Bab 5

956 Words
Udara malam yang merambat subuh terasa menusuk seluruh persendian Akasia yang turun dari transportasi on line dengan mata sembab dan suara nyaris tenggelam di kerongkongan. Setelah mencoba bertahan dan mencari celah untuk mengatakan semua yang terjadi dalam hidupnya pada Angkasa pria yang beberapa waktu lalu sudah sah menjadi imamnya, akhirnya berujung begitu menyakitkan di malam ini. Seperti yang Akasia takutkan, Angkasa tidak mau menerima dirinya. Jangankan menerima, mendengar pun pria itu begitu enggan. Dengan tatapan yang penuh kemarahan, rasa kecewa dan terluka, Angkasa menyuruhnya pergi sejauh yang dia bisa. Suaminya itu mengusirnya di malam buta, sesaat tahu kalau dirinya sudah tak suci lagi. Air mata Akasia yang dari tadi sudah mati-matian ditahan akhirnya ambrol juga, menyadari pernikahannya dengan pria yang begitu dicintainya ternyata harus berakhir dengan cara yang semenyakitkan ini. Angkasa benar, siapa yang mau menerima wanita yang sudah ternoda ini, dirinyalah yang salah memberanikan diri hadir dalam hidup pria itu dan tidak berusaha menghindar. Akasia terisak. Aku yang salah, karena tidak mampu menolak pesona dan segala ketulusan yang dilihatnya dari Angkasa. Aku yang tidak tahu diri, Akasia mendesah pilu. Di depan sebuah rumah besar tempat dirinya selama ini dibesarkan, tangisan itu akhirnya pecah. Susah payah Akasia melangkah ke teras rumah dan mengetuk pintunya. Rumah yang entah merindukan kehadirannya atau malah membenci kedatangannya, entah! Seperti cerita pahit malam pertamanya, di rumah ini pun Akasia menyimpan berlembar-lempar kisah sedih yang selama ini dia telan sekuat tenaga. Bukan tidak ingin berontak dan melawan, tapi dirinya bisa apa? Sudah beruntung dirinya dipungut di jalanan dan dijadikan anak angkat, begitu yang selalu Mama dan Sabrina katakan dengan mimik mereka yang khas dan sukses membuat d**a Akasia berdenyut perih. Selama ini, hanya Papa yang suka membela dan menyayanginya dengan tulus, tapi kini Papa jarang ada di rumah sejak kerjanya di pindah ke luar pulau. Perusahaan konstruksi tempat Papa bekerja, sudah lama memfokuskan proyeknya di luar pulau. sejak pria penyayang itu jarang di rumah, Akasia merasa kehadiran nya di rumah ini makin tak berharga. Akasia merasa terbuang diantara orang yang mengaku dengan lantang pada semua orang paling perduli dan memiliki nurani. Betul, Mama selalu mengatakan kalau tak ada belas kasihan darinya, Akasia sudah lama menjadi gembel dan debu jalanan. Mama, aku pulang! Meski kau tidak pernah menyayangiku dengan utuh, tapi hanya engkaulah yang aku punya di dunia ini setelah Papa dan juga Sabrina. Akasia kembali mengetuk. Pintu itu begitu lama untuk terbuka saat seraut wajah ngantuk akhirnya menyembul di balik jendela. "Neng Akasia?" Suara Bik Mar terdengar sedikit kaget, namun pintu di depan Akasia segera terbuka. "Neng pulang malam-malam? Naik apa? Maaf Bibi ketiduran jadi lama bukanya." Bi Mar menarik tangan Akasia dan memeluknya. Tubuh Akasia terasa begitu dingin dan lesu. "Kita ke kamar saja, ya Neng. Neng Sabrina sama Mama Neng baru tidur tadi jam sebelas malam, pasti tidak suka kalau ada yang berisik," ujar Bi Mar sambil membawakan tas Akasia yang ukurannya lumayan besar. Akasia mengangguk dan menuruti perkataan Bi Mar. Setelah Papa, Bi Mar lah orang yang menyayangi dirinya dengan tulus. Perempuan senja itu memperlakukan dirinya begitu penuh kasih sayang, seperti juga pada Sabrina, Bi Mar yang tahu statusnya hanya anak angkat tidak sekalipun membeda-bedakan. "Tunggu!" Belum sempat Akasia membuka pintu kamarnya, sebuah suara tinggi menghentikan gerakan tangannya. "Kamu Akasia? Kamu pulang malam-malam?" Sabrina dengan wajah khas orang yang terjaga menatap tajam ke arahnya. "Ngapain, kamu diusir?" Kress. Kalimat Sabrina terasa ngilu di ulu hati Akasia. Tapi itulah faktanya. Itulah kebenaran saat ini, Angkasa mengusirnya. "Jawab, Akasia! Tidak mungkin seorang pengantin baru pulang dini hari kalau kalian tidak bertengkar." Sabrina yang pernah menikah dua kali seolah tahu persis dan bisa menebak apa yang terjadi. "Betul, kami bertengkar," jawab Akasia pelan. Tak ada gunanya menutupi yang sebenarnya. "Dan diusir?" Akasia terdiam. Tubuh dan jiwanya terasa begitu kaku. Bahkan hanya untuk menggeleng atau pun mengangguk dia tidak mampu. Sabrina tergelak lebih keras. "Makanya jangan sok suci. Kamu akhir nya dilemparkan? Aku tahu rahasia yang kau sembunyikan selama ini. Haha." Astaghfirullah. Wajah dan hati Akasia mendadak terasa panas. Sakit karena peristiwa tadi malam di kamar pengantinnya seolah disiram cabe saat Sabrina terus mengoceh dan tergelak. "Kamu tahu apa tentang aku, Sabrina?" Mata Akasia menajam ke arah saudara angkat yang selama ini begitu kejam pada dirinya dan tidak pernah sekalipun memperlakukan dirinya layaknya saudara. Tidak pernah! "Kamu tahu apa, hah?" Akasia mendekat, kini tatapannya lebih tajam ke arah Sabrina. Perempuan ini tahu rahasia yang selama ini dia simpan dengan rapat, ada apa? "Aku...aku hanya menduga-duga," jawab Sabrina tergagap. Dia sedikit kaget saat Akasia mendorong bahunya dengan keras. Tak menyangka Akasia yang selama ini lemah dan penurut bisa berbuat agresif. "Ada apa ini?" Tanpa diduga Mama muncul dari kamarnya, sekaligus membuat langkah Akasia kembali surut ke belakang. "Ini Akasia pulang malam-malam langsung berkata dan bersikap tak sopan padaku," adu Sabrina membuat wajah Mama yang setengah mengantuk terlihat merah dan menatap sinis pada Akasia. "Kamu ngapain pulang malam- malam, Akasia? Diusir suamimu?" Mama berdiri dengan baju tidur dan rambut sedikit berantakan. "Betul, Ma. Aku diusir." Akasia menjawab lirih. Tak punya alasan untuk tetap bersikap baik- baik saja. Malam ini dia sudah hancur dan berharap masih ada secuil kasih sayang dan empati dari wanita yang selama ini dipanggilnya mama. "Apa katamu? Kamu diusir? Gak salah dengar aku? Haha...." Akasia terpaku, tak menduga kalau perempuan yang meski selama ini tidak pernah berlaku baik itu tertawa terbahak-babak di atas penderitaannya. "Mama, aku pulang ke rumah ini, karena aku dibesar kan di rumah ini. Aku hancur dan terluka tapi Mama malah menertawakan aku, ada yang lucu?" Suara tawa Mama seketika terdiam. Tak menyangka Akasia, anak angkat yang selalu dia hina dan rendahkan bisa berkata sedemikian tajam. Perempuan itu lupa, kalau luka akan mengajarkan banyak hal pada seseorang. Kalau tidak kesabaran maka dia akan mengajarkan bagaimana caranya bertahan dan melawan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD