3. Rencana kabur

1130 Words
Pukul enam pagi, Alleia sudah siap dengan bajunya yang rapi dan tas yang sudah berisi banyak buku mata kuliah hari ini. Alleia memakai kacamata hitamnya juga masker hitam, perempuan itu keluar kamarnya dengan mengendap-endap pelan. Alleia hari ini ingin berangkat sendiri tanpa pengawalan adiknya maupun pengawalan Braga. Alleia sudah bosan kalau terus diikuti mereka, mereka bagai parasit yang mengganggu pergerakannya.  Alleia menuruni tangga dengan berjinjit pelan, dia tidak ingin acara kaburnya ketahuan papa dan mamanya. Alleia melirik jam di pergelangan tangannya, biasanya jam segini papanya sudah bangun untuk mencuci baju. Dengan secepat kilat Alleia melenggang menuju pintu utama.  Alleia bernapas lega saat berhasil membuka pintu, Alleia melewati halaman depan karena kalau lewat belakang takut ketahuan. Allard biasanya jam segini sudah olahraga di lapangan belakang. Sebenarnya Alleia sangat bersyukur lahir di kalangan orang berada, apalagi mama dan papanya sangat menyayanginya. Papanya juga memperhatikannya dan adik-adiknya dalam hal apapun. Seperti Allard yang suka olahraga, papanya membangunkan tempat fitnes dan lapangan, Alleron yang suka dengan ilmu fisika, papanya membangunkan lap khusus untuk penelitian. Namun yang membuat Alleia kesal adalah aturan-aturan dari papa dan adik-adiknya yang sangat menyebalkan.  Alleia tidak pernah merasa punya waktu untuk diri sendiri apalagi dengan teman-temannya. Sampai dia sudah memasuki semester enam, Alleia tidak pernah merasakan hangout dengan teman-temannya. Hanya Ziona lah yang dengan lapang hati menjadi temannya. Alleia menggelengkan kepalanya pelan meratapi kehidupannya yang sungguh menyebalkan. Gadis itu berlari menuju gerbang.  "Non, mau ke mana pagi-pagi sekali?" tanya Pak Mansur, petugas keamanan. "Tadi sudah ijin sama papa kok, Pak. Ini mau ke kampus," jawab Alleia tersenyum sopan. "Bapak panggilkan Pak Duwi dulu ya, Non. Biar nganter ke kampus," ujar Pak Mansur ingin memanggil rekannya yang sopir.  "Tidak perlu, Pak. Ini sama Ziona, minta tolong saja bukain pintunya!" jawab Alleia. Meski Alleia manja, dia masih tau cara menghargai orang yang lebih tua dan selalu diajari mamanya untuk bersikap sopan dan tidak boleh semena-mena.  Alleia ingat dulu saat dia kecil sering memerintah asisten rumah tangganya dengan semena-mena, tapi mamanya malah membela asitennya dan menasehatinya meski dia mempunyai hak untuk menyuruh, tetap saja tidak boleh terlewat batas. Alleia sangat mengagumi mamanya itu, yang Alleia tau seorang istri CEO atau orang penting biasanya dandan seperti ibu-ibu sosialitas. Sedangkan mamanya kalau diajak papanya banyak tidak maunya karena lebih memilih mengurus anaknya di rumah. Baru kalau ada pertemuan formal dan undangan pernikahan rekan kerja, mamanya akan ikut dan itupun hanya berdandan sewajarnya. Lagian papanya tidak akan suka saat mamanya dandan berlebihan, mengingat papanya possesive membuat Alleia terkikik geli.  Karena asik melamun membuat Alleia tidak sadar pak Mansur sudah membuka pagar dengan lebar. Alleia terkesiap, buru-buru gadis itu keluar gerbang seraya mengucapkan terimakasih.  Alleia berjalan cepat sembari menundukkan kepalanya, hingga langkahnya terhenti saat ia menengadahkan kepalanya ia melihat seorang pria berdiri tegab dengan memakai setelan kantor.  "Mau ke mana?" tanya Braga menatap Alleia tajam.  "Mas, Mas ngapain ke sini pagi-pagi?" tanya Alleia terkesiap.  "Mau ke mana?" tanya Braga ulang. Alleia menggaruk tengkuknya, baru saja lima langkah dia keluar dari gerbang, tapi sudah terciduk oleh Braga.  "Kampus," jawab Alleia sewot. Kali ini Alleia tidak akan kalah dengan adiknya maupun Braga, Alleia ingin belajar mandiri dan berangkat ke kampus sendiri.  "Kampus mana yang buka jam lima pagi?" tanya Braga sembari menatap pergelangan tangannya.  "Kampus Ia sendiri," jawab Alleia meneruskan langkahnya. Namun sayang, tangannya langsung dicekal Braga.  "Mas, lepasin Ia!" ujar Alleia dengan tajam.  "Gak akan!" "Mas Braga ke sini mau ketemu sama papa, kan? Kalau mau ketemu papa silahkan masuk sana, aku mau kuliah," ujar Alleia lagi.  "Bertemu papamu bisa ditunda, tapi kenakalanmu tidak bisa ditolelir," jawab Braga menarik tangan Alleia menuju mobil.  "Mas, Ia gak mau ikut sama Mas!" pekik Alleia memberontak dari cekalan Braga.  "Diam, Alleia. Nanti Mas dikira penculik," ucap Braga.  "Mas emang penculik, aku gak mau ikut Mas. Aku mau ke kampus sendiri, huwaaa ....." teriak Alleia seraya menangis kencang. Buru-buru Braga memasukkan Alleia di kursi samping kemudi. Setelah memastikan Alleia masuk, Braga segera memutari mobilnya dan duduk di balik kemudi. Saat Alleia akan turun, Braga menghidupkan tombol kunci membuat Alleia menggeram marah.  "Mas, Mas Braga kenapa seenaknya sendiri sama, Ia? Ia ingin ke kampus sendiri," ujar Alleia menghapus air matanya.  Braga tidak menjawab, laki-laki itu mencondongkan tubuhnya pada tubuh Alleia. Semerbak harum mawar bercampur manis memasuki indra penciuman Braga. Braga menundukkan kepalanya, melihat leher jenjang Alleia yang tampak mulus.  "Mas mau ngapain?" tanya Alleia heran. Braga terkesiap sebentar, laki-laki itu menarik sabuk pengaman dan memasangkan pada tubuh Alleia.  "Selain kecepatan, utamakan keselamatan!" ucap Braga. Braga kembali duduk anteng di kemudianya.  "Aku mau turun!" pekik Alleia kesal.  "Tidak! Kalau kamu mau ke kampus, biar Mas yang antar," jawab Braga dengan tegas.  "Kenapa sih Mas, Mas ikut ngatur Ia kayak gini? Ia sayang Mas Braga, tapi Mas Braga tidak boleh menzolimi Ia kayak gini," ujar Alleia. Braga menahan dirinya untuk tidak menyemburkan tawanya. Sejak kapan mengantar ke kampus disebut menzolimi?  "Mas, jangan diam aja!" pekik Alleia lagi.  "Kamu sudah berani nakal, Alleia. Siapa yang ngajarin?" tanya Braga sembari mulai melajukan mobilnya.  "Siapa yang nakal? Alleia gak nakal." "Buktinya kamu kabur dari rumah. Keluar rumah jam lima pagi dengan alasan ngampus? Sungguh tidak masuk akal," ucap Braga dengan tenang. Alleia membulatkan matanya, kenapa Braga bisa tau kalau dia bohong? "Mas Braga gak sengaja mendatangi Ia, kan? Jangan-jangan Mas Braga dukun, bisa tau apa yang akan Ia lakukan," tuduh Alleia.  "Jangan ngawur!" jawab Braga.  Sebenarnya Braga ke rumah Rex untuk menyerahkan berkas-berkas yang diminta Rex semalam, sekalian ingin numpang sarapan di sana. Ia juga ingin memberikan voucher game untuk kelima A agar sedikit luluh dengannya. Namun dia malah mendapati Alleia yang keluar dari rumah. Braga yakin seratus persen kalau Alleia keluar rumah tanpa pamit, terlihat dengan cara gadis itu berjalan setelah keluar gerbang.  "Kesel banget hidup kayak gini, kemana-mana diikutin terus," omel Alleia dengan kesal. Alleia sengaja mengeraskan suaranya agar Braga turut mendengar.  "Punya adik lima gak ada yang waras, punya kakak satu juga sama gak warasnya. Mereka pikir Ia tahanan apa yang harus diikuiti terus. Tampang Ia cantik, imut, menggemaskan, ya kali ada rencana buat tindak kejahatan." "Mending cari pacar, hidup bareng pacar, biar gak diikuti terus kayak gini." Ciiit! Suara ban berdecit dengan kencang membuat Alleia memekik kencang dengan tubuhnya yang terhuyung ke depan. Braga tiba-tiba mengeram mobilnya mendadak. Melihat Alleia yang terhuyung, buru-buru Braga merentangkan tangannya menahan kepala Alleia yang akan terbentur. Jantung Braga berpacu cepat, dia menatap Alleia yang tampak mengatur napasnya.  "Ulangi kalimat terakhirmu tadi, Alleia!" titah Braga menatap tajam Alleia.  "Mas Braga apaan sih ngeram mendadak gini. Kalau kepalaku nubruk dashboard gimana? Benjol nanti!" seru Alleia dengan kencang.  "Ulangi, Alleia! Apa maksudmu mencari pacar?" "Ya cari pacar lah, biar bisa hidup bebas dari kalian." "Cowok mana yang berani memacarimu, Alleia? Kalaupun ada, akan aku bawa dia ke ring tinju. Siapapun yang kalah, bakal mundur dengan babak belur!" ucap Braga dengan tajam, 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD