Hening. Tidak ada suara yang terdengar selain bunyi alat rumah sakit yang tersalur ke arah tubuh seorang pria. Denting jarum jam pun hanya terdengar samar karena mungkin memiliki desain khusus agar tidak membuat penghuni ruangan merasa terganggu.
Wanita itu tampak sibuk dengan pekerjaan meski tengah menemani seseorang yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Di depannya terdapat sebuah map dan tablet. Sedangkan di tangan kanan memegang pulpen dan tangan kiri berkutik dengan ponsel.
Sesekali tatapannya terpaku pada pria yang tertidur lelap. Dirinya merasakan hal aneh melihat pria itu tertidur tanpa membuka matanya sedikit pun maupun bergumam. Begitu nyenyak hingga terasa sunyi.
Kailen menghela napas pelan lalu meletakkan pena di atas map. Dia juga meletakkan ponselnya tepat di samping tablet lalu beranjak dari atas sofa. Langkahnya mengalun pelan menuju ranjang rumah sakit. Kailen memilih berdiri di samping tempat tidur tersebut dibanding duduk nyaman di tas sofa.
Seharusnya Kailen merasa senang karena tidak mendengar gertakan pria itu seharian penuh. Tetapi dirinya justru merasa ada yang hilang setiap melihat pria itu terbaring tak sadarkan diri seperti saat ini. Meskipun terkadang sikap Adam sangat menyebalkan dan membuatnya merasa jengkel, tapi Kailen merasa sudah terbiasa dengan sikap pria tersebut.
"Saya harap Anda cepat siuman, Sir," gumam Kailen pelan dengan tatapan tertunduk.
Dokter mengatakan tidak ada yang perlu dicemaskan dari hasil pemeriksaan. Bahkan setengah jam yang lalu ketika para dokter datang dan memeriksa kondisi kesehatan Adam pun memberikan jawaban yang sama saat Kailen bertanya. Tapi, mengapa Adam belum sadarkan diri hingga sekarang?
Sudah lebih dari tujuh jam pria itu tak sadarkan diri sejak Kailen menemaninya. Sedangkan Howart pulang sejak dua jam yang lalu atas permintaan Kailen. Dia tidak ingin Howart kelelahan dan jatuh sakit karena menemani Adam di rumah sakit. Untung saja Howart menyetujui permintaannya dan segera pulang dengan syarat dirinyalah yang mengantikan Howart untuk menemani Adam.
Kailen termenung ketika mengingat percakapannya dengan Howart beberapa jam yang lalu. Ketika itu mereka duduk berdampingan di sofa yang menghadap ke arah ranjang tempat Adam berbaring. Howart mulai membuka obrolan mengenai kegiatan yang dilakukan Adam setiap hari Kamis.
"Adam melakukan itu setiap Minggu agar tidak melupakan mendiang ibunya."
Helaan napas panjang Kailen terdengar ketika matanya menatap lekat wajah Adam yang terdapat goresan luka. Ternyata penilaiannya selama ini salah. Awalnya Kailen berpikir jika Adam pergi setiap hari Kamis hanya untuk bersenang-senang dengan para wanita. Melainkan demi mengenang hari kematian mendiang ibunya.
Kailen menatap sedih pada Adam. Bibirnya tertarik perlahan hingga membentuk senyuman tulus. Dia tersenyum pada Adam karena merasa kagum dengan pria tersebut.
Namun senyum itu tidak bertahan lama ketika Kailen melihat kening Adam mengernyit. Terdengar rintihan pelan dari arah Adam membuat Kailen reflek mendekatkan wajahnya.
"Jangan pergi .... "
Kailen tertegun mendengar bisikan Adam. Dia langsung menjauhkan telinga dari bibir Adam yang terus menggumamkan kalimat yang sama. Tatapan Kailen mulai mengawasi, menatap lekat wajah Adam yang penuh dengan guratan kecemasan.
"Sir." Kailen memanggilnya dengan ragu untuk menyadarkan Adam.
Tetapi pria itu tidak kunjung sadar. Adam justru terus meringis dengan kening yang mengernyit. Hingga perlahan tubuh Kailen menegang saat melihat pria itu meneteskan airmata hingga melewati pelupuk mata.
"Sir," panggil Kailen putus asa.
Tak lama kemudian Adam suda berhenti bergumam. Kondisi pria itu kembali tenang hingga membuat Kailen menahan niatnya untuk memanggil sang dokter. Kini Kailen kembali duduk di sofa. Saat dia menggenggam pena, tatapannya tertuju ke arah Adam. Kailen terdiam sejenak seraya memperhatikan pria tersebut. Setelah memastikan tidak ada yang perlu dicemaskan, Kailen memusatkan konsentrasinya ke dalam pekerjaan.
Sebenarnya dia dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut sejak beberapa jam yang lalu. Tetapi Kailen mengerjakannya dengan santai dan memperhatikan kondisi Adam. Kailen tampak teliti mengatur ulang jadwal Adam untuk satu Minggu ke depan hingga kondisi kesehatan Adam membaik. Sebelumnya Kailen sudah bertanya lebih dulu pada dokter mengenai waktu rawat inap yang dianjurkan untuk Adam.
Beberapa menit kemudian Kailen sudah berhasil menyelesaikan pekerjaan. Dia menghela napas panjang seraya menyandarkan punggungnya ke arah sofa. Kepalanya pun terdongak ke atas, menatap langit-langit ruangan yang dihiasi oleh ornamen gaya Eropa.
Kailen beranjak dari atas sofa. Dia berjalan menuju lemari dingin yang terletak tak jauh darinya. Kailen mulai membuka lemari tersebut dan berharap ada sesuatu yang dapat dia makan atau minum. Tetapi dalam sekejap harapannya terhempas ketika tidak melihat apapun di dalam lemari dingin.
"Aku lapar," gumam Kailen lalu melirik ke arah ranjang Adam. "Apa tidak masalah jika aku keluar sebentar untuk membeli makanan?" tanya Kailen pada diri sendiri.
Kailen mengulum bibirnya ketika tersenyum tipis. Dia langsung menutup pintu lemari dingin dan berjalan cepat menuju sofa untuk meraih tas dan ponsel. Kailen bergegas pergi meninggalkan ruangan untuk membeli makanan maupun minuman di kantin rumah sakit.
Tetapi baru melangkahkan kaki tiga langkah dari arah pintu, Kailen berhenti karena melihat dua orang asing berjalan ke arahnya dengan membawa dua plastik berukuran besar. Bola mata Kailen mengikuti arah langkah pria itu yang melewatinya setelah memberikan salam hormat.
Ponsel di dalam genggaman Kailen berdering ketika dirinya hendak menyusul dua pria yang baru saja masuk ke dalam ruangan Adam. Kailen langsung menerima panggilan tersebut setelah melihat nama Howart tertera pada layar.
"Selamat sore, Mr. Miller," sapa Kailen dengan kepala reflek mengangguk.
"Ya. Apa dua anak buah ku sudah sampai di rumah sakit?" tanya Howart to the point.
"Sudah, Mr. Miller," jawab Kailen ragu dengan apa yang sedang dilakukan oleh kedua orang asing tersebut.
"Bagaimana kondisi Adam sekarang?"
Kailen tidak langsung menjawab pertanyaan Howart. Dia memilih berjalan cepat masuk ke dalam ruangan. Dengan tatapan mengawasi dua pria yang sedang memasukkan makanan serta minuman ke dalam lemari dingin, Kailen mulai menjawab pertanyaan Howart.
"Setengah jam yang lalu Mr. Miller sempat bergumam tidak jelas. Beliau mengatakan jangan pergi berulang kali. Lalu saat saya ingin memanggil dokter, Mr. Miller sudah kembali seperti semula dan masih belum sadarkan diri hingga saat ini, Sir," jelas Kailen mengenai kondisi Adam.
Howart tampak mendengarkan dengan seksama. Pria itu mengangguk pelan dengan penuh rasa penasaran. Sebenarnya alasan apa yang membuat Adam mengalami kecelakaan dan tidak berkonsentrasi berkendara hingga menabrak pembatas jalan?
"Baiklah. Tolong kabari aku jika Adam sudah siuman," pinta Howart.
"Baik, Sir. Saya akan segera memberikan kabar pada Anda," jawab Kailen menyanggupi perintah Howart.
"Aku akan menutup teleponnya," pamit Howart.
"Baik, Sir."
Sedetik kemudian sambungan telepon pun terputus. Kailen menghela napas pelan dan menoleh ke arah dua pria itu. Kini dirinya membatalkan niat untuk pergi ke kantin dan menghampiri mereka. Kailen lun berhenti di depan mereka.
"Kami sudah mengisi lemari dingin dengan makanan dan minuman sesuai perintah Mr. Miller, Miss," ucap salah satu dari mereka.
"Terima kasih," balas Kailen seraya tersenyum.
Mereka menganggukkan kepalanya seolah memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan. Ketika pintu ruangan sudah tertutup rapat dan hanya tersisa dirinya serta Adam, Kailen segera membuka lemari dingin. Alangkah terkejutnya dia melihat kemari kosong itu sudah dipenuhi dengan banyak makanan serta minuman.
"Wah, keren sekali," gumam Kailen kegirangan. Dia tidak berhenti tersenyum melihat isi dalam lemari dingin. Tanpa menunggu lama, Kailen segera mengambil dua bungkus makanan ringan serta tiga minuman yang memiliki rasa yang berbeda. Kini dirinya kembali menghampiri sofa dan menikmati makanannya di sana.