibuk banget." Seru Heni.
Ia membayangkan kembali masa-masa sekolahnya dulu. Ia harus bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu karena dirinya seorang yatim piatu. Bunda Azizah sendiri bukanlah orang kaya. Ia hanya mengandalkan usahanya menerima pesanan kue. Ayah angkatnya juga sering sakit-sakitan.
Tak akan ada yang menyangka jika Heni yang sekarang menyandang status Nyonya Dany Hadiwijaya yang kaya raya memiliki masa lalu yang kurang menyenangkan.
" Kasihan ya Mama." Tasya merasa iba.
Keadaan yang berbanding terbalik dengan dirinya saat ini. Ia memiliki segalanya. Tidak perlu memikirkan mencari uang untuk jajan dan biaya sekolah. Semua keperluan sudah dijamin oleh orang tuanya.
" kalau ga bantu Mama ga bisa punya uang jajan." Heni tersenyum.
" Terus first love nya Mama siapa?" Tasya benar-benar ingin tahu.
" Mama Pacaran cuma sekali." Tasya kaget.
" Sekali? Berarti Papa Hilman cinta pertama Mama.." Tasya semakin penasaran.
" Iya. Dia kakak tingkat Mama waktu kuliah dulu. Cuma beda jurusan. Kita kenal cukup lama hampir 4 tahun. Sampai Mama lulus kuliah. Dia juga yang bantuin Mama waktu skripsi." Kenangnya.
" Wah Papa Hilman beruntung banget."
" Lulus kuliah kita menikah. Sayangnya waktu menikah orang tuanya tidak setuju karena orang tuanya sudah memilihkan calon untuknya." Curhat Heni.
" Tapi kalian saling mencintai kan?"
" Iya."
" Terus cerita yang lainnya?" Tasya terus bertanya tentang masa lalu ibunya.
" Maksudnya?" Heni menatap Tasya.
" Om Fikri sama Papa Dany?"
" Ha..ha...kok bawa-bawa Om Fikri sih. Om Fikri itu cuma teman sayang." Heni ga habis pikir dengan pertanyaan yang diajukan putri sulungnya.
" Aku pikir dulu kalian mau menikah." Jawab Tasya polos.
Keduanya sudah berselimut dan mulai menguap.
" Kalau Papa Dany gimana?"
" Tasya kok jadi wawancara Mama gini sih." Heni pikir Tasya tidak akan bertanya lagi.
" Ayolah Ma cerita. Tasya kan bukan anak kecil lagi." Rengek Tasya.
" Papa Dany cinta terakhir Mama." Wanita itu tersenyum. Itu memang faktanya. Wanita itu tidak pernah bermimpi menikah dan jatuh cinta kepada Dany yang lebih cocok menjadi adiknya. Semua gara-gara nikah kontrak itu.
" So sweet banget Ma. Tapi kok bisa sih jatuh cinta sama brondong." Tasya tertawa renyah.
Untuk hal itu Heni tidak bisa jujur pada Tasya. Biarlah kisah cinta Heni dan Dany hanya mereka dan orang-orang terdekat yang tahu. Tasya masih di bawah umur untuk memahami semuanya. Yang jelas saat ini Heni dan Dany keduanya saling mencintai.
" Cinta itu milik semua orang sayang. Papa Dany kan baik, ganteng, kamu kan dulu yang minta Mama cari Papa yang banyak duitnya." Heni setengah bercanda.
"Oke sekarang mama mau nanya Kakak Tasya yang cantik lagi jatuh cinta sama siapa?" Heni balik bertanya. Sedari tadi hanya dirinya yang berbicara.
" Mama jangan marah ya..." Tasya gugup.
" Marah kenapa. Jatuh cinta itu normal sayang. Artinya kamu udah beranjak dewasa."
" Sama kakak kelas Ma." Tasya malu-malu.
" Siapa? cakep ga?" Heni penasaran.
" Jangan bilang Papa ya! Aku suka sama Kak Rangga." Saat memberikan jawaban pipi Tasya seperti kepiting rebus. Untung lampu kamar sudah diganti dengan lampu tidur.
" RANGGA!!? Kasir di Tripple N?" Heni terkejut.
" Iya...Ma." Jawab Tasya
"Sejak kapan kamu suka sama Rangga?" Heni bertanya lebih lanjut.
" Sejak pertama masuk sekolah."
" Mama ga setuju. Kamu jangan pacaran sama Rangga." Tolak Heni tidak setuju.
" Lho kenapa Ma? Tasya cuma suka aja dan sejauh ini kami cuma berteman." Tasya heran dengan sikap sang Mama. Bukankah selama bekerja di tokonya, Rangga tidak pernah bermasalah.
" Baguslah kalau hanya berteman. Ingat jangan pacaran." Heni memperingatkan.
" Tapi kenapa Ma?" Tasya tidak terima dengan penolakan itu.
" Mama masih trauma dengan perlakuan keluarga Papa Hilman. Jadi sebaiknya kamu jangan berpacaran dengan orang Minang. Mama takut kamu mengalami hal yang sama." Jawab Heni.
Sebuah alasan yang cukup mengagetkan Tasya.
***
TBC
Untung Papa Dany lagi ga di rumah. Jadi ga tahu obrolan mereka.