Chapter 2

1208 Words
Jakarta Timur, Pukul 07.30. Jalanan kota Jakarta mulai padat seiring berjalannya waktu. Cuaca kali ini begitu cerah dan sinar mentari terasa hangat. Seperti biasa, ini adalah salah satu aktivitas Franklin dalam memulai pekerjaan setiap hari dengan mengemudikan mobilnya menuju HM Corporation. Franklin mengemudikan mobilnya dengan santai. Sesantai hidupnya yang berusia 30 tahun saat ini. Sesantai statusnya yang masih lajang dan paling jarang memikirkan persoalan wanita beserta cintanya. Mobil berhenti di persimpangan jalan raya ketika lampu merah sedang menyala. Tatapan Franklin terfokus pada seorang pria yang tengah menggandeng tangan istrinya yang sedang hamil menyebrangi zebra cross. Franklin terdiam lagi. Ia yakin bila suatu saat ia akan seperti itu dengan calon istrinya meskipun Allah belum mempertemukan dirinya dengan calon jodohnya. Tiba-tiba nama Ava terlintas di pikirannya. Seketika Franklin menarik kedua sudut bibirnya. Bagi Franklin, Ava itu cantik, cerdas, berprofesi sebagai Dokter bedah dan dari usianya saja sudah siap dinikahi. Tint! Suara klakson pengendara lain terdengar. Franklin pun segera mengemudikan mobilnya menuju HM Corporation sebelum benar-benar terlambat bekerja dan mengesampingkan urusan pribadi tentang wanita. HM Corporation, pukul 11.30 siang. Jakarta Timur. Frankie menatap adiknya ketika saat ini mereka duduk saling berhadapan. Frankie Hamilton, pria itu berprofesi sebagai presdir di HM Corporation sekaligus saudara kembar Franklin. "Seminggu yang lalu aku liburan babymoon ke kota Solo bersama Feby." ucap Frankie sambil bersedekap dengan nyaman di kursi kerjanya. "Lalu?" "Disana aku mencicipi mie yang sangat lezat di salah satu warung makan tradisional. Mie tersebut terbuat dari bahan sayur-sayuran sehat. Aku mencari tahu pada pemilik warung tradisional tersebut, ternyata mereka memesan pada salah satu warga yang memang memproduksi mie itu secara homemade." "Jadi maksudmu, kamu berniat kita mengembangkan perusahaan kita lagi di kota Solo?" Frankie mengangguk. "Iya, aku sudah membicarakan hal ini pada Daddy. Daddy menyetujuinya." Frankie terdiam. Sebuah peluang yang bagus untuk menambah penghasilan omset perusahaan HM Corporation yang bergerak di bidang perusahaan pangan. "Kalau begitu aku akan ke Solo dalam waktu dekat." ucap Franklin, ia pun segera berdiri dari duduknya. Frankie mengangguk. "Aku akan mengurus jadwal keberangkatanmu." "Oke." Bertepatan saat itu, ponsel Frankie berbunyi. Selagi Frankie menerima panggilan tersebut, Franklin menatap bingkai foto berukuran 5R yang terpajang dimeja kerja saudara kembarnya, sebuah foto keluarga. Difoto tersebut ada Frankie dan Feby, berserta anak-anak mereka berjumlah empat orang anak yang menjadi keponakan Franklin. Franklin terdiam sejenak. Dalam hati ia berpikir apakah suatu saat ia bisa berfoto seperti itu dengan istri dan anak-anaknya? "Cieee yang baper." Franklin menatap Frankie yang kembali mengejeknya setelah selesai melakukan panggilan telepon. Bila situasi sedang seperti itu, yang Franklin lakukan hanya bisa diam dan tetap bersikap santai. "Siapa yang baper?" tanya Franklin sambil mengerutkan dahinya. "Ya kamu lah, siapa lagi?" "Kenapa kamu menganggapku seperti itu?" "Karena dari raut wajahmu sudah terlihat jelas ketika dirimu menatap foto keluargaku." "Hanya dari raut wajah saja kan?" "Iya, memangnya kenapa?" Franklin menghedikkan bahunya sambil memasukan salah satu tangannya disaku celana kainnya. "Kalau begitu jangan sok tahu." "Tapi-" "Terkadang orang itu suka menebak-nebak. Seperti kamu sekarang ini." "Jadi kamu merasa tersinggung?" "Untuk apa?" Franklin tersenyum santai. "Hidup akan lebih baik bila dibawa santai, fokus beribadah, dan bekerja untuk menabung di masa depan." "Tapi kamu juga butuh calon pendamping hidup, Franklin. Kamu harus usaha." "Iya, tapi tidak sekarang. Ada saatnya." "Kapan?" tanya Frankie lagi. "Tapi kedua matamu itu terlihat sekali kalau kamu menginginkan seorang wanita." "Jadi kamu berniat sok tahu dan kepo?" "Kepo iya, sok tahu tentu saja tidak. " "Kalau begitu jangan kepo." "Tapi-" "Hanya Allah yang mengetahui tentangku semuanya, termasuk jodohku suatu saat." Franklin pun membalikkan badannya bertepatan saat Frankie hendak menjawab ucapan adik kembarnya itu. Frankie menghela napas panjang, adik kembarnya itu adalah salah satu pria Yang suka menjawab pertanyaan seseorang dengan simpel tanpa harus di pusingkan dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Jakarta Timur, Pukul 17.00 sore. Bila tadi pagi cuaca cerah dan panas, maka sore ini Allah menurunkan rahmat-Nya dengan hujan lebat yang mengguyur kota Jakarta. Ava sedang berada di depan butik setelah membeli salah satu pakaian muslim sebagai kado pernikahan temannya. Biasanya Ava mengendarai mobilnya. Tapi khusus hari ini, mobilnya sedang dalam perbaikan di bengkel. Sesekali Ava mengecek ponselnya, berharap salah satu driver layanan taksi online menerima orderannya. Sudah 20 menit berlalu dan Ava tidak mendapatkan satu driver pun untuk mengantarkannya pulang kerumah. Pintu butik terbuka, Franklin keluar dari butik tersebut karena baru saja membeli baju koko putih dan tidak menyangka akan bertemu dengan Ava. Tatapan Ava tiba-tiba bertemu pandang dengan Franklin yang ada di sampingnya. Franklin terlihat tampan sejak dulu dengan pakaian formal kemeja lengan panjang yang di gulung setengah hingga kesiku meskipun saat ini tidak ada jas formal di tubuhnya. Wajah Ava bersemu merah. Ia pun hanya tersenyum tipis dan segera mengalihkan tatapannya kedepan. Hatinya deg-degan setiap bertemu dengan Franklin. Franklin masih terdiam menatap Ava. Ia hanya bisa mencengkram kuat goddybag yang ada di tangannya sebagai penyalur rasa groginya. Kalau boleh jujur, sikap pemalu untuk memulai berbicara pada Ava adalah kekurangannya sejak dulu. Hujan turun dengan derasnya. Franklin menatap kearah langit yang menghitam. Kedua kakinya ingin mendekat ke samping Ava, tapi rasanya sangat berat. "Kamu tidak pulang?" Franklin tersentak dan langsung menoleh kesamping. Wajah manis Ava membuat bibir Franklin kelu hanya untuk membalas ucapannya. Ava tersenyum tipis. "Kamu, baik-baik saja?" Franklin mengangguk. "Em, iya. Aku, em, aku baik-baik saja." "Oh, kamu-" "Maaf ya, aku duluan. Permisi, Asalamualaikum." Dan Ava terdiam mematung melihat Franklin ketika secepat itu, dia pergi menuju parkiran mobil sambil berlari dan mengabaikan tetesan hujan yang membasahi sebagian tubuhnya. "Wa'alaikumussalam." ucap Ava akhirnya. Jantung Ava masih berdegup kencang. Dalam hati ia berharap, sedikit banyaknya pria itu bisa berbasa-basi padanya hanya untuk menawarkan tumpangan meskipun sebenarnya ia sendiri sangat sungkan. Ava mencengkram kuat goddybag yang ada ditangannya. Ntah kenapa hatinya tiba-tiba tidak tenang setelah menatap kepergian Franklin. Seperti ingin mengatakan sesuatu pada pria itu tapi tertahan. "Ya Allah, sudah 3 tahun aku menyebut namanya di setiap doaku selama ini. Kuharap Allah mengabulkannya karena aku menyukainya." Franklin mencengkram kuat kemudi mobilnya. Sudah 5 menit berlalu tapi ia masih belum menghidupkan mesin mobilnya. Dalam hati ia ragu, ragu untuk menawarkan tumpangan pada Ava agar dia bisa pulang kerumah. Tapi ia malu. "Antar, tidak, antar, tidak, antar, tidak." gumam Franklin dengan bimbang. Franklin pun memegang pintu mobil dan sedikit membukanya namun kembali menutupnya. "Ah, tidak. Aku malu." Franklin terdiam. Pikirannya tidak fokus dan sedikit gelisah. "Tapi bagaimana hujan tidak reda dan dia tidak bisa pulang atau mendapatkan taksi online?" Franklin kembali membuka pintu mobilnya lagi, salah satu kakinya sudah menginjak tanah, dan lagi, Franklin mengurungkan niatnya. "Tidak, tidak, tidak. Bagaimana kalau dia menolak tawaranku?" Dengan cepat Franklin menutup pintu mobilnya lagi bahkan mengemudikannya saat itu juga lalu meninggalkan parkiran butik. Ia barusaha menganggap semuanya akan baik-baik saja. Mobil sudah berjalan 100 meter, tapi rasa gelisah itu semakin menyiksa saja. Franklin mendengkus kesal lalu akhirnya berubah pikiran untuk menawarkan tumpangan saja pada Ava dengan mengabaikan rasa malu dan grogi nantinya. Franklin membelokkan mobilnya dan kembali ke butik. Seketika Franklin terdiam ketika kedua matanya tidak melihat Ava disana. Ava sudah pergi. Franklin menghela napasnya. Tidak ada yang bisa Franklin lakukan selain diam dengan rasa penyesalan dalam hatinya. Susahnya jadi Franklin yang benar-benar kaku, kurang pengalaman, pemalu, dan bingung harus memulainya dari mana soal cinta. Makasih sudah baca dan singgah ke cerita ini. Alhamdulillah sudah chapter 2 Sehat selalu buat kalian yaaa With Love LiaRezaVahlefi Instagram lia_rezaa_vahlefii
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD