Seperti biasa disetiap pagi hari, Farah menyiapkan sarapan untuk Faiz.
Faiz ke luar dari kamarnya, begitu Faiz duduk, Farah langsung menghidangkan nasi putih, dan omelet telur dengan saus sambal.
"Farah."
"Ya Mas."
"Hari ini pindahkan semua barangmu ke dalam kamarku."
"Ehm, untuk apa Mas?"
"Ayah, dan Ibu akan datang, mengantar anak-anak hari sabtu inikan?"
"Mas tahu?"
"Iya, Ibu menelponku setelah bicara denganmu, aku hanya tidak ingin menjawab berbagai pertanyaan Ibu nanti, kalau Beliau tahu kita tidak tidur satu kamar."
"Ooh ...."
"Mengertikan maksudku?"
"Iya, saya mengerti Mas." Farah menganggukan kepalanya pelan.
Farah tidak bisa membayangkan, bagaimana nanti kalau mereka tidur satu kamar? Bagaimana nanti mereka harus bersikap di depan orang tua Faiz?
Berbagai pertanyaan itu, kini hadir di dalam hati Farah.
"Farah, aku berangkat dulu, sekali lagi terimakasih untuk kemarin." Faiz berdiri dari duduknya. Farah hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Farah mengiringi langkah Faiz menuju pintu, diraih, dan dicium punggung tangan Faiz, sebelum Faiz masuk ke dalam mobilnya.
"Hati-hati Mas," pesannya tulus.
"Terimakasih Farah, aku pergi Assalamuallaikum."
"Walaikumsalam." Farah memberikan senyum termanis kepada Faiz, sebelum Faiz menjalankan mobilnya. Farah masih berdiri di teras rumah, sampai mobil Faiz menghilang dari penglihatannya.
Baru saja mobil Faiz menghilang dari pandangan Farah, sebuah mobil yang datang dari arah berlawanan, dengan arah perginya mobil Faiz, berhenti di depan rumah mereka. Tampak Deasy turun dari dalam mobil.
"Mbak Deasy!" seru Farah, tidak yakin dengan penglihatannya.
"Selamat pagi Farah," sapa Deasy ramah.
"Oh, selamat pagi Mbak. Mas Faiz baru saja berangkat"
"Aku datang bukan untuk menemui Faiz, tapi kedatanganku untuk menemuimu Farah," sahut Deasy.
Farah cukup kaget mendengar jawaban Deasy, tapi itu hanya sesaat.
"Menemui saya, eh silahkan masuk Mbak, kita bicara di dalam saja." Farah mempersilahkan Deasy masuk ke dalam rumah.
"Silahkan duduk, Mbak Deasy ingin minum apa?"
"Tidak usah Farah, sebaiknya kita langsung bicara saja" Deasy duduk diikuti
Farah, yang duduk di hadapan Deasy.
"Silahkan Mbak, apa yang ingin Mbak bicarakan?"
Deasy menarik nafas sesaat, dipandang Farah tepat di wajahnya.
Ada rasa cemburu menelusup di dalam hatinya.
Hatinya mengakui, kalau Farah masih sangat muda. Wajahnya memang tidak terlalu cantik, tapi sangat nyaman dipandang, meski tanpa polesan sama sekali.
Farah yang merasa sedikit tidak myaman dengan tatapan Deasy, segera menundukan kepala. Ia merasa, tatapan Deasy yang seperti tengah menilai dirinya.
"Kamu betah tinggal di sini Farah?"
"Iya Mbak?"
"Tidak berniat meneruskan pendidikanmu, atau berniat mencari pekerjaan lainnya?"
"Saat ini sudah terlambat untuk hal itu Mbak."
"Terlambat! Maksudnya!?"
"Saya sekarang tidak lagi bekerja sebagai pengasuh anak-anak, tapi saya sudah jadi Ibu mereka, yang harus bertanggung jawab untuk mendidik, mengasuh, dan membesarkan mereka," jawab Farah, dengan suara lembut. Farah sendiri tidak tahu, kenapa ucapan seperti itu meluncur begitu saja dari mulutnya, seakan ia ingin menegaskan pada Deasy, kalau Faridh, dan Farida adalah anak-anaknya sekarang.
Deasy sendiri agak terkejut mendengar jawaban Farah, meski Farah mengucapkannya dengan suara lembut, tapi tetap saja, Deasy merasa itu seperti sebuah peringatan bagi dirinya. Peringatan agar ia tidak mengusik posisi Farah, sebagai Ibu dari anak-anak Faiz.
"Farah, apa kamu merasa keberatan, kalau setelah kami menikah nanti, aku ikut tinggal di sini bersama kalian?" Pertanyaan Deasy membuat Farah nenatap langsung ke mata Deasy. Dan Deasy tidak menyangka, jika Farah yang dianggapnya pendiam, dan terlihat lemah, berani menatap langsung ke bola matanya.
"Saya tidak bisa menjawab pertanyaan Mbak, karena masalah itu adalah hak dari Mas Faiz untuk menjawabnya. Bagi saya, selama anak-anak tetap merasa nyaman, saya tidak akan mempermasalahkannya" jawab Farah tetap dengan nada suara yang lembut. Tapi lagi-lagi Deasy merasa, kalau ucapan Farah itu sengaja untuk menyindir dirinya, yang tidak pernah bisa dekat dengan putra putri Faiz.
"Farah, aku datang ke sini ingin bertemu denganmu, sebenarnya hanya untuk meyakinkan diriku, kalau kamu benar-benar setuju dengan pernikahan kami."
Mendengar ucapan Deasy, Farah menarik nafas berat, sebelum membuka mulutnya.
"Persetujuan saya hanya sebagai formalitas saja, Mbak Deasy. Saya setuju, atau tidak, sama saja. Mas Faiz pasti akan tetap menikahi Mbak Deasy. Jadi Mbak Deasy tidak perlu mencemaskan ikatan diantara kami, karena ikatan itu hanya sebatas di atas kertas," ucap Farah dengan suara nyaris tidak terdengar.
Deasy menarik nafas lega, karena apa yang diucapkan Farah, selaras dengan apa yang diucapkan Faiz kepadanya, kalau diantara Faiz, dan Farah tidak ada perasaan apapun juga.
"Mbak Deasy tidak perlu mencemburui saya, Mas Faiz hanya mencintai Mbak Deasy, saya ada di sini hanya untuk Faridh, dan Farida. Kasih sayang anak-anak itu, sudah cukup untuk membuat saya merasa bahagia." Farah berusaha meyakinkan Deasy, kalau ia bukanlah wanita yang harus dicemburui, meski di atas kertas ia adalah istri sah Faiz.
Deasy berdiri dari duduknya.
"Baiklah Farah, hatiku lega sekarang. Terimakasih, karena sudah memberikan ijinmu untuk pernikahan kami."
Farah ikut berdiri, dan hanya menjawab dengan senyuman, ucapan Deasy.
"Baiklah Farah, aku pergi sekarang, selamat pagi," pamit Deasy. Farah hanya menjawab dengan menganggukan kepala.
Setelah Deasy pergi, baru Farah bisa membiarkan air mata yang ditahan sejak tadi jatuh, di pipinya.
Bagaimanapun, ada rasa sakit di dalam lubuk hatinya, karena pria yang menikah dengannya, akan menikah lagi.
'Ikhlas Farah! Kamu harus ikhlas!' Batinnya mengingatkan.
BERSAMBUNG