Malam sudah sedikit larut saat aku pulang. Bahkan seluruh karyawanku pun sudah pulang selain satpam yang berjaga di depan pos.
Angin malam menyambut ku Di pelataran kafe yang luas, Office boy sudah merapikan halaman di mana para pengunjung banyak yang suka lesehan dengan meja dan bantal warna-warni yang nyaman untuk dipakai lesehan. Di bawah sinar bintang dan rembulan serta pemandangan lampu kota di malam hari yang terlihat seperti ribuan kunang, suasana kafe ini begitu romantis. Tak heran jika kafe ini lebih ramai di waktu senja dan malam, pun mereka lebih senang duduk di luar dari pada di kursi yang disediakan di dalam bangunan.
"Tumben pulangnya malam sekali, Pak," sapa Tatang salah seorang satpam yang bertugas malam ini yang kebetulan tengah memeriksa halaman di mana aku berada.
Aku hanya tersenyum, mengulurkan selembar uang pecahan seratus ribu buat rokok yang diterima dengan sungkan namun penuh terimakasih. Untuk kopi dan minuman serta makanan ringan sudah tersedia di dapur karyawan. Ada juga beras, telor dan Indomie jika mereka ingin masak. Aku memang memegang teguh ajaran orang tuaku untuk bersikap baik pada karyawan, tak heran kalau karyawanku tidak keluar masuk. Aku berprinsip apapun usaha yang aku geluti, tak akan berarti jika aku dzolim terhadap bawahanku, orang yang aku pakai tenaga dan waktunya untuk membesarkan usahaku.
Malam ini Tatang ditemani Wahyu yang giliran jaga malam. Aku memang tidak pernah menugaskan satpam jaga seorang diri untuk dinas malam, kasihan. Biar ada teman ngobrol dan juga tidak iseng.
"Aku pulang dulu."
"Baik Pak, hati-hati." Tatang dan Wahyu menjawab hampir bersamaan.
Aku melajukan mobil meninggalkan halaman kafeku dengan perasan yang kian hampa. Untuk apa pulang? Toh tidak akan ada yang menyambut dan menatapku penuh cinta? Untuk apa aku pulang kalau aku hanya akan menemui jejak kebodohanku di sana yang tertera nyata dalam suasana rumahku yang kini sepi dan suram? Hatiku terus berbisik, tapi aku putuskan untuk tetap pulang, aku butuh istirahat. Bukankah buat menyesal dan menangisi kepergian Akasia juga butuh tenaga?
***
Bolak-balik aku mengecek pesan dari orang kepercayaanku untuk mencari keberadaan Akasia.
(Belum ada titik terang. Semua sahabat Ibu yang Bapak rekomendasikan juga tidak tahu di mana Ibu berada.)
Tiga hari sudah, kabar Akasia belum kudapatkan, meski aku telah meminta orang-orangku melacaknya. Jangan tanya Sabrina dan Mamanya, mereka dengan mantap mengatakan tidak tahu dan malah tersenyum sinis. Aku mendesah sedih, tanpa mereka mengatakan pun, aku tahu seperti apa hidup Akasia selama ini. Pasti menderita.
(Mas, berhenti membicarakan Akasia. Ingat, Mas sudah janji menenikahiku dan mengganti perempuan penipu itu dalam hidupmu,) pesan Sabrina beberapa jam lalu.
(Lupakan saja, Mas. Sikapmu beberapa hari terakhir bikin aku heran, sejak kapan Mas perduli pada kepergianmu Akasia? Bukankah wanita yang sudah menipumu itu layak pergi?)
Sabrina menjawab dan untuk kali ini sukses membuatku marah.
(Berhenti mengatakan dia penipu. Akasia masih istriku, harga dan kehormatan dia masih menjadi tanggung jawabku.)
(Apa katamu?)
(Dia masih istriku. Aku hanya menyuruhnya pergi bukan mentalaknya.)
(Apa katamu, Mas?) Suara Sabrina makin tinggi, wanita cantik yang sudah mulai kelihatan watak aslinya itu terdengar geram.
Aku membayangkan wajah cantik Sabrina yang merah padam. Aku tidak peduli. Dua bulan dekat dengan wanita itu aku rasanya mulai lelah. Sabrina mungkin jauh lebih cantik dari Akasia tapi sikapnya yang penuh gaya dan banyak menuntut membuat aku kini berpikir ulang untuk melanjutkan hubunganku lebih jauh.
(Kau sudah mengusirnya, berarti talakmu sudah jatuh, Mas.)
(Kalaupun katamu talakku sudah jatuh, aku akan kembali pada Akasia.)
Suara mantap, aku mendengar suara dengusan Sabrina di sebrang sana.
(Kau tidak akan pernah akan mendapati Akasia kembali padamu.)
(Apa maksudmu?)
(Karena akulah yang akan datang dalam hidupmu dan menggantikan Akasia.)
Aku mendengus kasar. Mematikan ponselku dengan perasaan geram. Setelah hari di mana aku menemukan diary Akasia, tak akan mudah bagi siapapun untuk menggantikannya di dalam hatiku, meski aku pun tahu sama tak mudahnya untuk menemukan dan meluluhkan hati Akasia yang sudah terlanjur hancur dan mungkin membeku.