Prolog
Wanita itu mengembangkan senyuman saat kedua matanya terbuka lebar. Dirinya beranjak dari ranjang empuk lalu masuk ke dalam kamar mandi. Selang beberapa menit, dirinya sudah keluar dengan balutan handuk putih. Langkahnya tertuntun ke arah lemari pakaian.
Kailen menarik pakaian yang akan dikenakannya hari ini. Kemeja tipis kelonggaran yang memiliki motif polkadot serta celana jeans favoritnya. Tanpa menunggu lama, Kailen segera mengganti pakaian. Dirinya menuju meja rias untuk menata wajahnya dengan polesan sederhana. Senyumnya kembali mengembang menatap bayangan wajahnya.
Menjalankan rutinitas menjadi seorang pemilik kafe membuat Kailen merasa senang. Sebuah mimpi yang diidamkannya sejak lima tahun yang lalu. Sebuah mimpi yang tanpa sengaja menjadi pelipur serta mood booster untuknya.
Kailen melangkah keluar hingga sinar matahari mampu menyengatnya. Dirinya berjalan menuruni setiap anak tangga. Tinggal di kota Santorini yang memiliki bangunan unik membuat Kailen tidak merasa bosan, meskipun dirinya diharuskan menuruni setiap anak tangga di sepanjang jalan. Tak jarang pula dirinya melalui jalanan menurun.
Kafe miliknya tak terletak jauh dari tempat tinggalnya. Hanya berjarak seratus meter. Bahkan Kailen dapat melihat dengan jelas kafe miliknya dari jendela rumah.
Agápi Cafe, adalah sebuah kafe miliknya sejak dua tahun yang lalu. Kafe ini juga menjadi hasil kerja kerasnya selama menjadi seorang sekretaris di sebuah perusahaan besar di Los Angeles.
Kailen membuka gerbang kayu. Dia juga membuka lebar pintu kafe. Langkahnya tertuju ke arah meja barista. Kailen meletakkan tas selempangnya di sana dan mulai mengelap setiap meja sembari menunggu Elissa dan Beth datang.
"Selamat pagi, Miss Rose," sapa Elissa yang baru datang menggunakan bahasa yunani.
"Selamat Pagi," balas Kailen sembari tersenyum.
"Biar aku saja yang melakukannya," Elissa mengambil alih kain lap dari tangan Kailen. Dirinya tersenyum malu karena membiarkan bosnya membersihkan meja.
"Baiklah," Kailen membiarkan Elissa yang melanjutkannya, "Kau sudah sarapan?" tanya Kailen.
"Sudah, Miss," jawab Elissa.
Perhatian keduanya teralihkan saat mendengar deru langkah tiba-tiba dari arah pintu. "Selamat pagi, Miss Rose, Elissa," sapa Beth dengan napas tersengal-sengal. Wajahnya dipenuhi keringat.
"Pagi," balas Elissa dan Kailen bersamaan.
"Maaf Miss, tadi ada urusan penting," ucap Beth memberikan alasan. Namun Kailen membalasnya dengan senyuman sembari mengangguk.
***
Dua jam berlalu. Agápi Cafe sudah penuh dengan pelangg*an, baik yang duduk di teras maupun di dalam. Tetapi Beth ijin pulang sejak satu jam lalu karena mendengar kabar ibunya sedang kritis di rumah sakit, sehingga Kailen pun membantu Elissa.
Kailen yang menjaga meja barista sekaligus yang membuatkan pesanan, sedangkan Elissa yang pergi di setiap meja untuk mencatat pesanan sekaligus mengantar pesanan.
Mendengar seseorang memencet bel kecil di atas meja, Kailen yang sejak tadi sedang membuat dua gelas espresso tertegun. Dia pun menoleh ke belakang.
Dalam sekejap dirinya tertegun, melihat sosok pria yang sudah tidak asing untuknya. Keterkejutan yang dirasakan Kailen mampu menular pada pria itu.
"M-Mr. Miller?!" sapa Kailen tergagap.
Pria itu hanya diam, masih belum tersadar dari lamunannya. Sampai akhirnya kedatangan Elissa yang meminta pesanan pelangg*an mampu menyadarkannya.
"Miss, dua cangkir espresso dengan satu tambahan gula, sudah siap?"
Kailen menatap Elissa sekilas lalu mengangguk, "Ya," jawabnya seraya memberikan dua cangkir tersebut. "Ini yang ada tambahan gulanya," jelasnya pada Elissa.
Elissa pun langsung membawa pesanan itu pada pelanggaan. Meninggalkan sepasang manusia yang merasakan keterkejutan dalam waktu bersamaan.
Kailen menarik napasnya dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Dia mencoba tersenyum pada mantan bosnya tersebut.
"Anda ingin memesan apa, Sir?" tanya Kailen ramah.
"Seperti biasa," jawab Adam pelan dan mengira Kailen mungkin masih ingat kebiasaannya meminum segelas kopi dengan kudapan.
"Baik, Sir. Saya akan membuatnya. Anda bisa duduk di kursi yang kosong untuk menunggu."
Adam hanya mengangguk lalu memutar arah hendak mencari kursi yang kosong. Tetapi dirinya berhenti dan menoleh ke arah Kailen. Ada sesuatu yang ingin dia katakan, tetapi terasa sulit untuk dikeluarkan. Sehingga dengan berat hati Adam melanjutkan langkahnya.
Selang beberapa menit, Kailen datang dengan membawa secangkir kopi lengkap dengan kudapan. Dia berjalan ke arah meja Adam yang berada di pojok ruangan dekat dengan dinding kaca, sehingga dapat melihat pemandangan luar dengan jelas.
Kailen berhenti di depan Adam, dia memindahkan cangkir kopi dan kudapan ke atas meja sembari mempersilakan pelanggan sekaligus mantan bosnya untuk menikmati pesanan.
"Selamat menikmati, Sir," ucap Kailen masih dengan senyum yang selalu dia tunjukkan pada Adam.
"Y-Ya," jawab Adam. Dia ingin mengucapkan terima kasih, tetapi lidahnya tidak bisa mengucapkan kata itu.
Wanita itu menundukkan kepalanya, seolah memberi hormat sebelum meninggalkan meja Adam. Perlahan kedua kakinya melangkah menjauh.
"Tunggu!" cegah Adam membuat Kailen menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang.