Chapter 3

1036 Words
Jakarta Timur. Pukul 17.00 sore. Menyesal itu pasti datangnya belakangan. Seperti halnya yang dirasakannya pada Franklin saat ini ketika ia tidak berbasa-basi hanya untuk sekedar memberi tumpangan kemudian mengantarkan Ava pulang kerumah. Franklin sudah tiba di parkiran halaman rumahnya yang begitu besar. Franklin mematikan mesin mobilnya sembari menatap keluar melalui jendela mobil. Dulu di parkiran mobil ini, terdapat empat mobil. Diantaranya mobil milik Daddynya, Kakaknya yang bernama Aifa, lalu saudara kembarnya si Frankie kemudian mobil dirinya sendiri. Sekarang, mobil Aifa dan Frankie sudah tidak ada dan berada di rumah mereka masing-masing karena sudah berkeluarga hingga menyisakan mobil Daddy dan dirinya. Tatapan Franklin beralih menatap kerumah besar yang berdiri megah sejak dulu. Rumah impian yang sengaja di bikin oleh Daddynya agar dimasa depan semua anak, menantu,cucu dan cicitnya bisa berkumpul bila Allah memberi umur yang panjang serta kesehatan. Nyatanya ketika anak dewasa kemudian menikah pun, pada akhirnya mereka akan memilih tinggal di rumah masing-masing meskipun sebagian diantaranya ada yang masih tetap tinggal bersama orang tuanya. Dalam hati Franklin bertanya-tanya, Bila suatu saat ia menikah, apakah ia akan meninggalkan rumah ini dan menempuh hidup baru dengan calon istrinya suatu saat di rumah yang baru? Franklin hanya menghedikan bahunya tidak perduli. Baginya, usianya memang matang untuk menikah. Tapi ia akan tetap santai karena ia yakin suatu saat, jodoh tersebut akan tiba dan dipertemukan diwaktu yang tepat. Iya, itu saja. Ia yakin dengan hal itu. Kediaman Hamilton. Pukul 21.00 Malam. Franklin menatap layar laptopnya dengan serius. Ia sedang mencari tahu tentang kota solo dan perkembangan perekonomian perusahaan yang ada di kota tersebut. Tak hanya itu, ia juga membaca beberapa artikel tentang kebudayaan kota solo, adat istiadat, serta banyak hal lainnya. Tatapan Franklin beralih ke berkas proposal sebuah proyek terbaru mengenai perusahaan pangan yang rencananya akan di dirikan di kota solo setelah Daddy Fandi menyutujuinya. Franklin pun melirik kearah jam dinding. Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam. Seketika ia menghela napasnya karena belum melaksanakan sholat isya empat raka'at. Franklin berdiri dan segera mengambil air wudhu. Rupanya kesibukan urusan duniawi paling sering membuatnya lalai dalam beribadah. Dari jarak beberapa meter, tanpa ia sadari pintu kamarnya sedikit terbuka dan Ayesha hanya menggelengkan kepalanya dan mendengkus kesal mengapa jam segini putranya itu baru melaksanakan sholat isya? Dengan perlahan Ayesha menutup pintunya tanpa menimbulkan suara. Tatapannya begitu datar dan rasanya ia sudah tidak sabar ingin memaki putranya itu yang kini hidupnya terlalu santai. Tak hanya untuk urusan duniawi, tapi juga kewajibannya terhadap sholat 5 waktu. "Ada apa?" Fandi mengerutkan dahinya begitu melihat istrinya baru saja menuruni anak tangga. "Putramu itu, kenapa dia menyebalkan?" "Putramu? Putra kita, Ayesha." Ayesha menghela napas panjang. "Dia sering melalaikan kewajiban sholat 5 waktu. Dia sudah dewasa, apakah dia tidak berpikir bawah caranya dia itu salah?" "Kita bisa menegurnya." "Yang kesekian kalinya?" timpal Ayesha. "Mau ke ribuan kali pun, sebagai orang tua kita harus wajib mengingatkan tentang kebaikan pada anak-anak kita." "Tapi Fan, Ya Allah, dia itu menang tampan dan sukses saja! Tapi belum nikah bahkan sholatnya pun belum benar!" "Doakan saja, Ayesha," Fandi pun mendekati istrinya. "Ayo tidur, sudah malam." Keesokan harinya. HM Corporation, Jakarta Timur. Pukul 11.50 Siang. Pintu ruangan terbuka. Asisten pribadi bernama Aldi pun menghampiri Franklin sambil membawa berkas hasil rapat kemarin. "Asalamualaikum, Pak." "Wa'alaikumussalam." "Ini berkasnya. Pak Frankie bilang kalau tidak ada halangan, insya Allah dua Minggu lagi kita ke Solo." "Oke." Aldi hanya mengangguk. Ia menatap atasannya itu yang tetap santai seperti biasanya. Usia Aldi saat ini sama dengan Franklin, yaitu 30 tahun. 5 tahun Aldi menjadi asisten pribadi di perusahaannya itu membuatnya banyak mengetahui sifat dan perilaku atasannya. Tapi tidak dengan urusan pribadi. Franklin masih terdiam sambil mengetik sesuatu di laptopnya. "Pak?" "Ya?" "Malam ini ada acara, pernikahan karyawan di HM Corporation Bapak. Undangannya sudah saya beri kemarin." "Oke." Aldi hanya mengangguk. Ia sadar, Franklin bukan tipe yang banyak berbicara dan berucap bila seperlunya. "Siang ini Bapak mau makan cateringan dari perusahaan atau di luar?" "Diluar saja." "Oke, Pak." Restoran siap saji Keluarga, Pukul 13.00 siang. Jakarta Timur. "Pak, biar saya yang antri." tawar Aldi begitu mereka memasuki restoran siap saji tersebut. "Kamu cari tempat, aku bosan kalau kebanyakan duduk." sela Franklin. "Tapi Pak-" Dan Franklin sudah melenggang pergi dengan santai. Aldi menatap Franklin yang dengan percaya dirinya memasuki antrian yang lumayan panjang untuk memesan makanan. Karena antrian lumayan panjang, Franklin akan tetap santai menunggu di antrian tersebut dengan ciri khas penampilan yang cool, rapi, wangi, dan kemeja putih yang di gulung hingga kesiku. Seseorang menyentuh lengannya. Franklin segera menoleh ke samping dan menatap seorang pria yang pernah menjadi teman sekolah menengah atas di kota Jakarta. "Wah, bro! aku tidak menyangka kita akan ketemu." Franklin tersenyum meskipun tidak terlalu lebar. "Oh iya, sama. Kamu apa kabar?" "Alhamdulillah baik. Minggu ini jangan lupa datang ya." "Acara apa?" "Nikahan lah. Insya Allah Minggu ini aku resepsi. Kamu tidak tahu ya?" "Tidak." "Undangannya sudah aku share di grup w******p. Jangan lupa datang ya." "Insya Allah." Akhirnya keduanya pun sama-sama terdiam. Berbincang dengan seperlunya saja. Franklin tidak pernah membuka obrolan grup teman sekolahnya itu karena baginya tidak terlalu penting dan memilih menyimak saja. Temannya yang akan menikah itu seorang karyawan kasir di salah satu minimarket kota Jakarta dan akan melepas status lajangnya sebentar lagi. Franklin menoleh kearah temannya. Bila dilihat, rupa wajah temannya itu terkesan biasa-biasa saja. Pekerjaan dan kehidupannya juga terbilang sederhana. Sedangkan dirinya? Melebihi dari kata sederhana. Seketika hati Franklin sedikit tersentil mengapa di balik wajahnya yang tampan dan karirnya yang mapan itu para wanita tidak hadir dalam hidupnya? Tanpa sengaja seorang wanita cantik menatapnya dari jarak beberapa meter. Wanita itu hanya melihatnya sejenak lalu berpaling ke lain. Franklin tetap santai. Ia sudah sering di tatap banyak wanita cantik di sekelilingnya. Tapi mungkin belum waktunya jodoh itu datang menghampirinya, itu saja. Jadi untuk apa di pusingkan soal jodoh? Wajahnya tampan dan ia merupakan pria kaya dengan hidup santai tanpa beban. Sesantai dirinya ketika tanpa ia sadari saat seorang pencopet mengambil dompet di belakang celananya. Gimana reaksinya nanti? Panik atau santuy? Wkwkwkwk Maksih sudah baca. Makasih sudah nunggu bab ini kembali update. Alhamdulillah revisi author udh selesai yg berjudul Raihan dan Raisya. Insya Allah bs update 2 hari sekali seperti biasanya. Sehat selalu buat kalian yaa Selamat liburan bareng keluarga ❤️ With Love LiaRezaVahlefi Instagram lia_rezaa_vahlefii
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD