Adam terperangah ketika melihat ayahnya muncul dari balik pintu. Dia langsung menutup berkas yang terbuka di mejanya dan bangkit dari kursi. Langkah Adam memotong langkah ayahnya hingga membuat pria berusia lanjut itu berhenti di depan sofa. Adam tersenyum tipis seraya mempersilakan ayahnya duduk di sofa.
"Silakan duduk," ucap Adam mempersilakan.
Howart pun duduk di sofa yang berhadapan dengan Adam. Dia menyandarkan punggungnya ke arah sofa seraya memperhatikan sekeliling ruangan. Sudah dua minggu tidak terasa kalau dirinya tidak mengunjungi ruangan tersebut.
"Ada masalah apa yang membuatmu datang, Dad?" tanya Adam dengan nada berat hati ketika memanggil nama panggilan Howart. Entah mengapa rasa kesalnya telah menjadikan Kailen sebagai pengganti Jenifer kembali muncul. Dirinya merasa menyesal atas keputusan ayahnya yang membuat kondisi perusahaan semakin tidak karuan karena kinerja Kailen yang tertinggal jauh.
"Apa kau masih marah padaku?"
Adam tersenyum tipis. Sepertinya ayahnya menyadari nada ucapannya.
"Aku hanya merasa menyesal karena kau memilih sekretaris yang tidak kompeten, Dad. Dia sudah melakukan banyak kesalahan."
Adam dan Howart menghentikan pembicaraan mereka ketika mendengar seseorang membuka pintu ruangan. Adam melihat Kailen muncul dari balik pintu seraya membawa nampan berisi minuman. Adam melipat kakinya sembari memperhatikan Kailen yang berjalan gugup menuju meja mereka.
Kailen membungkuk seraya meletakkan satu cangkir teh di depan Howart dan satu lagi di depan Adam. Dia tersenyum seraya menundukkan kepala sebelum kembali melenggangkan kaki meninggalkan ruangan tersebut.
"Apa kau ingat hari di mana kau memohon padaku untuk menjadikan Jenifer sebagai sekretaris mu?" tanya Howart setelah mendengar pintu ruangan kembali tertutup, menandakan jika Kailen sudah pergi dari ruangan tersebut.
Adam termenung ketika pertanyaan Howart mengingatkannya pada kenangan beberapa tahun yang lalu.
"Bagaimana kinerja Jenifer saat itu? Apakah dia langsung kompeten? Sekretaris bukanlah mesin pencetak profesionalisme maupun perfeksionisme. Sekretaris memang dituntut dua hal itu, tapi bukan dicetak. Sebuah penuntutan bukankah membutuhkan proses? Berapa lama waktu yang dibutuhkan Jenifer untuk menguasai dua hal itu? Satu hari? Dua hari? Atau satu Minggu?"
Howart diam sejenak, menunggu jawaban dari Adam. Dia sedikit membungkuk untuk meraih cangkir minumannya. Sembari menunggu putranya menjawab pertanyaan, Howart mulai menikmati teh buatan Kailen.
"Kau jangan memperlakukan buruk Kailen karena merasa kesal dengan keputusanku. Tapi perlakukan dia sama halnya kau memperlakukan Jenifer. Aku tahu perlakuan kasar mu pada Jenifer untuk kebaikan wanita itu agar menjadi sekretaris yang kau inginkan. Lalu kenapa kau tidak memikirkan hal yang sama pada Kailen? Dia gadis yang baik, pintar dan cantik."
Adam mendesah kasar lalu memalingkan wajahnya. Suasana pun menjadi hening karena dirinya tidak mampu membalas ucapan ayahnya. Sedangkan seorang wanita yang sejak tadi duduk di mejanya tampak memperhatikan sekilas bayangan mereka jadi kaca jendela.
Kailen berdiri di depan meja dengan tatapan ke arah lain. Dia tidak ingin terlalu jauh mengetahui masalah yang terjadi di antara mereka karena Kailen berpikir itu adalah masalah pribadi. Sebelah tangan Kailen meraih berkas yang sudah dia tata sebelumnya lalu pergi menuju ruangan tim produksi yang ada di ruangan lantai lain.
***
Waktu hampir menunjukkan pukul empat sore. Para karyawan lain sudah bersiap untuk menutup pekerjaan mereka tetapi tidak untuk sepasang manusia yang sedang berada di dalam satu ruangan. Mereka tampak sibuk dengan diri masing-masing.
Seorang pria yang memeriksa beberapa lembar kertas di dalam genggamannya sedang wanitanya tengah berdiri di hadapannya dengan memasang senyum ramahnya sebaik mungkin. Jantung wanita itu terus berdetak cepat sekeras denting jarum jam yang mengisi kesunyian di ruangan tersebut.
Kailen harus melewatkan jam istirahatnya demi dapat memikirkan cara untuk menyelesaikan masalahnya setelah berdiskusi serta menyampaikan masalah tentang produk baru tersebut pada Oscar setelah dirinya keluar dari ruangan Adam beberapa jam yang lalu.
Tubuh Kailen terlonjak kaget ketika melihat Adam melempar map-nya di atas meja usai membaca semua laporan baru yang dia buat. Tatapan intimidasi itu terpaku pada wajah Kailen membuat perasaannya semakin tak karuan. Kailen hanya cemas kalau Adam menyuruhnya untuk bertemu Mr. Butler karena tidak setuju dengan solusi yang dia punya mengenai masalahnya.
"Apa kau ingat hari pertama kau masuk ke sini? Apa yang aku katakan padamu?"
"Maafkan saya, Sir. Saya masih tidak becus dalam bekerja," jawab Kailen.
Adam memalingkan wajahnya ke arah samping lalu kembali menatap Kailen. "Aku tidak ingin mendengar ataupun melihat satu kesalahan pun yang kau lakukan mulai sekarang. Apa kau mengerti?"
"Saya mengerti, Sir."
"Apa kau sudah mengatur jadwalku besok?"
"Saya sudah mengatur jadwal Anda untuk satu minggu ke depan," Kailen menjawab seraya tersenyum. Sepertinya dia dapat bernapas lega karena Adam kini tidak membahas masalahnya.
"Atur pertemuanku dengan Mr. Butler untuk minggu depan. Aku ingin mengundangnya rapat makan siang," ucap Adam.
"Baik, Sir," jawab Kailen seraya menunduk.
"Rapikan mejamu. Kita pulang ke rumahku dalam waktu lima menit," ucap Adam.
Kailen tertegun mendengar kalimat itu. Mengapa harus kalimat sial itu yang terlontar dari bibir bosnya? Tidak bisakah pria itu hanya mengatakan 'Kau dapat keluar dari ruangan ku' atau 'Kau bisa bersiap-siap untuk pulang'.
"Baik, Sir," jawab Kailen seraya meringis. Dia tersenyum masam ketika melihat Adam melebarkan senyumnya. Sebuah senyuman yang tidak ingin dia lihat karena pasti berarti akan merepotkan dirinya.
Tanpa menunggu lama Kailen bergegas keluar dari ruangan. Tidak lupa dia menutup pintu ruangan itu lalu berjalan ke arah meja kerjanya. Kailen berdiri di depan meja seraya mendesah kasar. Otaknya terlalu bekerja keras hari ini sehingga membuatnya merasa lelah. Dia sangat ingin pulang ke rumah dan langsung beristirahat.
Kailen mematikan layar komputer dan menyampirkan tasnya di pundak ketika melihat Adam keluar dari ruangan. Wanita itu tersenyum lalu menghampiri Adam. Kini dirinya berjalan di samping pria itu seraya menyamakan langkah kaki mereka.
Mereka berhenti di depan lift. Kailen segera menekan tombol lift dan masuk ke dalam setelah Adam. Dirinya berdiri di belakang pria tersebut dan mengulurkan tangan untuk menekan tombol lift kembali. Perlahan pintu lift itu menutup lalu mengantar mereka menuju ruangan lantai satu.
Sesekali Adam tampak memperhatikan Kailen melalui pantulan bayangan wanita itu di dalam dinding lift. Ucapan Howart mengganggu pikirannya. Dia tidak bisa memperlakukan Kailen seperti dirinya memperlakukan Jenifer. Entahlah, Adam merasa Kailen masih belum pantas untuk menjadi sekretarisnya.
Ketika mereka sudah sampai di lantai dasar, pintu lift pun terbuka. Lamunan Adam pun perlahan membuyar. Dia melangkahkan kakinya keluar dari ruangan diikuti Kailen di belakang. Mereka berjalan cepat hingga melewati pintu masuk gedung perusahaan. Tak jarang setiap karyawan yang melihatnya selalu menyapa hormat.
Kailen membuka pintu mobil serta mempersilakan Adam untuk masuk ke dalam. Dia juga menutup pintu ketika memastikan Adan duduk dengan tenang. Kailen sedikit berlari ketika memutari kap depan mobil karena tidak ingin membuat Adam merasa menunggu. Kailen pun menyusul masuk ke dalam mobil. Perlahan mobil hitam itu melaju meninggalkan halaman gedung.
"Lebih cepat."
"Baik, Sir."
Kailen menambah laju mobilnya sehingga mengejar mobil putih yang melaju jauh di depannya. Sesekali Kailen juga menyimpang beberapa mobil yang memiliki laju lambat karena tidak ingin Adam memberi perintah untuk kedua kalinya.
Kini mobilnya berhenti di depan lampu lalu lintas yang menunjukkan warna merah. Kailen menarik napasnya dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan hingga dia tidak sengaja menoleh ke arah samping. Kening Kailen mengernyit melihat bosnya tampan melamun kan sesuatu.
"Apa Anda membutuhkan sesuatu, Sir?" tanya Kailen ragu.
Adam melirik ke arah Kailen sekilas lalu menggelengkan kepala. Tidak mungkin jika dirinya berterus teras mengenai masalahnya.