“Kenapa, kamu menatapku seperti itu! Jangan takut lihatlah aku ini nyata dan kamu bisa menyentuhku seperti menyentuh manusia yang lain!” Dia berkata dengan mengangkat sudut bibirnya yang tipis. Perlahan ia pun membelai rambutku.
Refleks aku pun beringsut mundur tanpa sadar, bahkan jika aku menikah dengannya, dia adalah hantu, dan dia tetap saja hantu sekali pun aku bisa menyentuhnya. Meskipun dia tidak pernah menakutiku, bahkan menyakiti ku, tetap saja aku masih takut padanya, jika dia datang dalam keadaan tiba-tiba seperti ini.
Kak Mahesa kembali tersenyum sembari mencincingkan mata yang membuatku merasa malu dan takut.
"Bagaimana kamu bisa masuk, Kak? Kalau kakak datang tiba-tiba seperti ini, pastinya aku akan ketakutan." Dia tertawa terbahak-bahak dengan wajahnya yang tampan membuatku merasa ada yang aneh dengan jantungku.
“Masuk! Ya tentu bisa. Apa yang tidak bisa aku lakukan untukmu,” balasnya dengan berhenti tertawa.
"Tapi ....”
“Maksudmu pagar gaib rumah ini?” Dia memanyunkan bibirnya dengan senyuman yang selalu membuatku salah tingkah.
Lama aku menatap wajahnya dan baru saja tersadar bahwa aku memiliki suami yang begitu tampan. Sekali pun dia hantu, tapi wajahnya sungguh sangat menawan seperti manusia pada umumnya. Sungguh dia begitu menggoda, berbeda dengan pertama kali aku melihatnya, terutama ketika dia tersenyum, dia terlihat begitu sempurna.
“Lalu, bagaimana kamu bisa masuk?” Aku benar-benar penasaran melihat kakak bisa menembus semua pertahanan yang telah dibuat oleh Bulik Dar.”
“Semua itu tidak berguna bagiku, karena… aku adalah roh jahat, yang bisa menemuimu kapan saja!” Suaranya begitu tegas dan sengaja dia memberikan tekanan pada kalimatnya, seolah dengan sengaja agar aku merasa takut kepadanya.
Kini aku memandangnya dengan tenang dan mendengarkan semua perkataan Kak Mahesa tanpa memberikan respon apa pun. Tentu saja diusiaku yang masih belia ini, aku masih tidak percaya bahwa aku telah bersuami. Melihat tidak ada respon dariku, mungkin dia menyadari bahwa merasa leluconnya sangat membosankan.
“Benda itu hanya digunakan kepada arwah gentayangan, jin jahat, dan makhluk lainnya yang ingin berbuat jahat. Mungkin juga, jimat itu memang tidak berfungsi padaku,” tegas Mahesa.
Mungkin perkataan Kak Mahesa benar, jika jimat itu tidak berfungi baginya. Lalu, bisa saja makhluk lainnya akan mengalami hal yang serupa dengan kakak. Memikirkan hal ini, membuat semua bulu kudukku meremang.
"Jangan takut, aku di sini. Selama aku berada di dekatmu, semua roh jahat tidak akan ada yang berani mengganggumu.”
Dia tersenyum dan tertawa lirih. Entah aku tidak tahu apa yang Kak Mahesa tertawakan. Melihatnya tertawa canggung, membuat Kak Mahesa lebih menarik daripada dia harus memasang wajahnya yang dingin dan acuh tak acuh padaku.
“Aku melihatmu duduk dengan melipat kedua kaki dengan wajah yang menunduk, dan ekspresi wajahmu kemarin sangat lucu,” ucapnya yang membuatku kesal.
“Maksud kakak, kakak tahu aku ketakutan sewaktu di kuburan. Lalu kenapa kakak diam dan tak segera menolongku,” ucapku kesal dengan memukul lengannya.
Tentu saja aku marah, jika dia melihatku meringkuk seharusnya dia segera datang menolongku. Bukan menunggu aku ketakutan baru dia datang. Meskipun usiaku masih sepuluh tahun, pola pemikiranku sudah dewasa, semua itu karena pengalaman hidupku yang penuh dengan lika-liku.
Lirih terdengar suara tawa Kak Mahesa, sepertinya dia menertawakan wajahku yang sedari tadi manyun dan mengomel. “Apa yang lucu!” seruku seraya beranjak duduk dari ranjang. Apa yang membuatnya tertawa? Jika memikirkan kekonyolan yang aku lakukan saat di kuburan hanya akan membuatku kesal.
“Bagaimana bisa kakak tertawa melihatku seperti itu. Kenapa kakak mentertawakan hal yang memalukan itu!”
Aku menarik tanganku, lalu melepas cincin bebatu merah itu dari jariku dan melemparkannya kepada Kak Mahesa. "Aku tidak menginginkannya lagi, bawa pergi cincin itu. Percuma jika punya kakak tapi tidak ada gunanya."
Dia sepertinya terkejut. Perlahan dia membungkuk untuk meraih cincin yang jatuh di lantai dan mengambil cincin itu sembari melihatnya dengan memutar-mutarkan benda kecil bercahaya merah itu. Sesaat kemudian, Kak Mahesa meraih tanganku dengan senyumannya yang khas. Tanpa rasa emosi ia pun berkata. “Ini bukan cincin biasa, cincin ini bisa mencegahmu dari kerasukan hantu mana pun. Bukankah aku sudah bilang, jika cincin ini adalah nyawaku. Banyak manusia yang mengincar cincin seperti ini. Biasanya manusia yang bisa mendapatkan cincin ini, semua permintaannya akan dikabulkan. Tapi, cincin milikku ini berbeda dengan cincin milik mereka, yang bukan dari bangsa manusia.”
Dia berbicara tanpa memandangku, nada bicaranya seperti acuh tak acuh dan tegas, seolah mengatakan, jika cincin yang ada di jari manisku ini adalah telah memenyelamatkanku.
“Jadi cincin ini bisa menyelamatkanku dari roh jahat. Jika tidak, maka hantu-hantu itu bisa merasuki tubuhku. Maksud Kakak begitu?” tanyaku memperjelas.
Jawaban Kak Mahesa hanya dengan tersenyum simpul yang membuatku sedikit terkejut. Percaya tidak percaya malam di kuburan itu, mereka hanya bisa memperlihatkan wajah buruknya, tanpa bisa merasuki tubuhku. Kembali aku menatap Kak Mahesa, yang kebetulan sedang menatapku diam-diam hingga membuatku menunduk malu.
Terkadang aku merasa malu jika dia menatapku. Tentu saja aku malu pada diriku sendiri, bahkan ke semua orang yang mengenalku. Aku malu karena telah menikah terlalu dini, padahal pernikahan ini hanya Bulik dan Wentira yang tahu. Tatapan Kak Mahesa sangat menawan, seperti sihir, yang dapat menangkap jiwa orang.
"Jangan pernah kamu lepas cincinnya. Selain itu, cincin ini juga bisa membantu orang yang kesurupan. Aku yakin kamu bisa menggunakannya. Tapi saran kakak, kamu jangan dulu berhubungan dengan mereka yang terlihat. Karena mereka akan melakukan segala tipu daya untuk menarikmu agar terhubung dengan mereka.”
“Lalu, jika aku melihat ada hal yang tidak beres. Lantas aku harus diam dirikah?” tanyaku mendesak.
“Terkadang tidak semua urusan mereka harus kita bantu. Jika kita mampu, itu tidak masalah. Tapi kalau justru itu membahayakan mu, lebih baik menghindar. Tunggu hingga saatnya tiba, kamu baru akan paham tentang semua ini.”
Ucapan Kak Mahesa mengingatkanku pada sahabatku Dwi. Terbesit dari hatiku untuk bertanya padanya, tapi aku malu untuk menanyakan hal ini. Terkadang aku lupa, bahwa Kak Mahesa bisa membaca pikiranku.
“Seperti teman kamu yang bodoh itu.” Mataku terbelalak mendengar ucapan Kakak. Aku sangat begitu dekat dengan Dwi, dan aku merasakan ada hal yang aneh dalam dirinya.
“Kamu harus hati-hati! Jangan ikut campur masalah teman kamu itu. Akan ada saatnya hantu yang merasuki dia akan keluar.”
“Tapi, Mas. Bagaimana bisa aku diam melihat temanku sendiri sedang ketempelan!” seruku.
Kak Mahesa tidak langsung menajawab, dia justru mencubit pipiku and tersenyum. “Hantu itu sengaja merasuki Dwi untuk mencari perhatianmu. Sebenarnya dia ingin memasuki tubuhmu, tapi karena kamu menggunakan cincinku ini, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.”
Aku menatap kembali cincin pemberian Kak Mahesa dan membatin apakah benar cincin ini bisa diandalkan. Aku menjadi bertanya-tanya, bagaimana bisa Kak Mahesa mengetahui semuanya. Saat aku memikirkannya, tiba-tiba Kak Mahesa mendekat dan tersenyum, reflek aku pun beringsut mundur. Melihat ketakutanku, pria gaib itu justru tersenyum lebih lebar, mengangkat jarinya dengan ringan di daguku hingga aku kepalaku mendongak menatapnya, dan ketika aku lengah tiba-tiba dia mengecup bibirku. Mataku terbelalak melihatnya, bahkan untuk berkedip pun aku tak mampu. Tidak ada pergerakan lain, dia hanya mengecup bibir ini tanpa membuat gerakan yang lebih besar.