13. Mengapa Kita

1434 Words
Pevita memilih ruangan pribadinya sebagai tempat untuk berlatih melukis dengan Gara. Suatu ruangan dengan luas sekitar 5×5 meter persegi, yang didominasi warna cream dan dusty pink yang menjadikan suasana ruangan tersebut terasa lembut dan hangat. Di sudutnya terdapat sebuah lemari yang diisi oleh koleksi boneka wanita tersebut. Sesuatu yang membuat Gara agak terkejut, tak menyangka jika perempuan seperti Pevita ternyata memiliki sisi manis yakni menyukai boneka. “Aku sudah menata ruangan ini supaya bisa berlatih leluasa,” tukas Pevita, mengedikkan dagu ke arah kursi-kursi kayu yang sebelumnya berada di tengah ruangan tersebut, kini disusun agak rapi di belakang. Hanya menyisakan dua kursi dan juga penyangga kanvas di sana. Gara hanya mengangkat bahu dengan ringan. Tak banyak berkomentar apa pun. Sementara Pevita, wanita muda itu mengeluarkan beberapa peralatan yang dibutuhkan. Seperti wadah cat air dan cat air itu sendiri. Perempuan itu duduk di salah satu dari dua kursi yang diletakkan di depan kanvas. "Kamu nggak mau duduk?" tanya Pevita, tersenyum semanis yang dia bisa. "Ayo, sini. Di sini." Perempuan itu menepuk kursi satunya lagi yang berada tepat di sisi kanannya. Gara menghela napas pelan, seraya menggeleng kecil. Lalu meraih kursi yang dimaksud. Namun, alih-alih segera duduk di sana, Gara justru menarik mundur kursi tersebut ke belakang, sementara dirinya memilih berdiri beberapa jarak dari Pevita. "Lebih leluasa jika saya berdiri. Dengan begitu memudahkan saya untuk memantau kamu," kata pria tersebut, dengan tampang datar seperti biasa. Pevita sungguh terdiam dibuatnya, tak habis pikir. Tapi kemudian gadis itu mencibir sebal, "Kamu pasti jadi dosen killer yang paling dibenci mahasiswa dari berbagai angkatan kalau jadi dosen seni." “Luruskan punggung kamu.” Bukannya menanggapi cibiran Pevita, Gara justru memulai pelajaran tanpa aba-aba. Pevita tersenyum miring. Dia memiliki sebuah rencana manis di kepala cantiknya. Menuruti perintah Gara untuk duduk dengan punggung lurus, Pevita melakukannya. Tapi, sebelah kakinya dia angkat dan ditumpukkan di kaki lain. Membuat pose yang cukup menggoda. Pevita pikir, Gara akhirnya akan menyerah dan luluh, tapi ... "Bersikaplah wajar. Saya tidak akan tertarik meskipun kamu bugil di hadapan saya." What the... "Aku pikir, kamu memang nggak normal!" Pevita berdecak kesal. Entah apa yang salah dengan pria itu. Bagaimana bisa dia tidak tertarik pada perempuan meskipun dia tidak mengenakan pakaian? Lelaki normal pasti menyukainya dan akan tergoda. Jika dia tidak, maka kemungkinannya... "Kamu nggak gay, kan?" celetuk Pevita polos. Seketika, Gara mengatupkan bibir. "Dasar bodoh," tukas pria itu. Pevita membuang pandangan dengan agak sinis. "Orang aneh mengatai aku bodoh. Oke." Gara hanya menggeleng kecil mendengar gerutuan perempuan itu. Lalu mulai fokus kembali pada tujuan awal mereka bertemu. Karena hari ini perdana, maka fokusnya hanya akan ke dasar; posisi yang baik untuk melukis. “Tidak, jangan terlalu tegang, tetap rileks.” “Begini?” “Ya, pegang koasnya dengan benar. Tetap rileks, jangan terlalu keras.” Gara terus memberikan arahan, dan sesekali membentak Pevita jika perempuan itu tidak serius. Pevita bersumpah, Gara memang galak. Tapi entah mengapa, di matanya justru jadi menggemaskan. Dia memiliki pesona tersendiri yang membuat Pevita sama sekali tak pernah mengambil hati soal perkataannya. Pria itu, Pevita rasa hanya berpura-pura keras dan jahat untuk menutupi kerapuhan yang dia miliki. "Saya rasa, tahap dasar sangat simpel. Satu kali pertemuan pun akan selesai," ucap Gara seraya menggulung lengan kemejanya ke sikut. Pada saat dia melakukannya, Pevita bersumpah bahwa pria itu tampak berkali-kali lipat lebih menawan! “No! Aku harus tampil senatural mungkin sebagai pelukis. Mana mungkin sehari sudah selesai? Aku harus benar-benar kelihatan kayak Pelangi.” “Kamu bilang kamu cepat belajar?” kejar Gara, membuat Pevita kicep dibuatnya. “Ya... tentu. Tapi tetap harus latihan yang konstan juga, kan?” “Oke, terserah.” Tentu saja, Pevita tidak mau sesi latihan ini berlangsung singkat, apalagi berakhir sebelum dia mendapatkan hati Gara. Sungguh, selain untuk mendalami peran, pelatihan ini dengan senang hati Pevita lakukan untuk menaklukkan pria berhati dingin itu. “O ya, bisa sekalian ajarin aku melukis sampai benar-benar bisa?” tanya Pevita, menatap Gara dengan tatapan yang begitu polos. Berharap pria itu tahu ketulusannya. Tapi, “Tidak," Gara membalas singkat. “Ck, pelit.” Pevita mencebikkan bibir. Kesal. Tunggu saja, Pevita tidak akan pernah menyerah! Pevita bersumpah dalam hati. *** Agnes benar-benar tidak bisa mengenakan make-up tebal. Baginya, mengenakan make-up yang terlalu tebal membuat wajahnya menjadi tampak lebih tua beberapa tahun, dan dia tidak suka. Biasanya, dia hanya merias wajah dengan sederhana. Riasan yang cukup lembut dengan sentuhan warna-warna nude, pink, atau peach. Tapi sekarang, oke, Agnes tidak tahu lagi harus berkata apa. “Udah. Lo cantik tahu pakai lipstik merah begitu. Look-nya jadi lebih dewasa dan seksi.” Agnes menatap kesal pada Sena dan Sabrina yang sudah menculik dirinya sekitar setengah jam lalu dan kemudian merias wajahnya dengan gaya yang kata mereka 'seksi'. Agnes mengembuskan napas dengan kasar. “Sumpah, gue kayak tante-tante. Cantik dari mananya? Gila, ah! Siniin tissue gue!” Agnes hendak meraih tissue di dalam tasnya yang dipegang Sabrina, tetapi perempuan tinggi itu menyembunyikan tasnya di belakang tubuh. “Nggak. Lo cantik banget tahu, Nes, kayak tante-tante dari mananya?” tukas Sabrina. Tersenyum penuh arti menatap Agnes. Oh, baiklah. Dua temannya itu tengah menguji kesabaran seorang Agnes Pitaloka sekarang. “Resek nih kalian berdua! Ngeselin.” Agnes memberengut kesal. “Udah, coba lihat sini. Agnes yang cute ternyata oke juga kalau didandani begini.” Sena terkekeh kecil, mencubit pelan pipi Agnes dengan gemas. Agnes jadi semakin kesal dibuatnya. Setelah peristiwa penculikkan ke kamar kosan Sabrina itu, mereka bertiga akhirnya berangkat. Namun, Agnes merasa jalan yang mereka lalui tidak asing. Sampai akhirnya mobil berhenti di kelab yang dimaksud, gadis itu membulatkan mata terkejut. “Tunggu. Tempatnya ... di sini?” Agnes bertanya skeptis. Sena yang duduk di depan bersama Sabrina menoleh. “Iya. Kenapa? Lo pernah ke sini?” tanya gadis itu. Agnes tidak menjawab sampai mereka turun dan memasuki kelab tersebut. Tentu saja, tentu dia pernah ke tempat tersebut. Itu kelab milik Lucas, kekasihnya. *** Ketika teman-temannya menikmati pesta dengan minum-minum, berjoget, dan lain sebagainya, Agnes hanya menonton dalam diam. Sesekali tersenyum sopan, menolak ajakan yang lain untuk pergi ke dance floor. Agnes tidak terbiasa dengan suasana seperti ini. Meskipun dulu, sesekali dia datang ke sini bersama Lana dan kawan yang lain, dia tidak pernah datang untuk benar-benar berpesta seperti ini. Dia hanya datang hanya untuk melihat Lucas, meredakan rasa rindu yang membuncah. Agnes berdiri ketika melihat sosok yang amat dikenalinya. "Ke mana, Nes?" tanya Sena ketika Agnes hendak berjalan pergi. "Ayo, gabung sama yang lain di sana!" "Nggak, deh," Agnes menolak halus. "Gue mau ketemu seseorang." "Siapa?" Sena tanya. "Rahasia." Agnes terkekeh pelan, kemudian melenggang pergi tanpa mempedulikan panggilan Sena yang teredam suara musik yang keras di sana. Agnes mengikuti ke mana Lucas pergi. Berjalan melewati orang-orang yang berjoget liar di sekitarnya. Tatapan gadis itu benar-benar hanya tertuju pada Lucas, dengan senyum yang tak pernah luruh. “Yang.” Agnes berdiri di depan meja bar, mengejutkan Lucas yang baru saja bergabung dengan temannya di balik meja tersebut. “Lho, Agnes, kamu di sini?” tanya pria itu. Menyimpan lap dan botol yang akan dia bersihkan. Agnes tersenyum. “Iya, teman aku ulang tahun," jawabnya, mengedikkan dagu ke arah teman-temannya. Sayang, kerumunan orang yang lalu lalang sulit untuk membuatnya melihat mereka. “Oh, pantesan...” “Nes!” Panggilan beserta tepukan di bahu Agnes menginterupsi obrolan keduanya. Agnes menoleh, mendapati teman satu divisinya di kantor, Rizki. Pria berbadan proporsional dengan wajah yang cukup manis untuk menjadikan pria itu pemain wanita. Agnes melirik pada tangan Rizki yang memeluk bahunya tanpa permisi. “Ki, tolong tangan lo," katanya, memperingatkan. Mengerti dengan apa yang Agnes maksudkan, Rizki tersenyum. "Ya elah, santai aja, sih, cuma pegang dikit ini," katanya. Agnes melirik Lucas sebentar. Pria itu tampak memperhatikan mereka. Takut bahwa Lucas akan salah paham atau mengira bahwa dia terlalu dekat dengan teman kantornya, Agnes menurunkan tangan besar Rizki secara paksa. Lantas menatap pria itu dengan tatapan lurus. “Ini Lucas, pacar gue," kata Agnes. Seolah tengah mempertegas bahwa dia tidak boleh melakukan kontak berlebihan itu. Selain mengganggu, pacarnya juga ada di sana. Jelas saja, mendengar pernyataan Agnes, Rizki segera mengangkat tangan seraya membulatkan mata terkejut. “Oh, pacar lo?" pungkasnya, lalu terkekeh pelan dan menoleh pada Lucas. "Hai, gue satu kantor sama Agnes. Sori, gue kira lo bukan pacarnya. Itu cuma candaan aja." Lucas tersenyum tipis. “It’s okay. Santai, kok.” Sesaat, Agnes terdiam tak mengerti. Netranya menatap Lucas dengan tatapan tak terbaca. Agnes merasa ada yang salah dengan hatinya, sehingga getaran menyakitkan itu menjalar dari hati menuju ke jantungnya. Mungkin, ekspektasi bahwa Lucas akan merasa sedikit cemburu karena Rizki, membuat Agnes terasa terempas. Bukankah setidaknya Lucas harus terlihat agak kesal? Apa yang salah? Apa dirinya memang bukan hanya tak dicintai, tetapi sungguh tak diinginkan olehnya? Apakah Lucas benar tidak apa jika pun dirinya dekat dan bahkan menjalani hubungan dengan pria lain? Kenapa? Agnes tak terima. Rasanya terlalu sakit. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD