Posesif dan Hilang Kendali

865 Words
Di ruangan kamar remang-remang yang hanya diterangi lampu gantung kristal, Zeff duduk di sofa besar dengan tubuh condong ke depan. Jemarinya mencengkeram gelas wine, mengangkatnya ke bibirnya, dan menenggaknya dalam sekali teguk. Matanya berkilat dengan amarah yang sulit diredam, sementara rahangnya mengeras. Dia telah menunggu Kaia selama lebih dari dua jam, dan rasa kesalnya kian memuncak dengan setiap menit yang berlalu. Yang membuatnya semakin panas adalah bayangan Kaia bersama pria lain, tertawa atau berbincang seperti dia tidak memikirkan dirinya sama sekali. “Kaia,” gumam Zeff dengan suara rendah dan parau. “Beraninya kau membuatku menunggu seperti ini.” Pintu ruangan terbuka pelan, dan suara langkah ringan terdengar. Kaia akhirnya datang. Wajahnya tampak cemas ketika dia melihat Zeff yang duduk dengan aura gelap yang menekan. “Zeff, maaf aku terlambat,” kata Kaia dengan nada lembut, berharap bisa meredakan amarah yang terlihat jelas di wajah pria itu. Zeff mendongak, tatapannya dingin dan penuh emosi. “Terlambat?” suaranya hampir berbisik, namun penuh kemarahan. “Kau bahkan punya keberanian untuk masuk ke sini setelah membuatku menunggu begitu lama.” Kaia menghela napas panjang, mencoba tetap tenang. “Aku terjebak urusan di luar, aku benar-benar tidak berniat—” Zeff tidak membiarkan Kaia menyelesaikan kalimatnya. Dengan cepat, dia bangkit dari sofa, langkahnya berat namun pasti menuju Kaia. “Urusan di luar?” Dia menatap Kaia tajam, dan Kaia bisa mencium aroma wine yang kuat dari napasnya. “Apakah urusan itu termasuk berbicara dengan pria lain, tertawa, atau mungkin menggenggam tangan mereka?” Kaia terkejut dengan tuduhannya. “Zeff, apa yang kau bicarakan? Aku tidak melakukan apa-apa.” Namun, jawaban itu tidak meredakan Zeff. Dia mendekat, meraih pinggang Kaia dengan satu tangan, menariknya begitu dekat hingga wajah mereka hampir bersentuhan. “Tidak melakukan apa-apa?” gumam Zeff dengan nada rendah yang berbahaya. “Lalu mengapa kau tidak ada di sini? Mengapa aku harus menunggu seperti orang bodoh, Kaia?” Kaia merasa tubuhnya tegang di bawah genggaman Zeff. Dia mencoba tetap tenang, meskipun matanya penuh kebingungan dan sedikit ketakutan. “Zeff, kau mabuk,” katanya lembut. “Kau tidak tahu apa yang kau katakan sekarang.” Namun, kata-kata Kaia tidak sampai ke telinga Zeff. Pria itu hanya semakin mempererat cengkeramannya, dan sebelum Kaia bisa mengatakan apa-apa lagi, Zeff memagut bibirnya tanpa peringatan. Kaia terkejut, matanya melebar saat dia merasakan bibir Zeff menekan bibirnya dengan kasar dan tanpa ampun. Dia mencoba mendorong d**a pria itu, tapi tubuh Zeff begitu kuat, dan dia tidak memberinya kesempatan untuk bergerak. “Zeff, berhenti!” Kaia berhasil menarik napas dan berteriak di sela-sela usaha Zeff yang terus memagutnya. Namun, Zeff tidak berhenti. Emosinya, yang bercampur dengan alkohol, membuatnya tidak peduli pada apa pun kecuali perasaan menguasai Kaia. Kaia memutuskan untuk mengubah taktik. Alih-alih melawan, dia mencoba menenangkan Zeff. Dia mengerti apa yang terjadi pada Zeff ini karena pengaruh alkohol. Dia mengangkat kedua tangannya, menyentuh wajah Zeff dengan lembut. “Zeff, lihat aku,” katanya pelan, suaranya setenang mungkin meskipun hatinya berdebar kencang. “Aku di sini. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Tenanglah, tolong.” Tatapan Zeff yang penuh amarah perlahan berubah. Bibirnya berhenti bergerak, dan dia menatap Kaia dengan sorot mata yang rumit—marah, terluka, dan bingung bercampur menjadi satu. “Kaia ...” bisiknya, nadanya melembut sedikit. Kaia mengambil kesempatan itu untuk menarik napas panjang dan melangkah mundur sedikit, memberikan jarak di antara mereka. “Kau perlu duduk, Zeff,” katanya sambil mencoba terdengar tegas. “Kita harus bicara.” Namun, Zeff tidak bergerak. Dia tetap berdiri di tempatnya, pandangannya terpaku pada Kaia. “Kau tidak mengerti, Kaia,” katanya dengan suara parau. “Aku tidak bisa melihatmu bersama pria lain. Aku tidak bisa kehilanganmu.” Kaia merasa hatinya berdesir. Dia tahu Zeff membutuhkannya, tapi cara pria itu mengungkapkan emosinya kadang-kadang begitu kasar dan tidak terkontrol. “Aku tidak pergi ke mana-mana, Zeff,” jawab Kaia dengan nada lembut. Zeff menghela napas panjang, dan tubuhnya tampak sedikit rileks. Dia melangkah mundur, lalu jatuh duduk di sofa dengan tangan yang masih memegang gelas wine. “Aku hanya tidak ingin kehilanganmu. Jangan menemui pria yang disodorkan oleh keluargamu lagi,” gumamnya lagi, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Kaia. Kaia duduk di depannya, memandang pria itu dengan tatapan penuh kesedihan. “Kau tidak akan kehilangan aku, Zeff. Tapi aku juga butuh ruang untuk menjadi diriku sendiri. Kita hanya partner dan aku sudah menjalankan tugasku dengan baik.” Zeff kembali menatap mata Kaia dengan tajam. “Kau hanya milikku dan kau masih bekerja padaku. Jangan melakukan hal yang tak kusukai, termasuk menjalin hubungan dengan pria lain karena itu akan merusak perjanjian kita!” bentak Zeff. Tanpa menunggu tanggapan Kaia, Zeff kembali memagut bibir Kaia. Dan kali ini pria itu menekan tengkuk leher Kaia hingga wanita itu tak bisa melepaskannya. Kaia berusaha menghentikan Zeff namun pria itu justru mengangkat Kaia dan merebahkannya di sofa. “ZEFF! HENTIKAN!” bentak Kaia yang mulai takut dengan kemarahan Zeff. “Kau milikku dan kau akan selalu ada di ranjangku, Kaia!” Zeff menyesapi leher Kaia hingga memerah. “Zeff, please, hentikan ini. Ini bukan dirimu.” “Justru inilah diriku yang sebenarnya, Kaia. Kau tak akan pernah bisa meninggalkanku.” Zeff menarik blus Kaia hingga kancingnya terbuka paksa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD