Aku mengetuk daun pintu dan mengucap salam. Tidak lama pintu terbuka.
Plak!
Sebuah tamparan yang kuterima. Aku mengernyit sambil menatap netra yang menyorot ku penuh kemarahan.
“Papah! Kenapa menampar aku?” Aku memegang pipi yang terasa panas.
Tidak ada jawaban dari lelaki berwatak keras itu. Dia memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkanku.
“Kenapa Papah menamparku?” Aku mengikuti langkah panjangnya dan menanyakan hal itu sekali lagi.
Lelaki itu masih tidak menjawab. Dia menjatuhkan tubuhnya di sofa. Dikeluarkannya gawai dan dilemparkan ke arahku.
“Papah tidak pernah mendidikmu seperti ini!” ucapnya dengan tampak masih menahan kekesalan.
Aku mengambil gawai milik lelaki itu dengan belum masih mengerti ke mana arah pembicaraannya. Kuusap layarnya. Seketika mataku membelalak. Ternyata di sana banyak sekali foto-fotoku malam itu dalam galeri ponselnya.
Aku menggeleng-geleng kepala. Semua orang yang melihatnya akan salah faham. Itu foto-fotoku dengan Devina malam itu waktu di tempat karaoke.
Aku sebetulnya sudah menjauhinya, tapi ternyata Edo memberinya minuman beralkohol. Edo dengan santai menyebut minuman itu cola---gadis polos itu percaya saja dan meminumnya.
Akhirnya, ya itulah yang terjadi. Beberapa kali Devina lepas kendali memelukku dan sempat mencium pipiku. Aku sudah berusaha menolaknya tapi pengaruh minuman beralkohol itu membuatnya terus menempel padaku. Memang sebagai lelaki normal aku pun merasakan getaran euphoria malam itu dan kebahagiaan sesaat. Namun di hati kecilku tetap hanya Safira yang aku cintai dan ingin kumiliki selamanya.
“Pah, ini tidak seperti yang papa pikirkan?” ucapku hendak mencoba menjelaskan padanya.
“Apa kamu pernah berfikir apa yang Safira pikirkan? Kamu bilang ada meeting dan pulang malam. Bukan hanya sekali 'kan? Lalu dia mendapati kiriman foto-foto itu? Istri mana yang tidak akan berpikiran macam-macam, hah?!” Lelaki itu membentaknya.
“Itu hanya pesta biasa, Pah! Gadis itu sedikit mabuk karena Edo yang menjebaknya. Aku sama sekali tidak-“
Gebrakan pada meja membuat kalimatku menggantung begitu saja. Memang selama ini Papa dan Mama sangat menyayangi Safira dan cucunya, bahkan melebihi sayangnya pada diriku. Karenya tidak heran jika lelaki itu akan semarah ini. Kadang aku berpikir siapa yang anak kandungnya. Aku atau Safira, sih?
Mama datang dari dalam. Kami tengah saling terdiam saat itu. Dia membawakan dua gelas kopi yang asapnya tampak masih mengepul.
“Irfan! Coba jelaskan ke mana menantu kesayangan mama pergi?!” Wanita itu kini sama menyeramkannya dengan suaminya.
Seandainya aku tahu hanya akan dihakimi, aku tidak akan datang sekarang. Semua kejadian yang kulewati hari ini membuat otakku memanas dan tidak lagi bisa berfikir dengan baik. Pagi yang kacau, siang yang berantakan dan kini sore yang menyeramkan. Kamvret, memang.
“Aku pun sedang mencarinya, Mah!” Aku mencoba menjelaskan pada mama. Namun lagi-lagi papa mematahkan pembelaanku.
“Bukankah kamu malah enak-enakan pulang bareng staff kamu itu, hah? Kamu sudah mencari Safira ke mana coba papa tanya?” Lelaki itu kini bertambah murka.
Aku terdiam. Sia-sia juga aku memberi pembelaan. Namun dari mana lelaki itu tahu kalau aku mengantar Devina pulang. Memang aku belum sempat mencari Safira ke mana-mana tapi aku sudah menelpon adiknya. Sudah memastikan juga Safira tidak ada di rumah mama. Memang belum sempat pergi karena meeting penting yang akhirnya berantakan.
“Ck!” Aku berdecak kesal.
Kusandarkan tubuhku pada sofa dan memijit pelipis. Kepalaku kembali berdenyut. Suasana hening. Mereka hanya menatapku tajam.
“Irfan! Kamu jangan begitu, Nak!” Kali ini mama mulai menangis.
Duh, yakin nih bakal panjang ceritanya kalau sudah kayak gini. Bisa-bisa kupingku pada copot oleh ocehan dan intimidasi keduanya.
“Mah-“ Aku baru hendak menjelaskan tapi wanita itu kembali menyambar dengan sambungan kalimatnya.
“Safira itu sudah menemanimu dari nol. Dia rela melepaskan karirnya demi menjadi istri yang baik demi kamu. Dia bahkan rela memberikan sebagian gajinya dulu agar kamu bisa melanjutkan kuliah dan mendapat gelar S2. Kurang apa lagi Safira, Fan? Kamu jangan begitu!” ucapnya sambil menyeka air mata.
Duh, kok jadi ribet gini, ya? Padahal Safira pun belum menceritakan apa-apa. Ataukah dia sebetulnya sudah bercerita dengan kedua orang tuaku perihal kejadian malam itu? Tapi dari mana Safira tahu? Aku 'kan bilangnya mau meeting.
“Iya, Mah … Irfan tahu-“
Namun kembali dia menyambar dengan membentakku.
Ya, salaam!
“Kamu tahu apa? Kamu itu lelaki tidak peka! Mama kecewa sama kamu! Mama gak mau tahu pokoknya cucu dan menantu mama harus kembali!” hardiknya.
Sudahlah, wanita tidak pernah salah. Lebih baik aku diam. Percuma juga banyak bicara.
“Irfan! Karir kamu yang sukses itu semua karena dukungan istri kamu! Kalau kamu terus menyakitinya bagaimana kalau nanti dia merasa jenuh dengan rumah tangga kalian dan meminta cerai? Wanita sebaik Safira tidak banyak di dunia ini. Kebanyakan wanita sekarang itu matre, Fan. Hanya mengejar saat lelaki memilik uang saja!” ucapnya lagi penuh penekanan.
Ya, aku pun tahu itu. Makanya aku kacau setengah mati semenjak dia tidak bisa dihubungi.
“Iya, Mah!” Akhirnya itulah kalimat paling aman.
Dia terus saja bicara panjang kali lebar kali tinggi. Kupingku sudah benar-benar terasa panas dibuatnya. Akhirnya satu ide terlintas di kepalaku. Aku yakin ocehannya akan terhenti.
“Mah, udah belum ngomongnya?” tanyaku disela-sela dia menarik napas.
“Kenapa? Kamu bosen dengerin petuah mamah, hah? Mau jadi apa kamu kalau sudah gak mau dengerin orang tua?!” Wanita itu malah meradang.
Ya, salaam!
“Bukan gitu, Mah! Ini sudah mau malem! Kalau mama ngomong terus, aku kapan nyari Safiranya?” ucapku mencoba menjelaskan.
Wanita itu terdiam sebentar. Dia melirik pada lelaki yang wajahnya tampak datar tapi masih ada sorot kesal terpancar dari netranya.
“Ya udah, kamu cepetan cari Safira!” ucapnya.
“Ya udah kalau gitu, aku permisi, ya, Pah, Mah!” Aku bangkit dan bergegas berdiri. Kucium punggung tangan kedua orang yang sejak tadi menghakimiku itu.
“Assalamu’alaikum!” ucapku sambil berlalu.
“Wa’alaikumsalam!” jawab mereka.
Aku berjalan ke depan menuju mobilku. Kuperiksa gawai, maksud hati hendak menelpon lagi Safira. Namun ada sebuah pesan masuk dari Edo. Aku segera membukanya.
“Apa?! Fotoku sebelum pulang tadi dengan Devina? Buat apa dia mengirimiku foto itu?” gumamku.
Namun seketika pesan itu dihapusnya lagi. Aku mengernyit, tidak mengerti. Untuk apa Edo mengambil foto itu. Lalu kenapa dihapus? Siapa sebenarnya yang mau dikirimi foto itu?
Akak-akak maafkan gak bisa balas komen. Entah kenapa applikasi starryku gak bisa buat balesi komen.
Novel ini ekslusif, jadi nunggu kontrak baru daily up. sudah approved, Do'akan cepat biar bisa ngebut. lopein saja dulu. ???