Setelah bersiap, aku berjalan menuju rumah Dwi. Kata Mahesa, aku harus menjauh dari urusan ini. Tapi aku tidak bisa tinggal diam, setidaknya aku ingin memastikan Dwi baik-baik saja.
Namun di tengah perjalanan, suara yang sangat kukenal memanggil. "Gadis terkutuk!"
Aku menoleh, dan benar saja, Gembul dengan tubuh tambunnya berlari ke arahku. Perut buncitnya naik turun seirama gerak kakinya, membuatku ingin tertawa meski dia sering mengusiliku.
"Tidak usah lari seperti itu! Aku tidak akan pergi!" seruku, menahan senyum.
"Huft, capek banget," katanya dengan napas tersengal-sengal.
"Ada apa memanggilku?" tanyaku dingin, berusaha menjaga jarak.
Dia menggaruk kepalanya, tampak canggung. "Kamu... benar menikah dengan hantu, ya?"
"Kamu itu yang hantu!" jawabku ketus, segera berbalik.
Namun, tangannya yang berkeringat menarik lenganku, membuatku merasa jijik. Aku melepaskan cengkeramannya dengan kasar.
"Aku bercanda, jangan marah!" katanya, mengacak rambutnya sendiri. "Tapi... kamu mau ke rumah Dwi, kan?"
"Memangnya kenapa kalau iya? Apa urusannya denganmu?" tanyaku, menahan kesal.
Dia melirik ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang di sekitar. "Itu... Dwi sekarang aneh. Ada pesta di rumahnya. Pak Lurah mengundang warga untuk merayakan Dwi yang katanya tidak i***t lagi."
Aku membelalak, tidak percaya. Tapi ucapan Gembul membuat rasa ingin tahuku meningkat. Tanpa banyak bicara, aku segera berjalan cepat ke rumah Dwi.
Gembul, seperti biasa, mengekor di belakangku. Melihat perutnya yang terus berguncang saat berjalan membuatku ingin tertawa, meski aku berusaha menahan diri.
"Lintang, tunggu!" katanya akhirnya.
Aku berhenti, berkacak pinggang menatapnya. "Apa lagi sekarang?"
"Apa kamu benar bisa melihat hantu?" tanyanya dengan nada serius.
Aku hanya meliriknya sekilas, enggan menjawab.
Dia mendekat, bergumam lirih, "Aku yakin, kamu bukan manusia biasa. Ada kabut putih yang menyelimuti tubuhmu semalam. Itu pasti suamimu yang hantu itu..."
Aku menatapnya tajam. "Kalau hanya mau bicara omong kosong, lebih baik kamu pergi!"
Namun, aku tidak bisa mengabaikan fakta bahwa ucapannya tentang Dwi sangat aneh. Di rumah Dwi nanti, aku akan memastikan semuanya. Dan semoga saja, semua ini hanya kebetulan belaka.
Sesampainya di depan rumah Dwi, suasana benar-benar berbeda dari biasanya. Rumah sederhana itu kini penuh dengan hiasan seperti sedang ada perayaan besar. Bendera kecil warna-warni berkibar di sepanjang pagar, dan suara musik tradisional terdengar dari dalam. Warga desa berlalu-lalang, sebagian membawa hidangan dan sebagian lagi tampak berbicara penuh semangat.
Aku ragu melangkah masuk. Pesta ini terasa janggal, bukan karena suasananya, melainkan karena Dwi yang aku kenal tidak mungkin menjadi pusat perhatian seperti ini. Apa yang sebenarnya terjadi?
Gembul, yang masih mengekor, menyenggol lenganku. "Tuh kan, aku bilang juga apa. Aneh, kan?"
Aku tidak menanggapi. Langkahku tetap menuju ke pintu masuk. Begitu aku masuk, tatapan beberapa orang langsung tertuju padaku. Sebagian dari mereka berbisik, tetapi aku memilih mengabaikannya.
Di ruang tamu, Dwi duduk dengan pakaian yang rapi, wajahnya berseri-seri. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Matanya yang biasanya kosong kini tampak hidup dan penuh keyakinan. Dia berbicara dengan warga yang memujinya, menjawab dengan kalimat yang lancar dan terstruktur. Seolah-olah dia bukan Dwi yang selama ini aku kenal.
Aku berdiri mematung, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Dwi, yang selalu dipanggil "anak i***t" oleh sebagian warga, kini berubah menjadi seseorang yang karismatik. Apa ini hasil dari pengaruh mistis seperti yang dikatakan Mahesa?
"Dwi," panggilku pelan.
Dia menoleh, dan senyumnya semakin lebar saat melihatku. "Lintang, kamu datang!" Suaranya terdengar berbeda—lebih tegas, lebih matang.
Aku menghampirinya, mencoba menatap dalam-dalam ke matanya. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tidak pernah kulihat sebelumnya. "Kamu... baik-baik saja?"
Dwi tertawa kecil. "Tentu saja. Bahkan, aku merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Kamu harus mencicipi makanan di sini. Semua orang bahagia, termasuk aku."
Ucapan itu terdengar tulus, tetapi ada nuansa yang membuatku merinding. Rasanya seperti mendengar suara seseorang yang aku tidak kenal.
"Kamu benar-benar Dwi, kan?" tanyaku tanpa berpikir.
Dwi terdiam sejenak, tetapi senyumnya tidak hilang. "Siapa lagi kalau bukan aku, Lintang?"
Saat itulah aku mendengar suara tawa di kepalaku. Mahesa.
"Kamu sudah lihat sendiri, kan? Aku sudah bilang, jangan ikut campur. Tapi, sepertinya kamu terlalu keras kepala untuk mendengarku."
Aku menoleh, tetapi Mahesa tidak ada di mana pun. Suaranya hanya bergaung di pikiranku. Aku meremas rokku, mencoba menenangkan diri. Ini semua terasa salah, tetapi aku tidak tahu harus melakukan apa.
"Lintang, kamu kenapa?" Dwi bertanya, menatapku penuh perhatian.
"Ah, tidak... Aku hanya terkejut dengan semua ini," jawabku, memaksakan senyum.
Namun, dalam hati aku tahu, aku tidak bisa diam. Sesuatu yang besar sedang terjadi, dan aku harus menemukan jawabannya.
Aku memutuskan untuk tinggal lebih lama di pesta itu. Perasaan tidak nyaman menguasai diriku, tetapi aku mencoba menyembunyikannya dengan berbaur bersama warga. Mereka semua tampak begitu bahagia, seperti ada energi positif yang menyelimuti tempat ini. Namun, aku tahu betul, kebahagiaan ini tidak nyata.
"Dwi, aku ingin bicara sebentar," ucapku, menarik lengannya dengan lembut.
Dia mengangguk tanpa ragu, dan aku membawanya ke sudut yang lebih sepi, menjauh dari keramaian. Warga tidak terlalu memerhatikan, terlalu sibuk dengan perayaan.
"Aku tidak ingin ini terdengar aneh, tapi... Apa yang sebenarnya terjadi? Kamu benar-benar terlihat berbeda," tanyaku dengan suara rendah, menatap matanya penuh selidik.
Dwi tersenyum, tetapi senyumnya terasa ganjil. "Lintang, aku sendiri juga tidak tahu. Sejak kemarin, semuanya terasa lebih... jelas. Seperti kabut di pikiranku akhirnya menghilang. Aku merasa lebih hidup, lebih kuat."
Aku mengerutkan kening. Penjelasannya tidak masuk akal, tapi aku tidak ingin membuatnya merasa tersudut. "Apa kamu ingat sesuatu yang terjadi sebelum ini? Mungkin ada seseorang yang datang ke rumahmu, atau sesuatu yang tidak biasa?"
Dia berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Tidak ada yang aneh. Aku hanya ingat tertidur, dan ketika bangun, aku merasa seperti orang baru."
Aku menghela napas panjang, mencoba mencerna kata-katanya. Namun, sebelum aku bisa bertanya lebih jauh, suara Mahesa kembali bergema di kepalaku.
"Dia bukan Dwi yang kamu kenal. Jangan terlalu dekat dengannya."
Aku merasakan tengkukku meremang. Dengan gugup, aku menoleh ke sekeliling, tetapi Mahesa tidak terlihat. Hanya suara itu, dingin dan penuh peringatan.
"Apa kamu baik-baik saja, Lintang?" tanya Dwi, menyentuh lenganku dengan lembut.
Aku mundur selangkah, merasa jantungku berdebar keras. "Iya... Aku hanya lelah. Mungkin aku akan pulang sekarang."
Senyumnya kembali menghiasi wajahnya. "Baiklah. Jangan lupa datang lagi nanti malam. Ada acara puncak, dan aku ingin kamu ada di sana."
"Acara puncak?" tanyaku, bingung.
"Iya. Pak Lurah bilang, ada doa khusus untuk keberuntungan desa kita. Kamu harus datang, Lintang."
Aku mengangguk ragu, lalu berpamitan. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku dipenuhi oleh berbagai kemungkinan. Ada sesuatu yang tidak beres dengan Dwi, tetapi aku belum bisa memahami apa itu.
Begitu tiba di rumah, Mahesa sudah menunggu di ruang tamu. Dia duduk di kursi dengan sikap santai, tetapi tatapannya tajam.
"Aku sudah bilang, jangan ikut campur," katanya dingin.
Aku melipat tangan di d**a, menatapnya dengan penuh tantangan. "Aku tidak bisa diam saja, Mahesa. Ini tentang Dwi. Dia temanku."
Mahesa berdiri, mendekatiku hingga jarak kami hanya beberapa jengkal. "Temanmu? Lintang, dia bukan lagi Dwi yang kamu kenal. Ada sesuatu yang lain menguasainya. Dan jika kamu terus mendekat, kamu hanya akan membawa dirimu ke dalam bahaya."
Aku terdiam, tetapi tidak ingin menyerah. "Lalu apa yang harus aku lakukan? Membiarkan dia begitu saja?"
Dia menatapku dengan tajam, lalu mendesah berat. "Kalau kamu benar-benar keras kepala, aku akan membantumu. Tapi ingat, jangan pernah mencoba menantang sesuatu yang tidak kamu pahami."
Aku menatapnya penuh harap. "Jadi, kamu akan membantuku?"
Dia mengangguk pelan. "Aku akan melindungimu, Lintang. Apapun yang terjadi."