Bab 09 [ Iharasi Sousuke POV ]

1422 Words
Aku sudah tidak pernah bertemu lagi dengan dia sejak terakhir kali kuinjak ponselnya hingga hancur. Bukan tidak pernah bertemu sama sekali, tapi aku hanya beberapa kali melihat dia berada dalam satu kereta denganku, tapi karena jarak kami terlalu jauh, aku jadi tidak bisa menyapanya. Eh, tunggu! Kenapa aku harus menyapanya? Bagaimana kalau tiba-tiba dia memintaku untuk membayar ganti rugi soal ponselnya yang sudah kuhancurkan? Tidak! Tidak! Tidak! Aku tidak mau kalau sampai dia tiba-tiba minta ganti rugi padaku, mana punya aku uang sebanyak itu? Ibu saja tidak pernah memberiku uang lebih untuk ke Games Center akhir-akhir ini karena nilai matematika –ku jelek semua. Jadi, mana bisa aku mengganti benda itu. Karena sudah beberapa kali aku melihatnya di kereta yang sama, aku jadi tahu kalau dia bersekolah tepat di sebelah sekolahku dari seragam yang dia kenakan. Hanya saja ... karena hal itu juga aku jadi tidak berani untuk lewat ke depan sekolah itu, meski sebenarnya jalan ke sana lebih dekat ke arah sekolahku, tapi karena dia ada di sekolah itu aku jadi harus memilih jalan memutar yang jaraknya sedikit lebih jauh. Seperti sekarang. “Menyebalkan....” gerutuku sambil terus berjalan. Kalau saja hari itu aku bisa lebih hati-hati, aku mungkin tidak akan menghancurkan barang berharga milik orang lain dan merasa bersalah seperti ini. “Sekarang apa yang harus kulakukan ...?” gumamku sambil terus berjalan. Tiba di gerbang sekolah, aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Beberapa temanku mengajak bermain volley di lapangan aula, tapi aku menolak dan langsung masuk ke kelas. Karena tidak ada temanku yang satu kelas denganku, aku bisa menjatuhkan kepalaku ke meja dan kembali memejamkan mata di sana. “Kau mau Cola?” ujar seseorang saat aku baru saja memejamkan mataku. Dari suaranya, aku tahu kalau itu KenKen, jadi aku hanya menjawab seadanya tanpa berbalik untuk menatapnya. “Hm?” “Kau sudah sarapan?” “Hm.” “Kenapa? Tidak bersemangat sekali.” “Hm....” “Hmn, aku tahu ... kau belum dikirimi uang oleh ibumu, ya?” “Bukan.” “Lalu?” Aku berbalik menatap KenKen yang sedang menenggak sekaleng Cola di tangannya, sementara tepat di sebelah kepalaku, ada sekaleng lagi yang masih tertutup. “Ken.” “Hm?” “Harga ponsel yang bisa dilipat itu berapa sih?” “Ponsel? Kau mau beli ponsel?” “Kalau harganya hanya lima ribu yen, aku mau.” Sialnya, saat mendengar aku mengatakan nominal itu, KenKen malah tertawa dan nyaris menyemburkan Cola yang baru saja dia minum. “Semahal itu ya?” tanyaku dengan sepasang alis yang melengkung ke atas. Sungguh, aku benar-benar tidak tahu kalau harga benda itu bisa semahal itu. “Ya ... mungkin sekitar seratus ribu yen.” Aku menganga saat KenKen mengatakan nominal yang sama sekali tidak bisa kubayangkan selama apa waktu yang harus kuhabiskan untuk mengumpulkan uang sebanyak itu? Sementara uang saku tiap bulan saja tidak sampai lima ribu. Menyebalkan, sampai kapan aku harus menanggung perasaan bersalah begini. Kujatuhkan lagi kepalaku pada meja dan mengabaikan KenKen yang memandangku seperti menelisik. “Kau benar-benar butuh ponsel?” tanyanya dan aku mengangguk, “untuk apa?” “Menelepon orang penting.” “Orang penting?” aku mengangguk lagi, “kau punya pacar?” “jangan bercanda, aku bahkan belum tahu aku ini apa, mana mungkin aku bisa punya pacar....” gerutuku sendiri, sementara aku yakin kalau sekarang KenKen pasti sedang menertawaiku karena hanya aku di antara kami semua yang belum mendapatkan hasil pemeriksaan terakhirku karena aku belum genap lima belas tahun. “Ch, kenapa pemeriksaan itu harus jadi patokan untuk menyukai orang lain.” “Hei, itu penting untukku!” “Apa pentingnya? Pemeriksaan itu hanya tulisan di atas selembar kertas, kau hanya membacanya dan percaya kalau itulah kau di masa depan.” “Kau tidak tahu karena kau memang Beta, sementara aku? Aku ini Alpha, bagaimana kalau aku berpacaran dengan gadis Alpha juga, lucu sekali bukan melihat bagaimana nanti hubunganku dengannya jadi sangat keras?” “Lalu kenapa? Tinggalkan saja kalau hubunganmu sudah tidak bah-baik saja.” “Bagaimana kalau aku mencintainya?” “Y—ya, itu ... aku tidak tahu, aku tidak pernah punya pacar.” “Lihat, kau menyebalkan seperti orang itu?!” ujarku jengah kemudian mengambil kaleng Cola yang sejak tadi di meja, membukanya dan meminumnya rakus sementara dia terkekeh seperti aku ini sedang bercanda dengannya. “Ah, soal ponsel tadi,” KenKen kembali menarik topik pertama kami, “memangnya kau sudah punya uang berapa?” “Aku cuma uang dua ribu, itu pun untuk bulan ini.” “Terus bagaimana kau mau beli ponsel?” “Mana kutahu~” rengekku, “Ken, kau punya solusi?” “Solusi? Mn ... aku ada job part time, tapi itu masih dua minggu ke depan. Kalau kau mau, kau bisa ikut denganku.” “Di mana?” “Di taman hiburan. Kau mau ikut?” “Aku mau! Aku mau! Berapa bayaranny—“ belum selesai pertanyaanku, bel pelajaran pertama berbunyi. KenKen yang kelasnya tepat berada di sebelah kelasku langsung keluar setelah mengusak rambutku gemas seperti aku ini adalah bocah lima tahun yang masih akan menangis kalau ditinggalkan teman. Menyebalkan. Sial, bahkan saat jam pelajaran dimulai pun aku tidak bisa berpikir dengan benar. Hari ini di mata pelajaran Biologi pun aku hanya menjawab seadanya untuk ulangan spontan, tapi aku harus mengacapkan terima kasih pada isi kepalaku yang bisa kukatakan lumayan untuk masalah pelajaran, karena meski tidak belajar sama sekali pun aku bisa menjawab cukup banyak pertanyaan dengan baik hingga masih bisa mendapat nilai bagus yang cukup memuaskan. Setelah jam sekolah berakhir, seperti biasa aku dan teman-temanku pergi untuk bermain ke Games Center. Menghabiskan uang yang diberikan oleh ibu dan membeli beberapa makanan. Beberapa hari ini terasa begitu baik, meski aku sempat melihatnya di kereta yang sama denganku, tapi aku beruntung karena dia tidak berusaha menyapaku dan tetap fokus pada buku yang sedang dia baca, meski sesekali aku juga melihat bagaimana dia menutup mulut dan hidungnya untuk sesuatu tapi aku benar-benar beruntung karena itu. Ah, aku ingat. Hari ini aku juga punya jadwal ulangan matematika, bukan? Kupikir aku harus menghafal beberapa rumus yang belum kubisa sebelum ulangan nanti dimulai di jam pelajaran pertama. Jadi, aku mengeluarkan buku catatan matematika dari dalam tas kemudian membacanya. Tapi ... kenapa dia selalu menutup hidungnya seperti itu? Apa bau badan orang-orang di kereta selalu mengganggunya? Berpikir tentang itu, aku juga langsung mengangkat tanganku dan membaui aroma ketiakku sendiri. Aku berharap aromanya tidak seburuk tahu busuk. “Tidak bau....” gumamku sendiri. Tentu saja, aku selalu pakai deodoran, kan? Menyebalkan. Aku memalingkan wajahku dan melihat ke arah lain dan mengabaikan kerumunan manusia di dalam sini. Ya, kuabaikan mereka karena perjalananku masih cukup jauh ke stasiun sekolah, bukan hanya itu, karena kereta hari ini juga cukup padat, aku juga tidak bisa berkutik meski hanya untuk bergeser untuk sedikit lebih jauh darinya. Aku tidak ingin dia tiba-tiba melihatku dan menagihku soal ponselnya yang kuhancurkan tempo hari. Akan sangat lucu kalau itu terjadi karena aku tidak punya uang sebanyak itu untuk membeli benda mahal it— Brak! Buku ditanganku tiba-tiba jatuh saat seseorang memukul punggung tanganku sangat keras. Belum aku memberikan orang yang memukulku itu sebuah umpatan, orang itu juga langsung menarik tanganku menjauh dari tempatku berdiri setelah dia memungut buku yang dia jatuhkan tadi. “Hei, apa-apaan kau?!” geramku hingga kami jadi pusat perhatian. Kupikir awalnya aku akan benar-benar marah dengan yang orang itu lakukan, tapi ternyata aku tidak bisa melanjutkan marahku karena sekarang wajahku mungkin sudah pucat seperti mayat. Karena yang memukul tanganku dan menarikku dari tempatku berdiri semula itu adalah orang yang ponselnya kuinjak hingga hancur. “Lepaskah!” sekali lagi aku membentaknya, “lagi pula kenapa kau memukul tanganku?! Kalau kau punya masalah denganku bilang saja!” bentakku lantang sambil mengambil buku matematika –ku darinya sambil melotot dan berharap kalau ketakutanku tidak bisa dilihat olehnya. Berbeda denganku yang marah-marah dan malah jadi pusat perhatian, dia malah menatapku sambil sesekali melirik entah ke mana dengan ekspresi yang tidak berubah sejak pertama kali kami bertemu, apa-apaan dia? Apa wajahnya memang seperti itu setiap hari? Kaku sekali? “Hei?!” bentakku lagi dan berhasil menarik perhatiannya. Tapi aku tidak berharap kalau dia akan mengingat hutangku padanya. “A—oh, maaf. Kupikir kau orang yang kukenal.” “Apa?! Menyebalkan sekali kau!” hardikku kemudian berbalik dan bergerak ke sebelah ibu-ibu paruh baya bertubuh gemuk di sebelahku agar kami bisa sedikit berjauhan meski jarak kami hanya satu orang manusia. Sial! Sial! Sial! Kenapa ini harus terjadi?! Kenapa dia harus menyapaku?! Aku ingin kereta segera berhenti di stasiun dan aku akan langsung berlari dari sana, meninggalkannya dan bersembunyi di belakang mejaku seperti biasa. Dan itu benar-benar kulakukan. Saat kereta berhenti, aku langsung keluar dan berlari dari sana, tapi saat aku benar-benar meninggalkan stasiun dengan dia yang masih di belakangku tidak sengaja aku menabrak seseorang sampai kami tersungkur dan jatuh bersamaan dengan aku yang menindihnya. “Ugh, ma—maafkan aku ... aku tidak sengaja—“ “Sou, kau ini kenapa, sih?” “Eh?” Itu KenKen. Entah aku harus benar-benar minta maaf atau berterima kasih karena dia yang ada di hadapanku sekarang. Tapi dengan KenKen yang kutabrak, setidaknya aku bersyukur karena aku tidak harus terus berlari untuk tiba di sekolah. “Kenapa lagi?” tanyanya sambil menyingkirkanku dan mencoba bangun. “Aku ... tadi aku melihat anj—tikus! Ya, aku melihat tikus!” “Ha?! Tikus? Yang benar saja?” Tentu saja tidak ada tikus sepagi ini, karena aku berbohong. Sadar kalau aku sedang menghindari seseorang, aku langsung bangun dan menarik tangan KenKen untuk pergi dari sana sebelum anak itu melihatku lagi. Tiba di sekolah, KenKen sama sekali tidak bertanya kenapa dengan kelakuan anehku akhir-akhir ini, dia hanya terus mengingatkanku soal part time yang akan kami lakukan minggu depan. _
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD