BAB 7

1107 Words
Setelah menyantap makanan pemberian Adam, Kailen berkutik dengan meja kerja. Dirinya tampak sibuk bergulat dengan buku serta tablet untuk menyusun ulang serta memastikan tidak ada kesalahan pada jadwal Adam besok pagi serta lusa. Kailen bahkan belum sempat mengecek ponselnya. Benda itu tergeletak begitu saja setelah menerima panggilan dari Adam satu jam yang lalu. Kailen menghela napas lega ketika menyelesaikan tugasnya. Sontak dia bangkit dari kursi kayu dan menggeliatkan badan untuk menghilangkan rasa pegal pada sekitar punggung. Kedua kakinya memotong langkah menuju sofa untuk meraih ponselnya dan berjalan menuju ranjang. Kamar serta ruang tengah yang hanya dibatasi oleh sekat kaca transparan tidak membuat Kailen menghabiskan banyak waktu. Kailen membaringkan tubuhnya. Sebelum memejamkan mata, perhatiannya sejenak tertuju pada layar ponsel. Dia berniat untuk memasang alarm agar tidak kesiangan. Namun niatnya tertahan ketika Kailen baru menyadari telah mendapat sebuah pesan suara. Tanpa menunggu lama, Kailen segera mendengarkan pesan tersebut. Kailen termenung setelah mendengar pesan suara dari ayahnya. Pandangannya tertunduk dengan wajah yang tertekuk. Kesibukannya dalam mengerjakan pekerjaan baru membuat Kailen melupakan kondisi kesehatan ayahnya. Terlebih sudah hampir satu bulan Kailen belum sempat mengirimkan uang untuk Bryan karena baru mendapatkan pekerjaan sebagai seorang sekretaris sejak beberapa hari lalu. Desahan napas kasar terdengar dari arahnya. Kebingungan mulai menyelimuti hingga membuat pikirannya tidak tenang. Apakah bisa Kailen meminta gajinya dibayarkan lebih awal? Dia hanya bisa menggigit bibirnya mengingat sikap Adam yang sulit untuk dibujuk. Kailen pun menekan nomer yang telah mengirimkan pesan suara padanya. Dia berharap ayahnya masih terjaga di waktu larut malam seperti saat ini. Beberapa saat Kailen menunggu hingga akhirnya suara Bryan samar-samar terdengar dari arah ponsel. "Halo, Dad," sapa Kailen setelah mendengar suara Bryan. "Bagaimana kabarmu, Kai?" suara Bryan bertanya. Kailen tersenyum tipis dengan kepala tertunduk. "Aku baik, Dad. Bagaimana dengan kondisi kesehatan Daddy?" Kailen bertanya balik. Hening. Kailen hanya diam dengan raut wajah sedih karena tidak mendengar jawaban Bryan. Dia hanya mendengar suara batuk dari arah Bryan, menandakan jika pria paruh baya itu sedang dalam kondisi yang tidak sehat. "Kapan kau akan berkunjung? Sudah satu bulan kau tidak pulang." "Aku mendapat pekerjaan baru di sini. Dan ... aku sedikit sulit mendapatkan waktu untuk libur. Maafkan aku, Dad .... " jawab Kailen dengan nada sedih. "Pekerjaan baru? Apa pekerjaanmu? Kau kerja di mana sekarang, Kai?" tanya Bryan dengan nada penasaran. "Aku menjadi seorang sekretaris di perusahaan yang bagus di sini," jawab Kailen. "Sekretaris?" "Ya." Kailen reflek menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu kau pasti sangat sibuk sekarang." Kailen terdiam mendengar suara Bryan yang pasrah. "Maafkan aku, Dad. Aku tidak bisa pulang dalam waktu dekat ..., " ucapnya kemudian. "Tidak apa-apa, Kai. Sekarang kau mendapat pekerjaan yang bagus. Pertahankan itu." Kailen menahan niatnya untuk mengeluh pada Bryan mengingat kondisi kesehatan ayahnya yang sedang memburuk. Dia pun merapatkan bibirnya lalu menganggukkan kepala, seolah mengiyakan saran dari Bryan. Padahal Kailen sangat ingin mengeluarkan keluh kesahnya menjadi seorang sekretaris dari pemimpin perusahaan yang baginya sangat menyebalkan. Kailen ingin mengeluh jika dia berulang kali hampir jatuh hanya karena mengejar langkah bosnya. Dia juga ingin mengeluh kalau jantungnya terasa hampir lepas setiap kali mendapat gertakan Adam di depan wajahnya. "Kai." "Ya," jawab Kailen saat lamunannya melebur. "Jaga kesehatanmu." "Kau pun, Dad." "Sudah malam. Cepatlah tidur." "Eum. Kalau begitu aku tutup teleponnya. Selamat malam, Dad." "Selamat malam." Kailen menjauhkan ponselnya dari arah telinga ketika sambungan teleponnya dengan Bryan sudah terputus. *** Adam membuka kedua matanya ketika mendengar derap langkah kaki sepatu heels yang mengisi ruangan. Rasa kantuk akibat baru bisa tertidur pukul dua dinihari membuat Adam belum sadar sepenuhnya. Pria itu masih terlihat asyik berbaring dalam posisi telungkup dengan selimut tebal yang menutupi sebagian tubuhnya. "Perhatikan langkahmu, Jenni. Suara sepatumu menggangguku," ucap Adam dengan suara serak sedang kedua matanya masih terpejam rapat. Kalimat yang terlontar dari mulut Adam sontak membuat wanita itu menghentikan aktivitasnya berjalan bolak-balik di sekitar kamar. Bukan maksud dari ucapan Adam, melainkan nama yang disebutkan oleh pria tersebut. Kailen menatap wajah Adam. Dia pun memberanikan diri untuk mendekat ke arah ranjang. Dengan posisi sedikit menunduk, Kailen mencoba memanggil-manggil Adam. "Sir," panggil Kailen ragu. Kailen menghela napas pelan lalu kembali memanggil pria tersebut. Sampai akhirnya Adam langsung membuka kedua matanya saat mendengar panggilan Kailen hingga ketiga kalinya. "Sudah hampir jam setengah enam pagi, Sir," ucap Kailen sembari tersenyum pada Adam. Namun Adam tidak langsung bangkit. Pria itu masih mematung dengan tatapan terpaku pada Kailen. Ekspresi wajahnya masih datar seolah berusaha mengumpulkan sisa-sisa kesadaran yang masih ada. Hingga perlahan Adam bangkit duduk dengan masih memasang wajah kusut layaknya baru tersadar dari tidur nyenyak. "Saya sudah menyiapkan menu sarapan untuk Anda," ucap Kailen dengan memasang senyum. Kini dirinya berusaha untuk tidak memasang senyum palsu seperti yang disarankan oleh mantan sekretaris sebelumnya. Tidak ada jawaban dari Adam. Pria itu masih diam dengan wajah datar ketika menapakkan kedua kakinya di atas lantai lalu memakai sandal. Kailen menundukkan kepala ketika melihat Adam bangkit berdiri. "Pakaian Anda sudah saya siapkan di ruang ganti, Sir," ucap Kailen lagi dan masih belum ada jawaban dari Adam. Kailen hanya melihat pria itu berjalan lesu menuju kamar mandi. Setelah bayangan Adam sudah tidak tampak, Kailen bergegas merapikan tempat tidur Adam. Dia melakukan kegiatan pagi ini seperti urutan yang dia baca di dalam buku. Kailen hanya ingin mulai membiasakan diri dengan pekerjaan barunya demi mendapatkan hati Adam agar tidak selalu menggertak dan bersedia menerima dirinya sebagai seorang sekretaris. Sepuluh menit kemudian Kailen mendengar suara air shower yang berhenti menandakan jika Adam sudah selesai dengan aktivitas mandi paginya. Kailen masih tampak berdiri selama beberapa menit dengan bibir yang tidak berhenti bergumam untuk menghitung waktu. Setelah beberapa menit berselang, Kailen berjalan ke arah ruang ganti dan melihat Adam tampak berdiri di depan kaca hendak mengenakan dasi. "Sir." Perhatian Adam teralihkan ketika mendengar suara Kailen. Dia melirik ke arah bayangan Kailen dari kaca. "Ijinkan saya membantu Anda mengenakan dasi," pinta Kailen dengan nada lembut. Saat Adam justru menatap datar ke arah bayangan dirinya, Kailen langsung melanjutkan ucapannya. "Saya hanya melakukan sesuatu yang seharusnya saya lakukan." Adam masih tidak menjawab membuat Kailen menjadi gugup. Tetapi hal itu tidak berselang lama ketika Adam justru berbalik badan hingga menghadap Kailen. Hal tersebut langsung membuat Kailen tersenyum lega dan mulai membantu Adam mengenakan dasi. Namun Kailen tidak berani menatap langsung ke arah mata Adam yang justru tatapannya terasa mengintimidasi saat jarak mereka begitu dekat. Kailen menyadari tatapan tersebut menarik dirinya bertingkah gugup sedang jantungnya berdetak cepat. Tetapi Kailen berusaha sekuat mungkin untuk tidak menunjukkan kegugupannya hingga dia berhasil membantu Adam mengenakan dasi berwarna hitam dengan motif garis miring berwarna putih. "Apa menu sarapanku hari ini?" Pertanyaan Adam terdengar saat Kailen menyelesaikan tugasnya memasang dasi. Kailen langsung menjauhkan tangannya serta melangkah mundur sebanyak tiga kali dengan senyum yang masih terpasang di wajahnya. "Croissant dan kopi, Sir."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD