PART 2 [BERTEMU LAGI?]

1655 Words
“PRIA GILA YANG m***m?!” ucap Evelyn dengan spontan. Ia berdiri dari duduknya sedangkan pria itu duduk di depan kursinya dengan sangat tenang. “Ternyata kau masih ingat aku?” tanya pria itu dengan sesekali melirik pada d**a Evelyn. Evelyn menatap tak suka pada pria itu dan segera beranjak, namun pelayan datang dengan membawakan pesanannya. Tanpa basa-basi, Evelyn segera memberikan uangnya tanpa mengambil pesanan itu. “Pesanan anda tidak dibawa, Nona?” tanya pria itu bingung. Evelyn berbalik dan berkata, “Ambillah untukmu, kurasa kau terlalu banyak memakan asupan dewasa hingga otakmu berubah tak waras!” Pria itu menatap punggung Evelyn yang telah menjauh darinya, dengan tanpa rasa gengsinya, ia meminum pesanan coffe latte milik Evelyn dan memberikan makanannya pada pelayan tadi. “Ah, kau sangat menarik, aku harap kita bisa bertemu lagi. Dan kupastikan saat itu, kau akan mendapatkan hukuman dariku.” pria itu menyeringai kejam. Padahal rencananya, ia hanya ingin memastikan apakah wanita itu adalah wanita yang sama dengan kemarin, wanita yang mengumpati dirinya dan berteriak lantang untuknya. Dan ternyata benar, wanita itu adalah wanita yang sama. ‘Lagi dan lagi kau membuatku penasaran sekaligus tertarik.’ batin pria itu. *** Evelyn telah kehilangan mood makannya. Ia kembali mencari lowongan kerja di berbagai perusahaan yang sesuai dengan kinerjanya. Dan sampailah ia pada sebuah perusahaan yang terlihat sangat besar dari yang ia lewati sebelumnya. “Hah, kuharap ini yang terakhir.” keluh Evelyn. Ia sangat frustasi karena telah mengunjungi sembilan perusahaan dan ini yang kesepuluh. Evelyn harap lowongan di sini sesuai keinginannya. Evelyn menginjakkan kakinya di lobi perusahaan dan ia sedikit menilai-nilai, “Hm, sedikit lebih besar dari perusahaan Daddy.” Evelyn mendekati seorang wanita yang sepertinya menjadi resepsionis di sana. Evelyn berkata, “Permisi, aku lihat di sini ada lowongan kerja untuk menjadi staff administrasi. Apakah masih ada lowongannya?” tanya Evelyn sopan. Resepsionis itu menatap Evelyn dari ujung sepatu hingga ujung kepala, seolah menilai dan setelahnya tersenyum ramah, “Iya, Nona. Kau masih bisa mendaftar. Silahkan isi formulirnya,” wanita resepsionis itu memberikan kertas formulir pada Evelyn. Evelyn menghembuskan napas lega, ia tersenyum lebar dan segera mengisi formulir itu secepatnya. “Terimakasih, silahkan kembali besok untuk wawancara.” Evelyn mengangguk senang. Ia keluar dari perusahaan itu dengan suasana hati yang lebih baik dari sebelumnya. Wanita itu tak henti-hentinya tersenyum dan menyapa orang-orang yang ia lewati. “Daddy! Mommy!” teriak Evelyn saat memasuki rumahnya. “Mom dan Dad ada di dapur, sayang.” sahut Serra. Evelyn mengernyit tak suka. Ia segera bergegas menuju dapur dan benar saja bahwa Sean sedang mengganggu Serra memasak. Pria paruh baya yang ternyata juga m***m itu sedang memeluk Serra dari belakang. ”DADDY!” pekik Evelyn marah. Ia segera mendekati mereka berdua dan memisahkan ibunya dari cengkraman ayahnya yang m***m. “Apa kalian semua para lelaki punya sifat yang m***m, huh?” kesal Evelyn sembari membuat tameng untuk melindungi ibunya dari sang ayah. “Oh ayolah, sayang. Daddy baru saja pulang dan ingin bermanja pada Mommy mu,” ucap Sean sembari mengeluh. “Jika Dad lelah, silahkan pergi ke kamar dan beristirahatlah. Jangan ganggu Mom,” peringat Evelyn keras. “Mom...” rengek Sean pada Serra. “Sudah berhentilah berdebat, dasar kalian ini. Ayo ke meja makan, Mom telah selesai memasak makanan yang lezat untuk makan malam kita.” seru Serra. “Baiklah,” Evelyn lebih dulu menuju ruang makan dan baru disusul Sean beserta Serra. Di keheningan acara makan mereka, tiba-tiba Evelyn berkata, “Eve ingin tinggal di apart,” “UKHUK!” Serra tersedak dan dengan segera Sean memberikan air minum untuk istrinya itu. “Yang benar saja Eve!” ucap Serra tak percaya. Ia menatap anaknya itu dengan tatapan marah, kesal dan tak setuju. “Eve serius, Mom." sahut Evelyn santai. "Tidak! Kau tidak boleh tinggal sendirian lagi, cukup di Inggris saja kau tinggal sendiri, di sini tidak boleh!” bentak Serra tegas namun Evelyn tahu bahwa ibunya itu sedang khawatir padanya. "Evelyn ingin mandiri, Mom." keluh Evelyn tak menyerah. “Lagipula Eve tinggal bersama teman wanita Eve dalam satu apartemen,” ucap Evelyn untuk meyakinkan ibunya agar membolehkan ia untuk tinggal di apartemen. “Tidak boleh, Eve.” ucap Serra tak terbantahkan. “Dad?” Evelyn merengek pada Sean dengan wajah memelas dan puppy eyes. Sean mengangguk menyetujui untuk membujuk Serra, “Sayang, biarkan Evelyn untuk tinggal sendiri, ya." "Kenapa kau mengizinkannya? Kau tidak menyayanginya? Dia anak kita satu-satunya, Sean." Serra tak menyangka saat suaminya itu berpihak pada anaknya. Oh ayolah, Evelyn seorang wanita dan dia belum tentu bisa menjadi dirinya sendiri. Kalau di Inggris Serra merasa cukup aman karena anaknya itu tinggal bersama adiknya, namun jika untuk tinggal di New York sendirian maka itu belum menjamin keamanan Evelyn. "Karena dia anakku, maka dari itu aku tau dia tak bisa dicegah,” balas Sean santai. “Se—" “Dia akan tinggal di apartemen milikku, sayang. Jadi tenanglah,” rayu Sean lagi. Serra menatap ayah dan anak itu dengan pandangan kesal. Brugh. "Lanjutkan makan kalian, Mom ingin tidur lebih dulu. Selamat malam," Serra meninggalkan Evelyn dan Sean tanpa menatap kedua orang itu. Evelyn menatap ibunya dengan sedikit rasa bersalah, “Dad, sepertinya Eve tidak jadi pindah ke apartemen.” “Tidak apa-apa, nak. Jika Eve ingin tinggal di apart, silahkan. Mom biar Dad yang urus" Sean mengelus kepala Evelyn penuh sayang. "Terimakasih, Dad." "Percayalah, tidak ada orangtua yang ingin melihat anaknya bersedih. Angkat kepalamu dan buktikan pada kami bahwa kau layak untuk kami banggakan. Dad percaya kau bisa menjaga dirimu dengan baik, nak." nasihat Sean pada wanita itu. “Dad?" panggil Evelyn pelan. "Ya?” "Dad berkata seperti itu bukan karena ada alasan lain dibaliknya kan? Ah maksudku, hal yang menguntungkan Dad saat Eve pergi dan tidak tinggal lagi bersama kalian?” tanya Evelyn dengan memicingkan matanya tanda bahwa ia tidak percaya ayahnya mampu berkata bijak seperti tadi. Sean tertawa lebar dan mengacak rambut Evelyn gemas, “Kau tau betul Daddy mu ini,” Evelyn mendengus, “Sudahku duga,” gumamnya. “Tapi, dibalik itu, Dad juga ingin membuatmu mandiri dan mampu menghadapi segala hal dengan tenang dan penuh pertanggungjawaban, agar kelak ketika Dad menyerahkan posisi CEO padamu, kau telah siap. Paham anak manis?” “Ah tak sia-sia Eve memiliki ayah seperti Daddy yang bijaksana ini,” Evelyn menyengir lebar dan mengecup pipi ayahnya lalu segera pergi menuju kamar miliknya. Sean masih duduk di meja makan dan mengambil ponselnya. Pria itu seolah sedang mencari nomor dan menelponnya. "Siapkan apartemen milik saya, besok anak saya akan datang ke sana." “Baik, Sir.” Sean kembali memasukkan ponselnya dan berjalan menuju kamar miliknya dan Serra. *** “Ethan,” panggil seorang wanita paruh baya yang memiliki kecantikan yang tak pernah pudar bahkan walau telah menginjak usia tua. Wanita itu mendekati seorang pria berusia setengah darinya. “Ya?” sahut Ethan. “Kapan kau akan menikah?” Huh! Ethan menghela napas lelah, ia berbalik menatap ibunya itu dengan tatapan seolah 'Berhenti mendesakku untuk menikah, Mom.' “Ethan akan menikah,” ucap Ethan dan hal itu sontak membuat wanita paruh baya yang bernama Zenny Nancy, wanita berusia 53 tahun itu, berbinar senang. “Kau serius?” tanya Zenny memastikan. “Tentu saja aku akan menikah, tapi jika sudah saatnya.” ucap Ethan. Zenny menatap anaknya itu dengan kesal dan memukul kepala sang anak sedikit keras, “Kau sudah berumur 28 tahun, anak pintar!” “Sakit, Mom!" keluh Ethan tak terima. “Rasakan itu! Kau pantas mendapatkannya, dasar anak durhaka.” amuk Zenny. “Ethan tidak durhaka, Mom. Ethan bahkan sangat menyayangimu dan Dad.” “Maka dari itu, jika kau menikah sekarang maka kau akan ku anggap anak yang paling berbakti di dunia ini.” Zenny terus-terusan mendesak anaknya itu untuk segera menikah. Namun dengan wanita pilihannya tentu saja. Ia tak mau anaknya itu salah memilih wanita dan membuat Ethan tak bahagia. “Mom benar ingin aku segera menikah?” tanya Ethan. Zenny mengangguk berulang kali, “Tentu saja, aku ingin segera menggendong cucu, nak. Kau lihat Tante Ismi? Dia bahkan sudah memiliki dua cucu. Lalu, lihat ibumu ini? Jangankan cucu, bahkan anakpun aku hanya punya satu.” beberapa keluhan keluar begitu saja dari mulut Zenny, Ethan tak suka saat ibunya itu mulai menceritakan cucu-cucu teman-temannya. Oh ayolah! Ethan masih ingin melajang, hidup bebas dengan puluhan wanita yang mampu memuaskannya tanpa status sekalipun. Dan membayangkan ia memiliki status, hanya hidup dengan satu wanita seumur hidup dan tidak mampu bersenang-senang seperti sebelumnya. Uh! Ethan bergidik ngeri membayangkannya. Sungguh ia tak sanggup! “Tenang saja, tahun ini akan kuberikan kau cucu seperti maumu. Lihat saja,” Bugh! “Aku ingin cucu dari wanita bermartabat, bukan w***********g milikmu itu!” Zenny meninju perut Ethan, agar anaknya itu tidak menganggap remeh perkataannya. “Aduh, Mom! Kau melukaiku—” ucap Ethan kesakitan. “Rasakan itu! Mom beri kau waktu hingga akhir tahun ini. Bawa pulang calon menantu Mom atau Mom potong junior mu!” ucap Zenny terdengar sangat kejam. Ethan sedikit meringis dan memilih pergi tanpa menjawab pertanyaan ibunya itu. Wanita? Oh ayolah, kenapa Tuhan menciptakan manusia serumit yang namanya wanita? Apalagi jika wanita telah bergabung dengan cinta, maka hancurlah dunia. Tapi Ethan akui ia juga butuh wanita, namun hanya untuk menjadi pemuas nafsu belaka. “Tuhan tolong jangan beri aku cinta, aku ingin melajang selama mungkin." pinta Ethan pada Tuhannya. “Cinta, cinta dan cinta! Apa itu cinta?” dengus Ethan. Apakah keadaan saat jantung berdebar-debar? Apakah rasa ingin memiliki terus meronta-ronta tiada henti? Ethan memasuki kamarnya dan tak lupa menguncinya tentu saja. Pria itu melempar tubuhnya ke atas ranjang. Kedua tangannya ia gunakan untuk menyanggah kepalanya. “Huh, aku benci cinta, aku benci status pernikahan!” Ethan memejamkan matanya namun matanya kembali terbuka saat bayangan seorang wanita terlintas dalam benaknya. Ah, iya. Wanita itu. Ethan membayangkan ekspresi seorang wanita yang dua hari terakhir mengesankan baginya. Ethan mengeluarkan smirk nya dan segera tidur kembali. ‘Kan ku buat kau menjadi salah satu wanitaku.’ ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD