“ZEFF!!” Teriak Kaia.
Zeff kembali membungkam bibir Kaia dan ciuman itu begitu liar. Zeff menahan tangan dan tubuh Kaia yang meronta ingin dilepaskan.
Kaia mulai menangis dan mengeluarkan air matanya. Zeff merasakan hal itu, tapi dia tak berhenti mencium Kaia.
Namun, Zeff melembutkan ciumannya dan mengusap lembut tangan Kaia. Kaia berhenti meronta.
“Zeff,” bisiknya. “Aku tak akan meninggalkanmu. Hentikan ini. Aku tak akan marah. Aku tahu kau sedang tidak sadar melakukan ini.”
Zeff menatap sejenak mata Kaia yang begitu sahdu. Namun dia tak bisa berhenti memagut Kaia.
“Kau bohong. Aku harus mengikatmu agar kau tak ke mana pun. Surat perjanjian itu tak bisa mencegahmu, jika kau ingin meninggalkan aku,” lirih Zeff dengan suara serak.
Hidungnya menyentuh hidung mancung Kaia dan mata mereka saling memandang dengan dalam.
‘Kau hanya ingin memiliki tubuhku saja, Zeff. Tidak dengan hatiku. Mengapa begitu sulit bagimu untuk membuka hatimu?’ batin Kaia.
*
*
Di ruangan itu, suasana perlahan berubah. Ketegangan antara Zeff dan Kaia, yang sebelumnya dipenuhi amarah dan rasa frustasi, mulai mereda seiring dengan sentuhan Zeff yang menjadi lebih lembut.
Kaia menatap Zeff dengan pandangan yang rumit. Ia bisa melihat luka di mata pria itu, kerentanan yang jarang sekali diperlihatkan Zeff, tersembunyi di balik sifat posesif dan kemarahannya.
Saat bibir Zeff kembali menyentuhnya, kali ini dengan lebih perlahan, Kaia tidak lagi menolak.
Ia memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam momen itu. Bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman yang tidak hanya menyampaikan hasrat, tetapi juga perasaan yang lebih dalam—keinginan untuk dipahami, untuk terhubung.
Zeff tampak sedikit terkejut ketika Kaia membalas ciumannya. Kaia merasakan sejenak keraguan dalam gerakan pria itu, tapi kemudian Zeff kembali mendekat dengan lebih lembut, seolah takut menghancurkan momen yang baru saja tercipta di antara mereka.
“Kaia ...” desah Zeff di sela ciumannya, suaranya penuh keraguan namun juga keinginan yang kuat.
Kaia membuka matanya dan menatap Zeff dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
Ia tidak tahu pasti mengapa dirinya memilih untuk membalas ciuman itu. Mungkin dia lelah dengan pertengkaran dan tensi di antara mereka.
Mungkin dia ingin memberikan Zeff sesuatu yang bisa menenangkan jiwanya. Atau mungkin, dia sendiri merasa ada sesuatu di antara mereka yang tidak bisa diabaikan.
Zeff merasakan perubahan itu. Tangan pria itu, yang tadinya menekan dengan penuh d******i, kini menjadi lebih lembut saat merengkuh wajah Kaia.
Ciumannya menjadi lebih dalam, tapi dengan ritme yang terkontrol. Seolah-olah dia ingin menunjukkan kepada Kaia bahwa ini bukan hanya tentang hasrat semata, tetapi tentang keinginannya untuk benar-benar memiliki Kaia sepenuhnya.
“Kaia, kau tak akan bisa meninggalkanku,” bisiknya lagi, kali ini lebih penuh emosi.
Kaia tidak menjawab. Dia hanya memejamkan matanya lagi, membiarkan dirinya larut dalam kehangatan yang terasa begitu intim dan menggetarkan.
Namun, di dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan terus berputar. Apakah ini hal yang benar untuk dilakukan? Apakah ini hanya pelarian dari kegelisahan Zeff?
Tetapi sebelum pikiran-pikiran itu bisa berkembang lebih jauh, tubuh mereka mulai bergerak seiring.
Zeff memeluk Kaia lebih erat, sementara Kaia, meskipun ragu, tidak lagi mencoba menghentikan apa yang terjadi.
Zeff menatap Kaia dalam-dalam, seolah ingin memastikan bahwa Kaia tak boleh lepas dari genggamannya.
Kaia merasakan keraguan kecil yang sulit dia pahami. Tapi dia tidak ingin kembali melawan. Tidak malam ini.
Zeff merasakan sesuatu yang berbeda dalam setiap gerakan Kaia malam itu—lebih banyak penerimaan, lebih sedikit pertahanan.
Malam itu berlanjut ke sesuatu yang tidak pernah direncanakan oleh keduanya.
Di kamar itu, suasana terasa begitu intim, seperti dunia di luar telah berhenti bergerak.
Hanya ada mereka berdua, Kaia dan Zeff, dengan segala emosi yang menggantung di udara.
Mata mereka bertemu, tidak hanya menatap, tetapi berbicara dalam keheningan.
Kaia bisa merasakan denyut jantungnya yang tak beraturan. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan atau bagaimana menenangkan gemuruh di dadanya.
Namun, dia juga tidak ingin lari. Ada sesuatu di mata Zeff—sesuatu yang lebih dari sekadar hasrat. Ia melihat kerentanan, sesuatu yang jarang terlihat dari pria itu, yang biasanya begitu dominan dan penuh kendali.
Zeff beranjak sejenak untuk membuka pakaiannya, dan juga pakaian Kaia tanpa meminta izin pada wanita itu.
Kaia diam, dan dia hanya menatap Zeff yang begitu ingin menyentuhnya.
Kaia berharap, Zeff akan sadar akan sesuatu yang ada di antara mereka, bukan sekadar sebagai teman tidur saja.
Dengan gerakan perlahan, Zeff meraih Kaia ke dalam pelukannya.
Tubuh mereka bertemu, dan Kaia merasakan kehangatan yang menenangkan.
Ketika Zeff akhirnya kembali menunduk untuk mencium Kaia, ciumannya lembut, hampir seperti permintaan maaf atas konflik yang tadi terjadi di antara mereka.
Kaia membalasnya dengan perlahan, masih berhati-hati, tetapi tanpa keraguan.
Ciuman itu semakin dalam, perlahan tapi pasti, hingga mereka kehilangan diri dalam keintiman yang tercipta.
Malam itu berlangsung dalam keheningan yang indah. Sentuhan mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
Zeff melakukan penyatuan tubuh mereka berdua. Kaia memekik kecil dan Zeff merasakan sesuatu yang berbeda karena jalan itu begitu rapat dan tak tersentuh sebelumnya.
“Kau milikku, Kaia,” bisiknya dan semakin menghujam dalam tubuh Kaia.
“Ya, aku milikmu, Zeff.” Kaia memegang erat lengan kekar Zeff dan seolah rela memberikan kesuciannya pada pria yang telah memenuhi hatinya akhir-akhir ini.
Kaia berharap hubungan mereka tak sekadar perjanjian saja. Zeff pasti akan menyadari sesuatu di antara mereka berdua.
Gerakan Zeff begitu lembut, tangannya bertaut erat dengan tangan Kaia. Zeff menyesapi leher jenjang Kaia hingga wanita itu melenguh indah.
Dan akhirnya penyatuan tubuh mereka pun mencapai puncaknya. Zeff terlihat begitu puas dan merebahkan tubuhnya di samping Kaia.
Dia mendekap erat tubuh Kaia yang begitu hangat dan halus. Zeff mengecupi bahu Kaia, dan kemudian tertidur, tanpa mengucapkan apa pun lagi pada Kaia.
Kaia terdiam dan hanya menatap langit-langit kamar yang begitu indah. Namun, pikirannya berkelana entah ke mana.
Dia tersenyum melihat Zeff yang kini tertidur nyenyak. Zeff hanya akan tidur nyenyak jika bersamanya dan itu menjadi kebanggaan tersendiri baginya karena telah membuat Zeff menemukan ketenangan hidupnya kembali.
*
*