4. Tangisan Alleia

1145 Words
"Mas Baga, dengan Mas yang ngintilin Ia kemanapun, Ia gak akan dapat pacar. Karena nanti cowok yang mendekati Ia, pasti langsung kabur," ucap Alleia menjambak rambutnya dengan frustasi.  "Kamu nurut saja apa kata Mas!" ujar Braga kembali menjalankan mobilnya.  "Ya kali nurut terus. Memangnya kenapa sih Mas gak bolehin Ia pacaran?" tanya Alleia penasaran. Braga terkesiap, pria dewasa itu melirik Alleia yang tampak menanti jawabannya.  "Mas, kenapa?" tanya Alleia berharap-harap cemas. Alleia menatap wajah tegas pria di sampingnya yang tampak mempesona. Wajah yang manly dan dompet yang tebal, Alleia pun mau kalau harus menjadi pacar Braga, tapi Alleia cukup sadar diri kalau Mas Braganya tetap menganggapnya anak kecil.  "Mas, kenapa nyuruh aku gak boleh pacaran?" ulang Alleia lagi. Gadis itu masih berharap Mas Braga mengatakan sesuatu yang membuatnya bahagia. Namun angan hanyalah angan.  "Papa kamu menyuruh Mas buat jagain kamu, dan papamu bilang untuk mengawasimu agar tidak pacaran. Jadi garis besarnya papamu tidak memperbolehkanmu pacaran," jelas Braga setelah memutar otaknya.  "Beneran papa gak boleh Ia pacaran?" tanya Alleia..  "Eheem," jawab Braga setengah berdehem.  "Kalau gitu nanti Ia tanya sama papa." "Eh jangan!" seru Braga dengan cepat.  "Lah kenapa, Mas?"  "Papamu bilang supaya mas tetap jaga rahasia. Kalau kamu tanya, nanti mas dikira ember sama kamu dan papa kamu gak percaya lagi sama mas," ucap Braga beralibi. Padahal tidak memperbolehkan Alleia pacaran hanya akal-akalannya saja. Braga tidak ingin Alleia pacaran, entah sampai kapan laki-laki itu melarang Alleia tapi tidak kunjung mengutarakan perasaannya. "Oalah gitu," jawab Alleia menganggukkan kepalanya.  "Paham, kan?" tanya Braga sembari sebelah tangannya mengelus pucak kepala Alleia. Alleia mengangguk lagi dengan memanyunkan bibirnya.  Setelah perjalanan beberapa menit, Braga dan Alleia sampai di depan kampus yang jelas saja maih sepi. Ini masih jam lima lebih lima belas menit, siapa juga mahasiwa yang akan datang jam segini? Mahasiswa rajin pun memilih bergelung dalam selimut.  "Cepat gih turun!" titah Braga pada Alleia. Alleia terkesiap sebentar, ia menatap Braga dan kampusnya dengan bergantian. Alleia bergidik ngeri, ternyata sangat menakutkan suasana kampus di saat petang.  "Ayo turun!" titah Braga lagi.  "Tapi, Mas," ucap Alleia.  "Kata kamu mau ke kampus, dan saat ini sudah sampai kamu mau apa lagi?"  "Temenin!" rengek Alleia dengan manja.  "Bentar lagi teman-teman kamu juga datang,. Kan masuknya jam lima," jawab Braga.  "Iihh Mas Braga gak ngerti!" erang Alleia dengan frustasi.  "Kenapa? Tadinya kan mau ke kampus." "Bodo amat, memang orang tua gak ada yang ngerti," ucap Alleia kesal. Alleia keluar dari mobil dan membanting pintu dengan kencang. Gadis itu berlari memasuki kampusnya dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.  Secengeng itu lah Alleia, kalau sedang kesal gadis itu pasti akan menangis. Alleia menghentakkan kakinya sembari terus berlari. Karena kekesalannya, Alleia tidak menghiraukan rasa takutnya pada koridor kampus yang gelap.  Braga menghela napasnya, laki-laki itu ikut turun dari mobil. Braga tau kalau Alleia berbohong masuk jam lima. Dia pernah kuliah juga dan belum pernah ada mata kuliah jam lima pagi. Laki-laki itu celingak-celinguk di jalanan sekitar kampus, sampai matanya jatuh pada penjual nasi kuning yang tak jauh dari tempatnya berdiri.  Braga segera menuju ke sana, tampak warung nasi kuning itu belum sepenuhnya buka. Saat sampai di warung itu, Braga memesan satu porsi nasi kuning.  "Maaf, Mas. Ayamnya belum matang, adanya cuma telur sama kering tempe, mau menunggu atau gimana?" tanya ibu-ibu itu.  "Seadaannya aja, Bu. Oh iya ada minumnya gak?" "Adanya cuma s**u kedelai, seribuan satu bungkus," jawab Ibu itu lagi.  "Ya sekalian dua, Bu," jawab Braga. Braga tau kalau Alleia mungkin belum makan, dan menurut Braga gadis itu sungguh ceroboh. Sudah tau kalau terbiasa sarapan malah sok-sokkan berangkat kampus pagi hari. Kalau nanti sakit perut juga gadis itu yang akan susah.  Setelah mendapat satu bungkus nasi, Braga segera ke kampus Alleia. Braga sudah hapal letak kelas Alleia, jadi tidak akan menyulitkannya dalam menjelajah kampus yang besar.  Alleia menangis sembari merebahkan kepalanya di bangku. Gadis itu menyesali perbuatannya yang kabur jam lima pagi, sekarang perutnya lapar dan hatinya sangat kesal dengan Braga yang tidak mengerti-mengerti. Alleia sangat menyayangi Braga dan gadis itu tidak akan rela bila nantinya Braga akan menikah. Alleia sudah terlanjur bergantung dengan Braga, mau menjauh pun Braga juga akan mendekat. Serba salah, pikir Alleia.  Dan Alleia yang kabur jam lima pagi adalah bentuk dari usahanya untuk lepas dari ketergantungan Braga. Alleia takut bila dia terus bergantung dan akan membawanya pada rasa sakit hati di kemudian hari. "Hikss hikkss ...." Alleia menangis terisak. Dia tidak ingin hidup penuh pengawasan seperti ini. Alleia tidak ingin kehilangan masa mudanya bersama teman-temannya. Namun apa boleh buat, masa kecilnya, remajanya sampai dewasanya sudah direnggut adiknya, papanya juga Mas Braga. Mereka mengawasinya dengan sangat ketat.  Sebuah usapan terasa di kepala Alleia, perempuan itu mendongakkan kepalanya. Matnya bersitubruk dengan laki-laki tampan berbadan ramping yang merupakan teman sekelasnya.  "Kenapa menangis di sini?" tanya Bian pada Alleia.  "Kok kamu di sini?" tanya Alleia bingung. Bian adalah satu mahasiswa populer yang prestasinya sangat membanggakan. Bian juga selalu jadi sorotan karena wajahnya yang manis, tapi untuk didekati Bian seperti ini Alleia sama sekali tidak pernah berharap apa-apa. Bian cowok populer karena pintar, sedangkan dirinya? Andai papanya tidak kaya, mungkin tidak ada yang mengenalnya. Juga Alleia selalu dikucilkan di kelasnya, jadi untuk mengharapkan didekati cowok populer juga tidak pernah dia angan-angankan.  "Aku selalu berangkat jam segini, soalnya Busnya ada jam segini. Daripada jalan kaki mending berangkat pagi," jawab Bian tersenyum. Alleia menganggukkan kepalanya, gadis itu kembali merebahkan kepalanya di bangkunya, kembali menangis dengan terisak.  "Alleia, kamu kenapa nangis"" tanya Bian lagi sembari mengelus kepala temannya itu. Meski Alleia jarang berbaur dengan teman-temannya, Bian tetap mengenali Alleia. Alleia sebenarnya bukan gadis bodoh, Alleia bahkan sangat pintar, tapi sayang dia memang dikucilkan.  "Sini cerita sama aku!" ujar Bian lagi. Jujur Bian kaget saat tau Alleia sudah datang ke kelas. Bian biasa berangkat jam segini karena ngejar Bus yang mengangkut orang ke pabrik, biasanya hanya dia yang berangkat setengah enam dan kini ia mendapati Alleia yang nampak tidak baik-baik saja.  Braga mencengkram bungkusan nasi kuning di tangannya dengan erat saat melihat ada cowok lain yang mengelus kepala Alleia. Dengan secepat kilat Braga menghampiri Alleia.  "Minggir!" titah Braga pada Bian. Bian terkesiap, laki-laki itu segera menarik diri dari Alleia, sedangkan Alleia juga mendongakkan kepalanya.  "Kenapa nangis?" tanya Braga dengan tajam. Alleia yang tidak pernah mendapat tatapan tajam Braga pun jelas takut, gadis itu sedikit menggeser bangkunya menjauh.  "Alleia, Mas tanya kenapa kamu nangis?" ulang Braga,  "Gak apa-apa," jawab Alleia.  "Nih sarapan!" ujar Braga menyerahkan satu bungkus nasi di meja Alleia.  Braga menatap Bian dan Alleia bergantian, dua mahasiswa datang di jam yang tidak wajar dan berdua-duaan di kelas. Seketika pikiran Braga langsung mengarah ke hal yang negatif. Braga menatap nyalang ke arah Alleia yang juga menatapnya.  "Putusin dia saat ini juga!" titah Braga pada Alleia.  "Hah, apa yang diputusin?" tanya Alleia bingung.  "Laki-laki itu tidak pantas untukmu. Putusin atau akan berakhir seperti yang Mas bilang tadi!" tegas Braga sebelum melenggang pergi menyisahkan Bian dan Alleia yang kebingungan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD