“Terima! Terima! Terima!”
Astaghfirulloh! Aku menjadi lebih shock ketika tampak Bu Isma tengah mengarahkan kamera ke arahku. Beberapa guru dan teman-teman seangkatan yang tanpa kutahu sudah ada di sana tengah bertepuk tangan dengan kompak. Mereka menatap ke arah kami dan menggemakan kata terima seirama dengan tepukan tangan mereka.
Ya, Tuhaaan! Aku beneran ingin pingsan!
Keringat dingin mendadak bermunculan. Aku benar-benar bingung harus berbuat apa sekarang. Teringat pesat ibu ketika saat itu dia bicara terkait jodoh.
“Jika ada lelaki baik yang mengajak langsung menikah, maka terimalah! Berarti dia bersungguh-sungguh dan bukan hanya hendak melecehkan.”
Itulah pesan yang dia sampaikan. Benar memang Pak Faqih orang baik, tetapi apakah baik saja cukup untuk mendasari sebuah pernikahan? Lalu, selama tujuh tahun bertahan itu sebetulnya aku karena apa? Karena belum ada lelaki baik yang datang atau karena Lingga Bardion yang belum bisa sepenuhnya menghilang dari lubuk hati paling dalam ini.
Aku mengangkat wajah sekilas menatap lelaki yang tengah tersenyum dan menatapku lembut itu. Tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul dari dalam benakku. Apa alasan sebetulnya yang membuat Pak Faqih tiba-tiba melamarku. Bukankah kami kenal sudah lama? Kenapa gak dari dulu dia datang ke rumah dan langsung bicara pada Ibu jika benar-benar serius? Lalu kenapa harus menunggu sekarang? Kenapa waktunya bertepatan dengan ketika dia tahu jika aku sudah sukses di dalam dunia kepenulisan dan novelku diangkat ke layar lebar. Apakah ini hanya sebuah kebetulan? Ataukah ini adalah kesengajaan?
Apakah dia betul-betul melemarku karena memang sudah menyukaiku sejak lama? Ataukah dia mendadak melamarku karena sudah tahu siapa aku yang sebenarnya?
Duh, pikiranku menjadi semakin mumet dan tak karuan. Koor dari Bu Isma dan teman-teman satu angkatan masih riuh di telinga membuat aku semakin gugup dan semakin bingung untuk mengambil keputusan.
“Hmmm, P--Pak … k--kalau s--saya minta waktu dulu buat berpikir b--bisa?” Terbatalah pada akhirnya apa yang keluar dari bibirku.
“Ya, apa, Yu?” Lelaki yang usianya terpaut sekitar delapan tahun dariku menatapku ketika memintaku mengulangi kalimat yang mungkin hampir tak terdengar karena gugupnya.
“S--saya minta waktu, Pak. S--Saya gak bisa mutusin semuanya sekarang.” Aku mengulangi kalimat itu. Bahkan otakku yang biasanya lancar jaya seperti jalan tol, sekarang mendadak hang dan blank.
“Oh … pasti boleh, Yu! Sangat boleh kalau mau mikir-mikir dulu … saya tahu, kamu pasti shock,” kekehnya.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum, lalu Pak Faqih menoleh ke arah kermunan yang terhalang beberapa meja dari kami.
“Bu Is, sudah bubar-bubar! Ayu malu mau kasih jawaban!”
Ya ampuuun, kenapa pula dia malah ngomongnya gitu. Lalu apa itu? Ternyata banyak anak alumnus yang tampak merekam semua yang terjadi tadi. Duh, malunya aku kalau ini sampai menyebar.
Aku mengusap wajah, meredakan rasa panas yang menjalar. Mungkin wajahku sudah memerah seperti tomat sekarang.
“Cieee, cieee … kita diusir, nih!” kekeh Bu Isma seraya memicingkan mata ke arah kami.
“Iya, diusir dulu, ya … masa mau dibikin konten live juga jawabannya,” kekeh Pak Faqih seolah dia itu memberikan signal pada mereka kalau aku pasti akan menjawab iya, duh.
“Iye deh, iyaaaa … kita paham, kok! Hmmm … Yu, jangan sia-siakan Pak Faqih … dia high quality jomblo loh!”kekeh Bu Isma seraya melirik ke arahku. Dia memainkan alisnya turun naik dan melirik ke arah Pak Faqih penuh makna. Beberapa teman seangkatan yang entah diajak Bu Isma atau memang kepo sendiri turut riuh menggodaku. Duh, malunya aku.
“Sudah jangan godain Ayu terus, Bu Is! Nanti kalau jadi, kami segera kirim surat undangannya,” kekeh Pak Faqih. Confident levelnya tinggi sekali. Padahal dia tak pernah tahu di dalam lubuh hatiku yang paling dalam itu ada siapa.
“Ditunggu kabar baiknya, yes! Ayo kita jangan ganggu dulu ….” Bu Isma mengarahkan pandangannya pada sekerumun orang yang mungkin berjumlah sampai lima belas orang lebih itu.
“Ditunggu undangannya ya, Pak!”
“Terima saja, Yu! Pak Faqih itu orang baik dan sudah pasti top markotop!”
“Yang satu genius, yang satu cerdas! Kalian itu bukan hanya cocok, tapi cocok banget!”
“Pak Faqih sudah mapan dan terjamin, Yu! Jangan sampai kesalip yang lain!”
Duh celotehan mereka seolah paling tahu. Memangnya semua yang mereka ucapkan itu adalah jaminan kalau kami nikah nanti bisa bahagia? Tentu enggak ‘kan? Apalagi sudut hatiku sebelah dalam masih ada ruang yang belum tergantikan. Meskipun aku tahu, halangan dan rintangan untuk meraihnya pun teramat sangat besar. Namun, enathlah … beginilah mungkin yang dinamakan cinta mengalahkan logika.
Tiba-tiba yang berlarian di benakku adalah wajah dia, lelaki yang sampai saat ini belum bisa membuatku move on. Memori tujuh tahun lalu ketika kami pada akhirnya memang kami harus saling melepaskan.
“Yu! Satu minggu lagi saya ke rumah kamu, ya.” Suara Pak Faqih membuyarkan lamunanku. Jadi, dia memberiku waktu satu minggu.
“Hmmm … oke, oke, Pak!” Aku menjawab datar, sedikit kikuk dan canggung juga rasanya.
“Kamu jangan jadi kikuk kayak gitu, dong!” kekehnya.
Bibirku kutarik paksa biar membentuk senyuman. Setidaknya tak terlihat banget kalau aku bener-bener gugup dengan semua serangan dadakan yang tak kuprediksikan. Tadi aku kira dikasih uang karena sudah menjadikan kebanggaan pihak sekolah, eh nyatanya dikasih pilihan buat masa depan.
“Iya, maaf, Pak! Boleh saya pergi, Pak!” Aku mendongak sekilas lalu beranjak dari tempat dudukku.
“Iya … duluan saja, Yu! Saya lagi nunggu Pak Anton sekalian! Kebetulan saya undang juga!” tukasnya.
“Pak Anton? Apakah Pak Anton Wijaya?”
Sedikit terkejut mendengar nama itu. Aku tahu, Pak Anton adalah Sutradara yang menggarap film dari novelku.
“Iya, dia. Kebetulan, Anton itu adalah anak dari sepupu orang tua saya, Yu! Hanya saja dulu dia tinggal lama di Singapura baru balik ke sini pas lulus SMA! Makanya kemarin pas kru film datang ke sekolah … surprise juga … rupanya dunia memang begitu sempit.” Pak Faqih terkekeh.
“Kalau begitu saya permisi dulu, Pak!”
“Oke, Yu! Saya tunggu kabar baiknya!”
Aku hanya tersenyum, lalu lekas bangkit dan meninggalkan Pak Faqih yang duduk sendirian di kursi yang kutinggalkan. Jika dia memang kenal Pak Anton, maka pastinya gak salah jika dia tahu banyak tentang aku dan berapa besaran royalti yang kuterima nanti. Semoga saja tak ada kena mengena dengan lamaran dadakannya yang membuat aku shock.
Aku berjalan menunduk seraya memikirkan detik-detik menengangkan tadi dan semua prasangka ketika tiba-tiba aku menubruk tubuh seseorang.
Bruk!
“M--Maaf.”
“Ehm, yang habis di lamar, ngelamunnya sampai segitunya!”
Deg!
Suara itu?
Aku lekas mendongak dan benar saja seraut wajah yang kuharapkan tak pernah tahu semua kejadian inilah yang sudah berdiri di depanku. Lingga Bardion, apakah dia melihat juga semua yang tadi terjadi di lobi hotel ini? Ya Tuhaaan? Kenapa jadi serumit ini, sih?