Prolog
Jakarta, Desember 2019.
Lelehan air dari awan hitam turun dengan begitu derasnya malam itu. Langit bukan hanya gelap, tetapi juga kelam dan suram. Aroma petrikor berpadu dengan anyir darah dan bahan kimia dari obat-obatan. Suara angin yang berdesau keras didampingi petir yang menyambar terdengar begitu menakutkan. Tapi, suara sirene ambulans dan lolongan tangis orang-orang lebih mengerikan dari apa pun.
Brankar keluar dan masuk beberapa kali ke dalam bangunan rumah sakit di pusat kota Jakarta tersebut. Membawa orang-orang korban dari kecelakaan lalu lintas yang meningkat berkat hujan badai di luar sana. Di antara korban dan pegawai rumah sakit yang lalu lalang, seseorang berdiri di sana. Menatap kosong dan nanar pada jalanan yang diguyur hujan.
“Ibu bayi terkena serangan jantung beberapa saat setelah melahirkan. Dan kami, tidak bisa menyelamatkan nyawanya.”
Gara, lelaki itu, tidak bisa menghentikan kalimat demi kalimat yang dokter ucapkan beberapa waktu lalu. Kalimat yang terus berputar di kepalanya bagaikan kaset rusak.
Dada Gara sesak dan nyeri. Jantungnya seolah ditikam oleh jutaan belati. Dikoyak, dihancurkan, diremukkan. Gara telah kehilangan pelita. Kehilangan cinta, dan juga sebagian hidupnya.
“Pak, permisi. Tolong jangan berdiri di sini,” ucap seorang perawat perempuan yang memiliki kantung mata besar, bukti dari lelahnya pekerjaan yang dia geluti.
Gara yang sejak tadi bergeming, mengusap wajah. Kemudian bergeser untuk berdiri di sudut dengan gerakan lemah.
“Rama. Bian. Sus, di mana teman-teman saya? Di mana mereka?”
Gara melirik singkat pada gadis yang datang dengan keadaan basah kuyup. Terlihat kacau dan berantakan. Berteriak panik pada setiap petugas menanyakan keberadaan pria yang dia panggil Rama dan Bian—yang Gara duga adalah salah satu korban kecelakaan yang lalu lalang sejak tadi.
Gara ingin menangis seperti gadis itu. Berteriak. Menjerit. Tapi tidak bisa. Gara tidak bisa melakukan hal itu. Bahkan alih-alih menangis saat mendengar Vanilla tiada, Gara hanya bergeming nanar. Tuhan seolah mengutuknya. Tidak membiarkan air mata jatuh. Tapi luka yang menghantam, terasa sangat hebat, meremukkan.
Karma terbesar yang ia dapatkan setelah membuat Vanilla berjuang sendirian hingga ajalnya datang; kehilangan segala macam ekspresi. Gara tidak bisa menangis, tapi juga tidak pernah tersenyum apalagi tertawa. Dia merasa tidak pantas untuk merasakan emosi apa pun. Dia merasa tidak lagi berhak.
Atensi Gara teralih saat seseorang berdiri di sisinya. Mengulurkan tangan, menyentuh bulir-bulir air yang jatuh, lalu berjalan perlahan-lahan. Wajah merah yang basah, Gara ingat dia gadis yang tadi. Gadis yang menjerit histeris mencari temannya, kini hanya berjalan dalam hening. Menerobos badai dengan tatapan kosong. Gara tidak berpikir apa-apa saat itu. Hingga, gadis tersebut berjalan semakin jauh dan tiba di bahu jalan. Gara akhirnya tahu. Gara akhirnya mengerti bahwa gadis itu berpikiran hal yang sama, seperti yang dia pikirkan beberapa saat lalu. Lantas, sebelum hal itu terjadi, Gara berlari sekuat tenaga. Menerjang hujan, dan menarik lengan gadis itu dengan sekali sentakkan sebelum mobil menghantam dirinya.
“KAMU GILA?” teriak Gara di depan wajah gadis itu.
Gadis itu mengangkat wajah, menatap tepat pada manik mata Gara. Pada saat itu, dia melihat begitu banyak luka dan kesakitan di sana. Ada begitu banyak nestapa, dan harap yang hilang. Tatapan yang entah mengapa, akhirnya mampu membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Gara.
"Aku ... mau mati," lirih gadis itu. Kemudian ambruk di dekapannya dengan tak berdaya.
***