Bab 5

1105 Words
Namun seketika pesan itu dihapusnya lagi. Aku mengernyit, tidak mengerti. Untuk apa Edo mengambil foto itu. Lalu kenapa dihapus? Siapa sebenarnya yang mau dikirimi foto itu? Aku segera menelpon Edo. Bagaimanapun aku harus meminta penjelasannya terkait hal ini. Kenapa dia mengambil fotoku dengan Devina? Lalu apakah yang malam itu mengambil foto-fotoku juga dia? Namun tidak ada jawaban. Sepertinya permasalahan Edo harus aku selesaikan lebih dulu. Bagaimana pun ini terkait Safira. Mungkin saja lelaki itu tahu di mana istriku berada. Aku segera menginjak gas dan meninggalkan rumah kedua orang tuaku. Tujuanku kali ini ialah rumah Edo yang jaraknya cukup jauh. Akan memakan waktu hingga satu jam dari sini. Sepanjang jalan aku mencoba menelpon nomornya, berharap lelaki itu mengangkatnya, tapi kini nomornya malah tidak aktif. Sudah geram diri ini dibuatnya. Kuinjak gas dengan kecepatan maksimal. Setelah dari rumah Edo nanti, aku akan menuju rumah Dika. Siapa tahu lelaki itu sengaja bersekongkol dengan Safira untuk berbohong padaku. Mobil yang kutumpangi melaju cepat. Berjalan zigzag mencari celah di keramaian. Cukup lama hingga akhirnya gerbang perumahan yang ditinggali lelaki itu terlihat. Aku segera membelokan mobil dan mengurangi kecepatan. Bagaimanapun aku tidak ingin menarik perhatian dengan kebut-kebutan di area perumahan. Belum tiba di rumah Edo. Aku menyipit memperhatikan seorang lelaki yang berjalan keluar dari counter ponsel. Ah, itu dia. Aku memijit klakson berulang-ulang. Edo menoleh sambil menyipitkan mata. Silau dia melihat lampu dim-dim yang kunyalakan. Aku menepikan mobil dan bergegas turun menghampirinya. “Bro, ada yang mau gue tanyakan!” Aku menatapnya tajam. Dia menanggapinya dengan wajah datar. “Tumben, Lo! Ya udah ke rumah aja, yok!” ucapnya sambil melenggang menuju rumahnya yang berjarak hanya beberapa meter lagi dari counter itu. “Di sini aja, gue gak lama!” Aku merasa perlu memangkas waktu. “Alaaah … gak enak ngobrol di tepi jalan gini! Udah kek gelandangan aja!” kekehnya sambil mengayun langkah kembali menuju gerbang rumahnya. “Eh, Do! Gue gak bisa lama, beneran! Gue cuma mau lu jelasin ini!” ucapku. Dia menghentikan langkahnya dan menoleh padaku. Aku membuka layar gawai dan menunjukkan chat yang sudah dihapusnya. “Apaan itu?” Edo mengernyit. Karena memang hanya layar kosong yang ada di sana. “Lu kenapa ngambil foto gue dengan Devina waktu mau pulang tadi?!” Aku langsung bertanya dengan nada yang agak tinggi. “Ambil foto apaan sih, Fan?” Wajahnya tampak sok polos. Apa selain pandai bekerja, dia juga pandai berakting, pikirku. Aku tersenyum miring. Kutatap lekat wajah lelaki itu. Orang yang kucurigai ada dibalik kejadian tersebarnya foto-fotoku dengan Devina. “Bro, sudahlah jangan berpura-pura! Lu kan yang tadi sore mengambil foto Devina waktu mau masuk ke mobil gue?! Lalu apa maksud lu mengirimi gue foto itu, terus lu hapus lagi? Jangan-jangan lu mau kirim ke Safira tapi salah kirim ke nomor gue?!” Aku menarik kerah Edo. Sudah kubilang sejak siang otakku sedang tidak baik-baik saja. “Hey! Santai, Bro! Makanya gue ngajak di rumah! Biar sambil duduk dan ngopi! Gak menarik perhatian seperti ini, malu!” ucapnya sambil melirik ke arah beberapa pengendara yang lewat dan memperhatikan kami. Aku masih mengatur napas. Edo menepis tanganku. “Lihat ini!” Edo menunjukkan ponsel jadul dari sakunya. Aku tidak mengerti. Apa yang dimaksud oleh lelaki itu. “Ponsel gue ilang tadi siang di tempat kerja. Sudah check CCTV juga tapi belum ketemu! Makanya gue ke counter beli nomor sementara takut ada yang urgent. Besok gue ada meeting penting jadi belum sempat lagi ngurus tuh nomor ke galeri!” ucapannya tampak tidak mengada-ada. Ya salaam! Apakah aku salah sangka. Aku mengusap muka. Kemudian menoleh pada lelaki itu. “Bagaimana gue bisa percaya kalau lu gak bohong?” tanyaku. “Lu bisa check saja ke bagian ruang pengecheckan CCTV. Gue tadi lama di sana nyariin tuh ponsel jatuh di mana, tapi gak ketemu!” ucapnya dengan wajah serius. Aku mencoba mencari kebenaran dari wajahnya. Namun entahlah, sekarang aku sedang tidak bisa membedakan apa-apa. “Kita temanan sudah lama, Bro! Jangan sampai semuanya rusak jika terbukti penyebar foto itu ulah, Lu!” Aku menepuk bahunya dua kali. Aku masih belum sepenuhnya percaya, tapi mau gimana lagi. “Gue gak ngerti kenapa lu bisa kepikiran seperti itu. Ingat yang musuhan sama lu kan si Hadinata, pecundang yang lu kalahin dalam perebutan posisi manager kemarin. Kenapa lu malah nyangka gue yang buat rusuh? Gue orang yang selalu lu ribetin dan mintain tolong! Wake up, Bro!" Ucapan Edo cukup masuk akal. Sampai hari ini, aku masih perang dingin dengan Hadinata yang kini masih menjabat sebagai supervisor itu. Apa mungkin dia pelakunya? Lalu dia mengambil ponsel Edo dan hendak mengadu domba persahabatan kami? Apakah memang dia juga yang mengambil fotoku di tempat karaoke itu? Pikiranku makin carut marut. "Heyyy! Bisa save nomor baru gue, Fan! Tadi gue udah BC ke beberapa nomor yang masih tersimpan di ponsel lama gue ini!” ucapnya sambil mengulangkan tangan ke depan wajahku. Aku mengambil gawai. Benar saja ada pemberitahuan dari sebuah nomor baru. [Dikarenakan ponsel gue ilang entah ke mana. Tolong semuanya save nomor baru ini untuk sementara. Edo.] "Ok! Gue pergi!" ucapku sambil meninggalkannya yang masih diam mematung. Segera kulajukan kembali mobilku. Kali ini rumah Dika adalah tujuannya. Jika dari sana tidak mendapat petunjuk maka aku akan langsung mengunjungi rumah orang tua Safira yang berjarak lumayan jauh dari sini. Sepertinya besok aku harus mengambil cuti. Selama perjalanan menuju rumah Dika, aku mencari nomor Tuan Prakasa sang pemilik perusahaan tempatku bekerja. Siang tadi dia memang sedang ke luar kota, semoga saja belum tahu kekisruhan yang terjadi dan kegagalan Kerjasama bernilai miliaran ini dengan perusahaan dibawah naungan Pak Marfet. “Hallo, Pak Prakas.” Aku menyapanya. “Ya, Pak Irfan!” jawabnya singkat. “Sepertinya besok saya akan mengambil cuti dadakan, Pak! Kebetulan semua jadwal minggu ini agak sepi juga!” ucapku berbohong. Padahal aku yang meminta Devina mengubah semua jadwal meeting. Aku ingin fokus mencari Safira. “Hmmm … sebetulnya saya baru saja hendak menelpon Pak Irfan! Ada hal penting yang harus saya bicarakan besok. Jadi saya tidak mengijinkan Anda untuk cuti, Pak!” ucapnya jelas, tegas penuh penekanan. Aku menghela napas kasar setelah menjauhkan ponsel ini sebentar. “Baik, Pak!” Akhirnya itulah kalimat yang terlontar. Aku segera mematikan sambungan telepon. Rumah Dika tinggal beberapa meter lagi. Mobilku menyorot sampai ke halaman rumahnya, tampak ada seseorang yang tergesa masuk ke dalam rumah itu. Seorang anak kecil tampaknya. Hatiku berdentum cepat. Setahuku Dika memang sudah menikah tapi belum memiliki anak. Apakah itu Saskia---putriku yang sedang bersembunyi di sana? Tapi aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Rumah Dika halamannya rimbun dengan pepohonan. Anak kecil itu bahkan langsung masuk ketika jarakku belum terlalu dekat. “Semoga itu kamu, Sayang!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD