Sebelas

1792 Words
" Tasya dan Alin asyik mengobrol ke sana kemari. Banyaknya sih tentang Rangga. Mereka merasa bebas tanpa takut ada yang menguping karena di rumah hanya ada mereka berdua. Tak terasa waktu pun sudah siang. " Udah jam 12 nih, aku mau pulang ya." Ujar Tasya saat melihat jam di dinding. " Buru-buru amat. Kita makan siang dulu. Lagian di luar masih hujan." Ajak Alin. " Makasih Lin. Aku mau makan siang di rumah Oma. Keluarga aku udah nungguin. Lagian hujannya udah mulai reda kok" Kemudian Tasya mengambil ponsel di tasnya. Mengirim pesan kepada sopirnya agar segera menjemputnya di depan Warteg Sederhana. " Oke deh. Tapi kapan-kapan main lagi ya." Pinta Alin. "Iya Insya Allah. Sambil nunggu jemputan aku ikut sholat dulu ya." " Boleh." Usai Sholat lalu Tasya bersiap diri. Begitu pun dengan Alin yang hendak mengantar Tasya sekalian ke warung bantu orang tuanya. Keduanya berada di luar. Ditangannya Alin sudah memegang sebuah payung. Begitu pun dengan Tasya. Selama musim hujan benda yang satu itu selalu dibawanya. "Kemana-mana diantar jemput ya." Tasya dan Alin berjalan menyusuri gang. " Iya" " Sekali -kali coba naik angkutan umum dong." Seru Alin. " Naik Taksi pernah." " Naik angkot atau bis maksudnya." Alin mempertegas maksudnya. " Mana berani. Takut ah. Lagian Papa aku pasti melarang keras." Jawab Tasya. Tasya memang tidak pernah naik bis ataupun angkot ke sekolah. Kemana pun pergi kalau tidak di antar Pak Ading, diantar Mama atau Papanya. " Kapan-kapan cobain. seru lho. Itung-itung berpetualang." Alin malah memberikan tantangan. Tasya seolah terpengaruh dengan perkataan Alin. " Ha..ha...hmm boleh juga. Tapi harus barengan kalau sendiri takut." Keduanya berpisah saat mobil yang dikendarai Pak Ading berhenti tepat di depan gang dimana mereka berdiri. *** Seorang pemuda terbaring di atas kasur ukuran 4. Sejak pukul 12 tadi ia tidak keluar dari kamar kostan yang berukuran 3x3 m tersebut. Ia berusaha memejamkan matanya untuk beristirahat. Namun sia-sia, ia sulit untuk tertidur. Bayangan seorang gadis cantik selalu saja menganggu pikirannya. Dialah Rangga Abdul Mateen siswa teladan paling jenius dengan segudang prestasi. Pemuda berdarah Minang yang sedang merantau di Jakarta untuk menempuh pendidikan SMA. Mantan Ketua OSIS dan Pradana Pramuka itu rupanya sedang jatuh cinta dengan sosok gadis berkulit putih berpipi tembem yang bernama Natasya. Akhir-akhir ini ia selalu memikirkannya. Ia sendiri tidak menyadari entah sejak kapan? Rangga yang dulu terkenal dingin, sedikit angkuh, jarang bicara, jaim sekarang berubah menjadi Rangga yang lebih ramah. Entah keberanian dari mana ia berhasil mengajak Tasya mengobrol. Pertemuannya tadi pagi  begitu berkesan. Makan bersama lalu mendapat kue yang rasanya enak. Hmm kebahagiaan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Natasya. Gumamnya. Akhirnya setelah sekitar setengah jam ia dapat memejamkan matanya. Rangga harus menyiapkan tenaga untuk malam nanti. Sang pemilik toko yang merupakan Mama Tasya telah mengizinkannya mengambil cuti sebab seminggu ini akan berlangsung UAS. Namun ia menolaknya. Rangga bekerja selama 4 jam sehari dengan upah 15 ribu per jam. Jika ia libur selama sepekan artinya ia akan kehilangan uang 480ribu. Untuknya uang senilai itu sangatlah besar artinya untuk menambah uang sakunya. Sebetulnya setiap bulan orang tua Rangga dari kampung selalu mengirimnya namun Rangga ingin menyimpan uangnya untuk biaya kuliah nanti. Cita-citanya ingin masuk fakultas kedokteran yang biayanya tentu sangat mahal. Walaupun ia menerima beasiswa tapi untuk keperluan lainnya ia pasti butuh banyak biaya. *** " Assalamualaikum." Tasya mengucap salam ketika memasuki rumah besar itu. Rumah kediaman keluarga Hadiwijaya. " Waalaikumsalam." Jawab seorang ART. Tasya langsung menuju bagian teras belakang rumah ketika di ruang keluarga tidak menemukan siapapun. " Kirain Kakak ga kan ke sini." Ujar Heni yang sedang menyuapi Dhifa dan Dhira. Si Kembar berada di pangkuan Erik menonton film kartun di ponselnya. " Sesuai pesan Papa, Tasya ga pulang sore. Jadinya langsung ke sini." Gadis itu lalu mengeluarkan bungkusan dari tasnya. " Siapa yang mau Yupi..." Satu bungkus Yupi yang dijanjikan tadi pagi untuk adiknya ada di tangan Tasya. " Dila mau.." Jawab Dhira " Ifa juga mau." Seru Dhifa. Kedua anak kembar itu pun berebut permen Yupi berbentuk binatang. " Dibagi dua ya." Erik menengahi. " Ya udah kamu temenin Erik jagain Dhifa dan Dhira. Mama bantu dulu Oma nyiapin makan siang. Setelah suapan terakhir untuk Dhifa wanita itu meninggalkan mereka. " Emang kamu darimana?." Tanya Erik setelah Mamanya Tasya tak terlihat. " Rumah Alin." Jawab Tasya. " Modus. Pasti mau ketemuan Galih ya." Erik malah menuduh. Ia kenal dekat dengan Galih karena Galih salah satu seniornya di PA. Bahkan Galih sering mampir ke rumah. " Erik apaan sih ngaco kamu. Enak aja. Ga ada di kamus aku yang namanya Galih." Tasya tidak terima tuduhan Erik. " Oh...kalau bukan Galih berarti RANGGA." Pemuda berwajah bule itu tersenyum. Sebuah pernyataan yang membuat Tasya kaget. Bisa-bisanya sepupunya itu memberikan tebakan.  Tasya jadi gugup. " Awas ya kalau di depan Papa aku, kamu ngomong yang enggak-enggak." " Ha..ha..bener kan?!!" Erik merasa tebakannya benar. " Ga usah nuduh sembarangan. Ingat kalau kamu berani ngegosipin aku ke Papa, aku juga bakalan bocorin tentang kamu ke Oma sama Opa biar kamu dideportasi ke Belanda." Tasya mengancam. Wajahnya terlihat cemberut. " Emangnya kamu tahu apa tentang aku?" Erik menantang Tasya. " Balapan liar di malam Minggu. Kamu pikir aku nggak tahu. Malahan akhir-akhir ini kamu yang jadi bintang di podium. Bener kan." Tasya tersenyum penuh kemenangan. " Tasya..." Erik terperangah kaget. Itu rahasia besar dia. Setiap malam Minggu ia sering balapan. Izin kepada Oma buat menginap di rumah sahabatnya. " Makanya jangan sok ngelaporin aku ke Mama en Papa" Tasya kembali tersenyum. *** TBC Segini dulu ya, makasih udah baca part ini. " Kebetulan kakak belum sarapan." Katanya. Tasya mengekor. Mengikuti pemuda yang akhir-akhir ini sering hadir di mimpinya. Begitu masuk ke dalam tercium aroma masakan khas warteg. Suasana warung tidak terlalu ramai. " Kamu udah sarapan belum. " Tanya Rangga. Rencananya ia mau membungkus nasinya. " Udah Kak. Tapi kayanya aku juga mau makan. Masakannya kayanya enak." Jawab Tasya dengan yakin. " Ya udah kita makan di sini. O iya kamu ga papa makan makanan warteg?" Tanya Rangga setengah berbisik. Sebenarnya ia tidak yakin jika Tasya mau makan makanan warung. Gadis kaya raya seperti Tasya kan biasanya gengsian. " Emang kenapa? Aku suka semua makanan Kak. Asalkan halal, tidak mengandung racun dan tidak basi. Masakan dari Sabang sampai Merauke aku suka." Jawab Tasya  sambil tersenyum. Jawabannya memang jujur. Tentu saja sebuah jawaban yang membuat Rangga kagum. Jarang-jarang ada anak orang kaya yang mau makan sembarangan. Tasya memang tidak suka pilih-pilih makanan. Perutnya kebal. Mau itu makanan pinggir jalan ataupun restoran. Ia juga suka pedas. Seleranya sama dengan Dany yang hobby wisata kuliner. Mereka berdua sering dengan sengaja mampir ke warung tenda atau angkringan. Jadi, makan di jalan bukanlah hal yang aneh. Sungguh jauh berbeda dengan sang Mama yang lebih pilih-pilih makanan. Wanita itu juga tidak terlalu suka pedas. Tidak sembarangan membeli makanan.Terkadang lucu juga sih sebenarnya Tasya itu anak Dany atau Heni. Satu hal yang selalu Tasya ingat nasihat Dany. Dilarang keras membuang makanan.  Dany tidak suka jika melihat makanan terbuang percuma. Mubadzir katanya. Padahal di luaran sana banyak orang yang kelaparan. Makanya kalau makan Tasya tidak pernah bersisa walau hanya satu sendok. " Nak Rangga...mau makan?" Seorang Wanita menyapa Rangga. Sepertinya itu ibu Alin. Wajahnya mirip. " Iya Bu. Makan di sini." Jawab Rangga kemudian ia duduk di bangku di ikuti Tasya. Mereka duduk berdampingan. " Itu siapa?" Tanya Ibunya Alin. " Itu Tasya temannya Alin." Jawab Rangga. Tasya tersenyum. " Apa kabar Tante?" Lalu Tasya berdiri sesaat dan memberikan tangannya untuk memperkenalkan diri. " Alhamdulillah baik. Nanti mampir dulu ke rumah ya." Ajak Ibunya Alin. " Iya, kebetulan Tasya memang mau ke rumah Alin." Jawab Tasya. " Mau makan apa?" Wanita berusia 40an itu kini memegang piring. " Kembung sama daun singkong Bu." Pesan Rangga. " Nak Tasya?" " Sayur gudeg pake telor sama kerupuk. Nasinya dikit aja ya." Jawab Tasya. " Minumnya?" " Tasya mau teh tawar hangat." " Saya juga Bu sama" Ucap Rangga Kini keduanya asyik menyantap hidangannya. Bagi Tasya ini adalah acara makan paling istimewa. Jauh dari kata romantis seperti di n****+ atau film-film saat acara dinner namun sangat berkesan. Sarapan bersama orang yang dicintainya di warteg sudah cukup membuatnya benar-benar bahagia. Cinta? Mungkin Tasya memang benar sedang jatuh cinta. Sampai lupa memberi kabar kepada Alin kalau dirinya sudah sampai. " Semuanya berapa Bu?" Rangga berdiri hendak membayar. " 20 ribu." Rangga mengeluarkan uang selembar dua puluh ribu lalu diberikan kepada Ibu Alin. Biasanya kalau makan rame-rame selalu Tasya yang kebagian jatah untuk membayar tagihan. Ini kali pertama seseorang yang membayar makanannya. " Mari bu. Permisi" Pamit Rangga dengan sopan " Iya makasih ya Nak." *** Usai keluar dari warteg keduanya berjalan menyusuri sebuah gang. Hanya sekitar 100 meter dari gang mereka sudah tiba di depan rumah Alin. " Ini rumah Alin. Kostan Kakak 5 rumah dari sini." Rangga menunjukkan rumah Alin. Rumah sederhana berpagar bambu. Ini adalah hari keberuntungan Tasya. Ketemu Rangga, Makan bareng ditraktir, diantar ke rumah Alin. Duuh senenangnya...Hari yang tadinya mendung berubah cerah. Padahal kenyataanya masih tetap mendung walaupun tidak jadi hujan. " Tasya....ih dari tadi aku nungguin lho. Eh ada Kak Rangga." Tiba-tiba terdengar suara Alin keluar dari pintu rumahnya. Dari tadi ia memang menunggu Tasya. " Maaf ya, tadi Tasya nemenin kakak dulu makan." Rangga meminta maaf. Setengah jam mereka menghabiskan waktu bersama. " Masuk yuk..." Ajak Alin. " Kak Rangga ga mampir dulu?" Alin mengalihkan pandangan kepada cowok tampan bertubuh tinggi itu. " Maaf kebetulan kakak mau mandi dulu terus ada janji dengan teman." Tolaknya halus. Ia kurang pede juga karena keadaannya berkeringat. Tadi saja di warteg ia merasa risih takut kalau Tasya mencium aroma keringatnya. Sebetulnya Rangga sering main ke rumah Alin tentu untuk menemui Galih kakak kandung Alin teman sekelas Rangga. " O iya ini Kak, buat kakak. Itu aku yang buat. Di toko Mama ga ada." Tasya memberikan bingkisan kue kepada Rangga. Di dalam kantong plastik itu memang ada dua kotak yang besar dan kecil. Satu yang kecil memang sengaja untuk Rangga. " Makasih banyak ya. Kalau gitu permisi." Rangga undur diri. " Sama-sama kak. Udah anterin aku sampai sini." Rangga berlalu dari hadapan Alin dan Tasya. Sementara kedua gadis itu masuk rumah. *** " Cie..cie...kok bisa jalan bareng sih gimana ceritanya tuh." Alin menggoda Tasya. Keduanya kini duduk di kursi ruang Tamu. " Kamu godain aku aja." Ujar Tasya. Senyuman terus mengembang. Bahkan wajahnya memerah. " Cerita dong." Pinta Alin " Iya bentar. Ini nih ada kue buat kamu." Tasya memberikan kantong plastik yang di bawanya. " Makasih banyak ya." " Sepi amat pada kemana?" " Ibu sama Ayah di warung. Mas Galih lagi ke bengkel benerin motor. Bentar ya aku ambilin minum." Alin kembali lagi dengan 2 cangkir berisi teh. Pastinya teh beraroma melati khas Tegal yang dicampur gula. Keduanya asyik mengobrol tentunya tentang pertemuan Tasya dan Rangga. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD