BAB 11

1114 Words
Kailen menghampiri Adam dengan membawa kantong makanan yang dipesan oleh pria itu. Dia meletakkannya di atas meja Adam sembari menundukkan kepalanya sejenak ke arah pria tersebut. "Ini pesanan Anda, Sir." Adam menutup laptop dan bergegas bangkit dari kursinya. Dia berjalan melewati meja membuat Kailen merasa bingung. Adam mengangkat satu tangan lalu melambai pada Kailen, menginstruksikan agar Kailen datang menghampiri. Kailen pun tersenyum ragu seraya mengangkat kantong makanan tersebut dan menghampiri Adam. Saat Kailen sudah berada di depan pria itu, dia duduk di kursi yang berseberangan sesuai dengan instruksi Adam. "Makanlah," ucap Adam mempersilakan saat memberikan hamburger yang terbungkus rapi serta minuman soda. "Terima kasih, Sir," balas Kailen dan tersenyum. Dia langsung menerima makanan tersebut. Usai menikmati makan malam mereka, Adam kembali menuju mejanya sedangkan Kailen langsung berkutik dengan setumpuk berkas yang harus dia masukkan ke dalam memori otaknya. Sesekali Kailen mencatat orang-orang yang tidak dia kenal sekaligus memotret gambarnya melalui ponsel untuk diingat-ingat kembali nanti. Kening Kailen mengernyit ketika hanya melihat satu nama dengan data informasi yang sangat minim. Bahkan tidak ada gambar yang menjelaskan tentang wajah orang tersebut. "Namanya seperti tidak asing," gumam Kailen lalu menoleh ke belakang, tepat ke arah Adam yang sedang menjatuhkan perhatiannya ke arah layar. "Apa aku harus bertanya padanya?" sambung Kailen dengan ragu. Namun dia tidak ingin mendapat gertakan hanya karena tidak mengenal orang-orang yang menjalin kerjasama dengan perusahaan tempatnya bekerja. Kailen pun bangkit dari atas lantai dan berjalan pelan menuju meja Adam. "Sir." Kailen memanggilnya dengan nada ragu. "Ada apa?" Kailen tidak langsung menjawab pertanyaan Adam. Dia hanya tersenyum seraya menunjukkan sebuah halaman pada Adam. "Saya merasa nama ini tidak asing. Tapi, kenapa tidak ada data informasi yang jelas?" Adam menoleh ke arah halaman yang ditunjukkan Kailen. Dia memperhatikan halaman itu selama beberapa detik sebelum tatapannya kembali pada Kailen. "Dia adalah pemilik perusahaan Ourano," jawab Adam. "Datanya memang sengaja disembunyikan karena dia tidak ingin banyak orang tahu tentangnya. Tapi kau tenang saja, aku akan menjelaskannya padamu." Adam langsung terdiam ketika melihat Kailen memasang wajah tersenyum dengan tatapan memperhatikan dirinya. Pria itu berdeham pelan lalu memalingkan wajahnya. Tiba-tiba dia bangkit dari atas kursi dan melenggang menuju sofa. Kailen kembali tampak bingung melihat bosnya duduk di tempat sebelumnya ketika mereka menghabiskan waktu makan malam. Tapi Kailen langsung menyusul bosnya. Adam mulai menjelaskan satu demi satu orang yang belum pernah ditemui Kailen atau nama-nama yang menurut wanita itu terasa sangat asing. Sesekali Adam memberikan jeda pada penjelasannya ketika menyadari kepala Kailen mulai tidak tegap. Bahkan wanita itu berusaha menutup mulutnya ketika sedang menguap. *** Kailen menggeliat dalam posisi duduk. Perlahan kedua matanya terbuka. Dia menegakkan kepalanya yang bersandar di atas meja. Ketika melihat dirinya meniduri sebuah berkas, Kailen langsung menoleh ke arah samping. Dalam sekejap kedua matanya membelalak melihat seorang pria tertidur dalam posisi duduk di atas sofa. Bola mata Kailen mencoba melirik ke arah jam. Dia menghela napas lega karena waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. Saya tubuhnya duduk dengan posisi tegap dan kembali menggeliat, Kailen tertegun ketika merasakan sesuatu terlepas dari pundaknya. Sebuah jas hitam yang terlihat sangat tidak asing itu tergeletak di belakang tubuhnya. Kailen langsung meraih jas tersebut dan menoleh ke arah Adam. Dirinya kembali dikejutkan saat menyadari jika pria itu hanya mengenakan kemeja. "Sejak kapan dia menyelimuti ku dengan jasnya?" gumam Kailen pelan. Kailen bangkit dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara. Dia meletakkan jas tersebut di atas meja lalu melenggang pergi meninggalkan ruangan tersebut. Dirinya harus mencuci wajahnya dan menyiapkan keperluan Adam. Karena tidak membawa pakaian ganti, Adam pasti akan menyuruhnya untuk ke rumah flat dulu agar Kailen dapat mengganti pakaiannya. Dan tentu saja itu membutuhkan waktu dia kali lipat agar dapat sampai di kantor. *** "Tuan muda menyuruh Ms. Rose untuk kembali menginap di rumahnya." Howart mengernyitkan keningnya mendengar laporan tersebut. Mengapa putranya kini lebih sering mengajak Kailen untuk menginap? Apakah Adam mengabaikan nasehatnya dan terus akan membuat wanita itu lembur hingga larut malam? "Tetap awasi dia," perintah Howart. "Baik, Sir." "Oh ya," ucap Howart hingga mencegah pria muda itu yang hendak pergi. "Aku ingin kau mencari tahu mengenai keadaan Bryan yang sekarang." "Baik, Sir." "Bawa laporannya padaku sebelum pukul sepuluh," sambung Howart dan kembali mendapat persetujuan dari anak buahnya. Suara pintu yang tertutup terdengar nyaring mengisi ruangan kosong tersebut. Tidak ada apapun selain sebuah foto berukuran besar yang terpajang di dinding tersebut. Foto itu berukuran lebar mencapai dua meter dan tinggi hingga tiga meter. Howart menghela napas pelan ketika tatapannya tertunduk. Dirinya merasa malu pada mendiang Jalissa karena tidak dapat membuat Adam menjadi seorang pria yang pengertian. "Bantu aku membujuk putra kita, Sayang .... " Howart bergumam pelan. *** "Kosongkan jadwalku di setiap hari Kamis dari jam sembilan pagi sampai malam. Kau harus selalu ingat itu jika tidak ingin mengatur jadwalku dua kali." "Baik, Sir," jawab Kailen sembari tersenyum. Dia tidak akan lupa dengan hari yang sangat berharga meskipun satu kali dalam satu Minggu. Ya, karena di hari itu Kailen tidak akan bekerja seharian penuh dengan Adam. Minggu lalu Kailen dapat bekerja dengan santai dan Adam juga tidak mengganggu waktu istirahatnya. Tetapi kenapa Kamis besok Kailen tidak merasakan ketenangan di malam hari? "Apa yang kau pikirkan?" Kailen tertegun mendengar pertanyaan tersebut. Dia langsung menggelengkan kepalanya dengan gugup sembari tersenyum. "Tidak ada, Sir," jawab Kailen. "Jangan melamun saat menyetir," ucap Adam memperingati. Kailen kembali mengangguk seraya mengiyakan ucapan Adam. Suara nada notifikasi ada sebuah pesan singkat masuk terdengar dari arah Adam. Pria itu merogoh kantong celana untuk meraih ponsel. Ketika melihat sebuah nama yang sudah ditunggunya sejak lama, Adam langsung termenung. Pria itu tidak segera membaca isi pesan tersebut, melainkan menatap lekat pada nama yang terpajang di layar ponsel. Kesunyian Adam cukup menarik perhatian Kailen ketika dia melirik ke arah bosnya saat mobil berhenti di depan garis perbatasan lampu lalu lintas. Adam hanya membaca isi pesan tersebut dan langsung menutupnya tanpa membalas satu kata pun. Ekspresi wajahnya berubah murung dan berpaling dari tatapan Kailen membuat wanita itu langsung menjatuhkan pandangan kembali ke depan. Perlahan mobil yang dikendarai Kailen sudah memasuki halaman gedung perusahaan. Kailen bergegas turun dari dalam mobil. Dia berjalan cepat dengan satu tangan menyampirkan tas selempang di atas pundak. Kailen berhenti di depan pintu sebelah kanan. Dia menarik pintu dan menundukkan kepala ketika Adam melangkah keluar dari dalam mobil. Sepanjang jalan menuju lift khusus untuk Adam, para karyawan menunduk hormat menyapa bos mereka. Kailen hanya memasang wajah tersenyum pada siapa saja seraya berusaha agar langkahnya tidak tertinggal dari Adam. "Tidak perlu membuat kopi." Kailen tertegun dan menoleh ke arah Adam yang berjalan melewatinya ketika dirinya hendak meletakkan tas di atas meja kerja. Kening Kailen mengernyit bingung. Tetapi dia tetap tidak lupa untuk mengiyakan ucapan Adam hingga bayangan pria itu tertelan oleh sebuah pintu besar yang berdiri kokoh di depan meja kerja Kailen.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD