Bab 10

1215 Words
Aku berjalan menunduk seraya memikirkan detik-detik menengangkan tadi dan semua prasangka ketika tiba-tiba aku menubruk tubuh seseorang. Bruk! “M--Maaf.” “Ehm, yang habis dilamar, ngelamunnya sampai segitunya!” Deg! Suara itu? Aku lekas mendongak dan benar saja seraut wajah yang kuharapkan tak pernah tahu semua kejadian inilah yang sudah berdiri di depanku. Lingga Bardion, apakah dia melihat juga semua yang tadi terjadi di lobi hotel ini? Ya Tuhaaan? Kenapa jadi serumit ini, sih? “K--kamu d--dari tadi?” Terbata aku bertanya padanya. “Enggak, tapi aku tahu semuanya! Selamat, ya!” Dia mengulurkan tangan ke arahku. Senyum itu masih sama, senyuman tujuh tahun lalu yang membuat aku kangen siang malam. Namun kok hati jadi terasa pedih, ya. Diucapin selamat sama seseorang yang belum pergi sepenuhnya dari relung hati yang paling dalam. Aku menunduk, mencoba menetralkan debar dalam d**a yang tak menentu. Lalu kuangkat lagi kepala dan menatap ke arahnya. “Selamat untuk apa, sih?” tanyaku. Sengaja memancing sebetulnya. Hanya ingin dengar sendiri apa yang dia ketahui. “Kamu lihat grup alumni.” Dia bicara ringan lalu gesture tubuhnya seolah mengajakku beranjak pergi. “Grup alumni?” Aku menautkan alis. Baru beberapa hari aku tergabung dalam grup ini setelah memutuskan untuk ikut acara hari ini. “He’em!” tukasnya seraya menjejeri langkahku yang sudah mulai memasuki ball room. Aku lekas mengambil gawai dan membuka WAG alumni. Benar sudah ada ratusan chat yang belum aku baca. Astaghfirulloh, apa-apaan ini? Rupanya ada orang yang mengirim rekaman Pak Faqih waktu melamarku tadi. Sialnya, videonya gak sampai habis dan tak ada jawaban dariku dalam video itu. Sengaja banget kayaknya biar semua orang salah paham, duh. “Semua ini gak seperti yang kalian pikirkan, kok!” Kelu sebetulnya untuk memulai. Bingung juga mau menjelaskan karena Dion tak meminta penjelasan apapun. Lagi pula, siapa aku dan siapa dia? Aneh rasanya kalau tiba-tiba aku menjelaskan padanya. Akhirnya aku diam setelah mengucapkan kalimat itu dan tak ada tanggapan. “Eh kita jadi ‘kan mau lihat minimarket Renata? Nanti aku jemput ke rumah kamu, ya?” “Aku gak paham bisnis sebetulnya, Yon! Kalau kamu mau beli, beli saja. Aku gak ikut.” Pada akhirnya aku yang memang ragu memilih mundur. “Uang aku kurang, Yu! Maklum anak kuliahan mana ada duit sebanyak itu … kalau berdua kan bisa JV. Jadi nanti kita akan menjadi ownernya, kita bisa belajar bisnis dan memulainya dari sini.” Ah, rasanya aku gak percaya ketika Dion bilang gak ada uang. Mana mungkin anak satu-satunya dari seorang anggota anggota dewan dan memiliki banyak cabang bisnis bisa gak punya uang. “Hmmm … aku nanti mikir-mikir dulu, deh! Aku saja mau jual sesuatu dulu kalau jadi ambil itu!” “Oke kalau gitu, nanti aku telepon kamu, ya!” “Eh, emang kamu ada nomorku?” Aku menoleh dengan sedikit mendongak. Tingginya yang kisaran seratus tujuh puluh senti, berbanding terbalik denganku yang hanya seratus lima puluh dua senti. “Duh, gegara dilamar jadi gak fokus kayaknya! Kan kita se grup sekarang, Yu!” Dia berucap seraya terkekeh lalu melirik ke arahku. Beberapa detik, netra kami bersitatap. Aku lekas membuang pandang. Duh dalam d**a terasa gemuruh tak karuan. “Jangan bahas lamaran itu melulu, aku juga belum tentu nerima, kok!” Pada akhirnya aku kelepasan. Dia juga kayak yang mancing-mancing gak, sih? “Oh, sorry! Aku kira tadi jawabannya, iya. Soalnya videonya kayak sengaja dipotong pas kamu mau jawab! Secara rasanya mana mungkin seorang Pak Faqih ditolak. Dia kan sudah paket lengkap, tampan, mapan dan dari keluarga terpandang. Hmmm, apa kamu sudah ada calon makanya belum jawab Pak Faqih?” Dih, Dion kok kayak makin sengaja ngorek informasi. Aku kan jadi makin geer, berasa dia masih peduli pada statusku, huft. Aku menelan saliva, tiba-tiba saja aku merasa makin gak karuan. “Aku masih nunggu seseorang.” Akhirnya kalimat itu terucap dengan lirih dan tak yakin. Kujawab sambil menunduk, wajah mungkin sudah merah padam karena terasa memanas. “Seseorang? Apakah aku mengenal orangnya?” Dion bertanya lagi. “Ayu! Sini!” Beruntung, beruntung banget Harum memanggilku. Setidaknya aku tak harus menjawab pertanyaan Dion yang bikin aku jantungan sekarang. Aku menoleh ke arah Harum, alhamdulilah dia sudah beralih kursi. Kini tak lagi bergabung dengan geng Dewi. “Yon, aku ke Harum dulu, ya!” Aku menoleh pada lelaki yang masih menjejeri langkahku ini. “Yuk!” tukasnya santai. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana dan berjalan dengan penuh percaya diri. Beberapa pasang mata aku sadar, sedang memperhatikan kami. Mungkin dalam benak mereka menerka-nerka, secara antara aku dan dia ada kisah yang belum usai. “Sudah pindah, Rum?” tanyaku pada Harum. Lalu menarik satu kursi setelah menyapa beberapa teman yang lain. Ada Firda, Rega, Saskia dan Indri di meja ini. “Iya diusir Dewi,” kekeh Harum. Aku yang baru saja duduk seketika mendelik ke arahnya. Kok bisa-bisanya Dewi ngusir Harum. “Diusir kenapa, Rum?” Kudengar Dion melempar tanya. Dia memilih duduk di samping Rega yang cowok sendirian di meja ini. Kami melingkar pada meja bundar yang cukup besar ini. “Itu, Yon! Tadi itu datang seorang cowok, katanya sutradara filmnya Dewi. Terus beberapa dari kami diusir karena takut Pak Sutradara gak nyaman katanya. Aku sih, syukur banget jadi bisa pergi tanpa harus gak enak hati, tapi beberapa teman lain pada ngedumel!” kekeh Harum. “Pak Anton, Rum?” tanyaku memastikan. “Katanya iya, namanya Anton! Dengar-dengar itu sodaranya Pak Faqih, ya?” tukas Harum. “Enak banget, ya, punya saudara jadi sutradara … bisa ikut maen film, deh!”timpal Saskia. “Ya kali maen film bisa KKN, mentang-mentang sodara, semua bisa masuk scene!” kekeh Rega. Kami tertawa, hingga terdengar suara MC yang meminta perhatian di atas panggung. “Attention please! Tes, tes, tes bunyi hujan di atas genting!” Suaranya dan gaya neylenehnya mampu membuat kami menoleh. “Mohon perhatiannya buat kawan-kawan semua yang berbahagia maupun tidak, setelah sambutan-sambutan selesai … rupanya ada acara tambahan yang tadi urutannya belum saya bacakan … ternyata eh ternyata di tengah-tengah kita semua sudah hadir sutradara kondang, yang sudah menggarap puluhan film yang fenomenal. Pada kesempatan ini, merupakan sebuah kehormatan bagi angkatan kita, karena selain dihadiri lengkap dari semua pihak sekolah, rupanya … eh rupanya … Pak Sutradara pun berkenan hadir demi untuk turut menyaksikan penghargaan untuk seseorang yang berprestasi. Dia adalah alumni dari angkatan kita. Bangga ‘kan. Ya? Bangga, dong!” Aku menggeleng kepala, bisa-bisanya dia bicara segitu panjang tanpa jeda. Lalu kudengar Harum berbisik. “Yu, kata Dewi tadi … Pak Anton yang sutradara itu datang ke sini diundang oleh tim sekolah buat kasih penghargaan. Katanya buat dia, ya? Kan dia maen film yang disutradarai Pak Anton katanya.” “Oh, kata dia gitu, Rum?” “Iya, Yu! Tuh lihat saja di grup! Koar-koar mulu!” Harum menunjukkan layar gawai. Benar saja, di grup tampak Dewi mengirimkan beberapa foto dengan Pak Anton disertai kalimat-kalimat yang menunjukkan kalau dia begitu konfiden jika Pak Anton datang buat kasih pengharagan ke dia. [Guys, asal kalian tahu! Di sini hanya aku deh alumnus yang kenal sama Sutradara kondang ini! Kalian wajib nunggu, ya! Sebentar lagi aku pasti dipanggil ke atas podium buat nerima pengharagaan dari sekolah. Secara aku sudah bisa membuktikan, kalau di dunia nyata bahkan aku bisa lebih berprestasi dari pada siswa yang dulunya berprestasi. Iya gak?]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD