16. Perasaan Yang Membuncah

1048 Words
Agnes turun dari taksi, menenteng tas kecilnya yang manis. Setelah menemani Thalia sampai pengasuhnya datang, akhirnya dia bisa pergi juga ke apartemen Lucas. Agnes tidak yakin apakah pria itu ada di tempatnya atau tidak. Karena seperti yang Lucas bilang sebelumnya, dia selalu sibuk di siang hari karena bisnis baru yang akan dia tekuni. Ah, pria itu memang pekerja keras, di samping kelakuannya yang dulu selalu ada saja. Apartemen Lucas begitu sepi ketika Agnes masuk. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Hanya ada beberapa pakaian yang teronggok di sofa. Kaleng bekas minuman ringan, dan juga puntung rokok di dalam asbak di atas meja depan televisi. Menghela napas, Agnes meraih kantung keresek dan memasukkan sampah-sampah tersebut ke dalamnya. Mengambil pakaian-pakaian kotor yang dia temukan dan mengumpulkannya di keranjang. Menenteng keresek berisi sampah tadi, Agnes berjalan ke dapur, dan menemukan beberapa bungkus mie instan di dekat kompor. "Dia bisa masak, kenapa harus makan mie instan," keluh Agnes seraya memasukkan bungkus plastik tersebut ke dalam keresek sampahnya. Agnes memeriksa kulkas dan menemukan isi benda tersebut kosong, hanya tersisa beberapa butir telur dan sekaleng minuman ringan bersoda. Lagi-lagi, gadis itu menggerutu pelan. Usai merapikan dapur dan ruang tengah, dia mendaratkan b****g di sofa, hingga tatapannya kini tertuju pada kamar Lucas yang pintunya sedikit terbuka. Agnes berdiri, berjalan penuh perhitungan, membuka pintu tersebut kemudian helaan napas pelan dia embuskan begitu melihat sesosok raga tengah berbaring telungkup di ranjang. Dia berjalan semakin ke dalam, mendekat pada tubuh tinggi itu kemudian duduk di sudut ranjang. Menatap lekat pada pria yang tampak begitu kelelahan tersebut. “Kamu pasti capek,” bisik Agnes, mengusap rambut hitam Lucas dengan lembut. Senyum tipis dan sendunya terbit, seiring dengan jantungnya yang berdesir hangat. Lama, Agnes hanya menatap lekat wajahnya. Menyisir sejengkal demi sejengkal wajah pria tersebut. Perasaan dalam hati Agnes lekas saja membuncah. Menyaksikan wajah itu, dia merasa sayang, merasa perasaannya tak lagi dapat dibendung. Dia tak ingin kehilangan. Dia ingin selalu berada di sisi Lucas, memeluk, dan menyaksikan wajahnya dalam jarak seperti ini. Dia ingin terus bersamanya, dan perasaan itu bergejolak dengan begitu ganasnya, memukul keras pertahanan diri Agnes hingga bulir-bulir air mata menggenang di pelupuk mata. Saat tangannya masih bergerak mengusap rambut Lucas, tiba-tiba sebuah erangan keluar dari bibir laki-laki itu, bersamaan dengan tubuhnya yang menggeliat dari tidur. Sontak saja Agnes menghentikan gerakan, tetapi tak lantas menarik tangannya dari wajah Lucas. “Nes, kamu sudah di sini? Kenapa nggak bangunin aku?” Lucas mengucek matanya seraya bangkit bangun. Memaksa Agnes untuk menurunkan tangannya dari wajah pria itu pada akhirnya. Mata Agnes tersenyum. “Kamu kelihatan capek. Aku mana tega ganggu kamu,” balasnya lembut. Lucas menarik selimut sutra abu-abunya hingga ke pinggang, kemudian meregangkan otot lehernya yang kaku. “Setiap kamu ke sini aku pasti tidur.” “Nggak apa-apa. Kalau masih capek, kamu tidur saja lagi.” Agnes masih di posisi semula, duduk di sudut ranjang dengan tubuh yang menghadap Lucas. “Aku udah cukup istirahat.” Mengangguk, Agnes menjawab setelah helaan napas pelannya, “Ya sudah. Kalau begitu kamu mandi, aku pergi ke supermarket dulu, beli bahan makanan. Kulkas kamu melongpong banget.” “Kita pergi bareng.” Agnes mengerutkan kening seketika. “Serius? Nggak apa-apa?” tanyanya, seolah apa yang Lucas lakukan tidak lazim. “Apa kelihatannya aku kenapa-kenapa?” timpal Lucas, sedikit memicing. Pemuda itu lalu tersenyum kecil. “Tunggu sepuluh menit. Aku cuci muka dan ganti baju dulu," katanya, menyibak selimutnya kemudian bergegas turun dari ranjang. Meninggalkan Agnes yang masih terdiam menatap kepergiannya yang secepat kilat. *** “Mau masak apa?” tanya Lucas, saat mereka tiba di supermarket dan Agnes segera berjalan ke jajaran sayuran, memilih sayur-mayur segar di sana. “Apa saja, yang enak dan sehat,” Agnes menjawab ringan. Diliriknya Lucas yang berdiri di sisinya sambil mengawasi pergerakannya. Sudut bibir gadis itu lekas saja terangkat, merasa senang bahwa dia bisa pergi dengan Lucas berdua seperti ini. Setelah selesai memilih sayuran dan buah, mereka juga pergi ke jajaran food frozen, memilih berbagai makanan termasuk juga daging di sana. Baru setelah bahan pokok sudah komplit, keduanya melanjutkan langkah ke deretan makanan ringan. Memasukkan beberapa camilan ke dalam troli. Agnes sungguh teliti memilih makanan yang cukup gizi. Sampai benar-benar membaca semua ingredient di balik kemasan dengan saksama. "Aku bukan anak kecil, sampai harus segitunya." Lucas meraih sebungkus makanan ringan yang ingredient-nya tengah Agnes baca sejak beberapa saat lalu, memasukkannya dengan segera ke dalam troli. Agnes mencebikkan bibir. Tapi tidak berkata apa-apa lagi karena tidak ingin berdebat dengan Lucas di sana. Mereka kembali melanjutkan berbelanja, sampai Lucas menghentikan langkah di deretan mie instan dari berbagai merek. Agnes menatap beberapa mie instan yang Lucas masukkan ke dalam troli. Menggeleng pelan, perempuan itu mengambil seluruh mie tersebut dan menyimpannya kembali di tempat semula, membuat Lucas memicing penuh tanya padanya. “Jangan banyak makan mie instan, nggak baik buat kesehatan kamu,” jelas Agnes serius. “Kamu beraktivitas di malam hari, siang juga kadang masih ada kerjaan. Kalau nggak pandai-pandai jaga pola makan dan istirahat, yang repot kamu sendiri.” Usai meletakkan kembali mie-mie tersebut, Agnes menatap Lucas, sedikit menengadah karena tinggi Lucas yang lumayan jauh di atasnya. “Sempat-sempatin istirahat kalau ada waktu, sesebentar apa pun itu. Kamu dengar aku, kan?” Lucas menyengir kecil. "Iya. Aku dengar kamu, orang kamu berdiri di sebelah aku," dia membalas jenaka. Aneh rasanya jika dia bersama Agnes, seperti dia tengah berjalan dengan seorang ibu yang begitu mencintai anaknya. “Pokoknya kamu harus jaga kesehatan, jangan sampai sakit!" peringat Agnes, ditegaskan dengan telunjuknya yang terangkat di depan wajah. Bukannya tampak seram, dia justru tampak menggemaskan, sehingga membuat Lucas tersenyum lebar dibuatnya. “Padahal yang gampang sakit kamu," tukas Lucas, mengacak poni Agnes sehingga membuat gadis itu mencebik sebal. “Kalau aku emang udah dari sananya punya imun yang lemah," kelakar Agnes. "Sama aja." Mereka hendak pulang setelah semua yang akan mereka beli sudah selesai dibayar, tetapi urung sejenak karena seorang teman menyapa Lucas. "Merin?" Lucas menyebut nama gadis yang barusan memanggil namanya. Gadis itu cukup cantik, memiliki tubuh yang beberapa sentimeter lebih tinggi dari Agnes. Dandanannya cukup glamor, dan sepertinya pecinta barang-barang bermerek, terlihat dari setelan seksi yang dia kenakan hari ini. "Gue kira tadi bukan lo," tukas gadis itu, memukul pelan bahu Lucas. "Soalnya ini first time gue lihat lo di siang hari dan bukan di kelab." Oh, rupanya kenalan Lucas yang sering ke kelab. Agnes tanpa sadar mengangguk pelan seraya masih mengamati penampilan gadis itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD